Ribuan pegiat olahraga panahan tradisional khas Kerajaan Mataram atau yang disebut Jemparingan berkumpul di Alun-alun Wates, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hari ini. Mereka hadir dalam gelaran akbar bertajuk Gladhen Hageng Jemparingan Tingkat Nasional 2025.
Kegiatan yang disokong Dana Keistimewaan DIY ini berhasil menarik perhatian masyarakat luas. Tercatat sebanyak 1.474 peserta lintas generasi dan gender dari berbagai wilayah Indonesia, di antaranya DIY, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan, Papua, hingga Bali, turut serta untuk unjuk keterampilan memanah.
Dengan mengenakan busana daerahnya masing-masing, peserta melakukan aksinya dalam posisi duduk bersila bagi laki-laki dan bersimpuh bagi perempuan. Busur panah (gandewa) dipegang horizontal sejajar dada, lalu anak panah (jemparing) dilepaskan menuju target silinder kecil yang digantung.
Target jemparingan ini disebut wong-wongan atau bandulan. Umumnya, target ini memiliki tiga bagian warna: merah di bagian atas (molo atau sirah/kepala), kuning di tengah, dan putih di bagian bawah.
Plt Kepala Dinas Pariwisata Kulon Progo, Sutarman mengatakan Gladhen Hageng Jemparingan 2025 digelar untuk memeriahkan hari Jadi Kabupaten Kulon Progo ke – 74, sekaligus melestarikan jemparingan sebagai warisan budaya DIY yang sudah berkembang pesat di Nusantara.
Jemparingan sendiri awalnya hanya dimainkan di lingkungan Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman sebagai latihan ketangkasan prajurit dan keluarga kerajaan, tapi kini telah meluas hingga ke berbagai daerah. Olahraga ini bukan sekadar adu ketangkasan fisik, tetapi juga melatih konsentrasi karena dalam mengarahkan bidikan memerlukan ketenangan batin.
“Kita dari Dinpar memang dalam rangka mewujudkan budaya sebagai aset untuk wisata di DIY, dengan Danais ini melaksanakan kegiatan ini. Jadi secara umum bagaimana kita mempublikasikan bahwa di Jogja, khususnya Kulon Progo budaya (Jemparingan) digunakan sebagai bagian mengembangkan wisata,” ujarnya saat ditemui di sela-sela acara di Alun-alun Wates, Minggu (26/10/2025).
Kegiatan ini juga jadi ajang promosi wisata budaya Jemparingan yang kekinian telah berkembang di berbagai desa wisata di Kulon Progo. Diharapkan wisatawan dapat tertarik untuk datang ke Kulon Progo, dan mencoba olahraga tradisional tersebut.
“Dan di sini juga ada komunitas jemparingan di berbagai desa wisata, di mana wisatawan bisa ikut mencoba jemparingan atau bahkan jadi atlet jemparingan,” ucapnya.
Gladhen Hageng Jemparingan jadi media silaturahmi antar pegiat jemparingan dan kompetisi karena kegiatan ini juga dilombakan dengan total hadiah yang cukup menggiurkan, yakni sebesar Rp44,5 juta. Suasana Alun-alun Wates pun dipenuhi dengan semangat kompetisi yang kental, diiringi dengan pelestarian tradisi busana Jawa dan berbagai daerah yang dikenakan oleh para peserta.
Salah satu peserta asal Gianyar, Bali, I Dewa Made Kasama Biputra (45) mengatakan alasannya ikut kegiatan ini karena ingin menyambung silaturahmi antar sesama penghobi jemparingan.
“Kita ikut ini karena ingin silaturahmi, untuk memperkuat kesatuan dan persatuan, jadi dengan budaya ini kita bisa saling ketemu, sesama hobi jemparingan,” ucapnya.
Dewa mengatakan sudah menggeluti olahraga jemparingan sejak menetap di Solo, Jawa Tengah pada 2016 lalu. Jemparingan dipilih sebagai hobinya karena bisa melatih fokus dan konsentrasi.
“Kenapa milih jemparingan, karena di sini ada rasa yang dipakai. Jadi pas jemparingan itu karena di sini tidak ada bidikannya, kita harus merasakan, merasakan tangan kita, merasakan kemiringan, dan saat melepaskan (anak panah) harus pakai hati. Kalau pas hatinya kurang enak, pasti buyar, jadi butuh konsentrasi dan ketenangan. Makanya bagus sekali untuk anak-anak sekolah berlatih Jemparingan. Karena nanti pas di kelas dia pasti lebih fokus, karena memang di sini kita belajar untuk fokus,” ucapnya.
Alasan lain yang membuat Dewa memilih olahraga ini karena jemparingan menyimpan filosofi mendalam. Menurutnya busur dan anak panah melambangkan satu keluarga utuh, sementara bandulan adalah cita-cita. Jika seorang anak dididik dengan benar oleh orang tuanya, maka anak tersebut dapat meraih cita-cita sesuai dengan yang diharapkan.
“Jemparingan ini juga ada filosofinya sendiri yang membuat kami menggeluti jemparingan ini. Mulai dari busur yang namanya gendewa, dan anak panah itu sendiri. Ini filosofinya bapak dan ibu, di mana bapak harus kokoh, ibu harus lentur. Sedangkan anak panah melambangkan anak-anak, yang perlu diarahkan dengan baik sehingga bisa menggapai impiannya,” ucapnya.
