Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak hanya berperan dalam memperbaiki gizi anak, tetapi juga turut menggerakkan ekonomi lokal di berbagai daerah. Kebutuhan bahan pangan yang berkelanjutan dari program ini mendorong peningkatan permintaan produk pangan lokal, sekaligus memberi kepastian pasar bagi produsen di sektor pertanian dan peternakan.
Dampak ekonomi MBG pun tidak berhenti pada tahap produksi. Rantai manfaatnya meluas hingga ke sektor distribusi, pengolahan pangan, serta penyerapan tenaga kerja di tingkat daerah.
Salah satu petani padi di Sukabumi, Erli Nurkholi (50), mengaku merasakan manfaat langsung dari program tersebut. Sejak beras hasil panennya diserap sebagai bagian dari menu MBG, ia memperoleh kepastian penjualan yang lebih stabil dibandingkan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Pakar Badan Gizi Nasional (BGN) RI, Prof Dr Ir Ikeu Tanziha, MS, menyampaikan pelaksanaan MBG sejauh ini menunjukkan dampak positif, baik dari sisi peningkatan gizi anak maupun efek sosial ekonomi di masyarakat.
“Anak-anak yang sebelumnya tidak tahu makanan seperti apa, sekarang sudah dikenalkan pola makan sehat,” ujar Prof Ikeu, kepada infocom, di Gedung Trans TV, Jakarta Selatan, Jumat (12/12/2025).
Selain berdampak pada perbaikan gizi, MBG juga membuka peluang kerja melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur gizi. Setiap SPPG rata-rata menyerap sekitar 50 tenaga kerja. Dengan jumlah SPPG yang mencapai sekitar 17 ribu unit, hampir satu juta orang terlibat dalam ekosistem MBG di berbagai daerah.
“Ini bukan hanya soal gizi, tapi juga peluang kerja dan penguatan UMKM karena bahan pangan lokal diserap,” jelasnya.
Prof Ikeu menambahkan, program MBG turut berkontribusi dalam meningkatkan kesadaran gizi masyarakat. Para pekerja di SPPG secara tidak langsung memperoleh pengetahuan tentang keamanan pangan dan prinsip gizi seimbang, yang kemudian menyebar ke keluarga serta lingkungan sekitar.
“Dari satu orang yang bekerja di dapur gizi, pengetahuan bisa menyebar luas ke masyarakat. Harapannya terbentuk perilaku hidup sehat,” ujarnya.
Untuk menjaga kualitas pelaksanaan MBG, BGN menetapkan standar gizi nasional, bukan standar menu. Pendekatan ini mempertimbangkan keragaman pangan dan kearifan lokal daerah.
“Kalau standar menu diseragamkan, itu tidak mungkin karena ekologi pangan kita berbeda-beda. Di Papua berbasis sagu, di Nusa Tenggara Timur berbasis jagung,” jelasnya.
BGN menilai MBG sebagai program jangka panjang yang manfaatnya tidak dirasakan secara instan. Meski demikian, program ini diharapkan mampu mendorong transformasi budaya konsumsi sehat, tidak hanya di lingkungan sekolah, tetapi juga di tingkat keluarga dan komunitas.
Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.
Prof Ikeu menambahkan, program MBG turut berkontribusi dalam meningkatkan kesadaran gizi masyarakat. Para pekerja di SPPG secara tidak langsung memperoleh pengetahuan tentang keamanan pangan dan prinsip gizi seimbang, yang kemudian menyebar ke keluarga serta lingkungan sekitar.
“Dari satu orang yang bekerja di dapur gizi, pengetahuan bisa menyebar luas ke masyarakat. Harapannya terbentuk perilaku hidup sehat,” ujarnya.
Untuk menjaga kualitas pelaksanaan MBG, BGN menetapkan standar gizi nasional, bukan standar menu. Pendekatan ini mempertimbangkan keragaman pangan dan kearifan lokal daerah.
“Kalau standar menu diseragamkan, itu tidak mungkin karena ekologi pangan kita berbeda-beda. Di Papua berbasis sagu, di Nusa Tenggara Timur berbasis jagung,” jelasnya.
BGN menilai MBG sebagai program jangka panjang yang manfaatnya tidak dirasakan secara instan. Meski demikian, program ini diharapkan mampu mendorong transformasi budaya konsumsi sehat, tidak hanya di lingkungan sekolah, tetapi juga di tingkat keluarga dan komunitas.
