Setelah Dili, Menyusul Port Moresby

Posted on

Timor Leste akhirnya menjadi bagian dari ASEAN, menandai babak baru dalam perjalanan panjang sebuah bangsa muda menuju pengakuan regional. Setelah menunggu empat belas tahun sejak pengajuan resmi pada 2011, negara yang lahir dari perjuangan panjang kemerdekaan ini akan resmi menjadi anggota ke-11 ASEAN pada Oktober 2025.

Keputusan tersebut bukan sekadar peristiwa diplomatik, melainkan simbol dari proses konsolidasi identitas politik dan institusional yang ditempuh Timor Leste di tengah medan geopolitik Asia Tenggara yang kompleks.

Proses panjang menuju keanggotaan menunjukkan dinamika khas ASEAN sebagai organisasi berbasis konsensus. Tidak ada mekanisme cepat dalam perhimpunan yang menempatkan prinsip non-intervensi dan kehati-hatian sebagai dasar.

Dalam konteks ini, kesabaran dan diplomasi Timor Leste menjadi modal penting. Dukungan kuat dari Malaysia sebagai Ketua ASEAN tahun ini turut memberi ruang, dengan Perdana Menteri Anwar Ibrahim menegaskan bahwa bergabungnya Timor Leste akan memberi manfaat bagi seluruh kawasan.

Pernyataan tersebut bukan sekadar gestur politik, melainkan pengakuan terhadap kapasitas negara itu untuk berkontribusi pada keseimbangan regional demi kemanfaatan ekonomi, sosial dan budaya.

Di sisi domestik, Timor Leste tidak hadir sebagai negara yang steril dari tantangan. Menjelang keanggotaannya, negara ini sempat diguncang protes publik terkait kebijakan pembelian kendaraan mewah bagi anggota parlemen.

Pemerintah merespons cepat dengan membatalkan rencana tersebut, menunjukkan bahwa tekanan masyarakat sipil masih memiliki daya kontrol terhadap kebijakan politik.

Pengamat seperti Michael Leach dari Swinburne University menilai bahwa insiden ini menjadi bukti vitalitas demokrasi di Timor Leste, sebuah demokrasi yang, meskipun muda, memperlihatkan daya lenting yang lebih sehat dibanding sejumlah negara tetangganya di Asia Tenggara.

Masuknya Timor Leste ke ASEAN membawa dimensi baru dalam struktur regional. Berdasarkan laporan dari Tommy Walker pada DW, keanggotaan ini membuka akses ke pasar ASEAN yang berjumlah lebih dari enam ratus juta penduduk dan menjadi peluang untuk memperluas jejaring perdagangan serta investasi.

Namun, keuntungan tersebut tidak serta merta. Timor Leste perlu memperkuat kapasitas produksinya, memperbaiki infrastruktur, serta membangun sistem hukum dan tata kelola ekonomi yang kompetitif agar dapat menyesuaikan diri dengan standar regional.

Secara ekonomi, negara ini masih bergantung pada sektor minyak dan gas, dengan diversifikasi yang terbatas. Karena itu, integrasi ke ASEAN juga berarti tuntutan reformasi struktural yang nyata.

Di balik dimensi ekonomi, terdapat makna politik yang signifikan. Timor Leste merupakan salah satu dari sedikit negara di kawasan yang secara konsisten mempertahankan sistem demokrasi.

Kehadirannya dapat menjadi penyeimbang di antara konfigurasi politik ASEAN yang beragam, dari demokrasi, monarki, otoritarian, hingga sistem hibrida. Dalam konteks ini, keanggotaan Timor Leste bukan hanya soal representasi geografis, tetapi juga penegasan nilai-nilai politik yang memperkaya orientasi normatif ASEAN di tengah dinamika global yang semakin terpolarisasi.

Sementara itu, Papua Nugini mulai menunjukkan ketertarikan untuk menempuh jalan serupa. Pada pertemuan tingkat menteri luar negeri dalam forum regional di Kuala Lumpur pada 11 Juli 2025, Menteri Luar Negeri Hon.

Justin Tkatchenko menyatakan bahwa Papua Nugini ingin bertransformasi dari status Pengamat Khusus (Special Observer) untuk menjadi anggota penuh ASEAN. Pernyataan resmi tersebut mencatat bahwa negara tersebut menyadari potensi strategis dan ekonominya untuk kawasan-menekankan bahwa kemasukan Papua Nugini akan memberi ASEAN “kaki ekonomi di Pasifik” dan membuka peluang perdagangan serta investasi baru, dengan menyoroti sumber daya alam yang melimpah seperti ekspor LNG dan minyak mentah, serta zona ekonomi eksklusif seluas 2,4 juta km² dan keanekaragaman hayati yang signifikan.

Meskipun belum mengajukan permohonan formal anggota penuh, Papua Nugini telah mempersiapkan Kebijakan Kabinet (Cabinet Policy Submission) sebagai langkah administratif ke depan, serta telah membuka misi diplomatik penuh di empat negara ASEAN dengan rencana membuka misi kelima di Thailand.

Ini menunjukkan keseriusan dalam memenuhi ekspektasi keanggotaan ASEAN dan persiapan institusional yang sedang berjalan.

Dalam konteks lebih luas, ekspansi ASEAN ke arah timur-melalui integrasi Timor Leste dan potensi Papua Nugini-menunjukkan perubahan dalam cara organisasi ini memaknai dirinya. ASEAN tidak lagi sekadar forum diplomatik yang beranggotakan negara-negara inti di daratan dan kepulauan utama Asia Tenggara.

Ia kini menjadi wadah yang lebih inklusif, menampung negara dengan latar belakang sejarah, kapasitas ekonomi, dan sistem politik yang beragam. Masuknya Timor Leste dan rencana Papua Nugini menegaskan bahwa konsep Asia Tenggara tidak statis, bahkan dapat terus diperluas melalui dialog berkesinambungan, diplomasi, dan pembelajaran institusional hingga ke wilayah pasifika.

Namun, keanggotaan baru ini juga mengingatkan pada tantangan yang sudah lama menghantui ASEAN, yaitu kesenjangan pembangunan antaranggota. Bagi Timor Leste dan bahkan bagi Papua Nugini di masa depan, menjadi anggota bukanlah akhir dari perjalanan, tetapi awal dari proses adaptasi terhadap mekanisme regional yang kompleks.

Kesiapan birokrasi, kapasitas fiskal, dan kemampuan representasi dalam forum-forum ASEAN akan menjadi ujian nyata bagi efektivitas partisipasinya. Papua Nugini, meskipun menawarkan sumber daya dan posisi strategis, harus mengimbangi dengan reformasi institusional dan diversifikasi ekonomi agar rencana keanggotaan tersebut tidak hanya simbolis tetapi substantif.

Meski demikian, kisah Timor Leste dan aspirasi Papua Nugini memperlihatkan bahwa integrasi regional bukan semata persoalan ukuran ekonomi atau keamanan regional. Ini juga tentang kemampuan diplomasi, kekuatan politik, dan keyakinan akan pentingnya kebersamaan kawasan.

Dalam lanskap global yang kian kompetitif, langkah-kecil dari Dili menuju ASEAN atau dari Port Moresby menuju aspirasi serupa, adalah refleksi dari keberanian untuk menegosiasikan posisi, membangun legitimasi, dan mengambil bagian dalam tatanan yang lebih luas. Dan dari negara-negara seperti Timor Leste dan Papua Nugini, ASEAN diingatkan kembali bahwa semangat komunitas tidak tumbuh dari kekuatan semata, melainkan dari keinginan untuk saling mengakui dan bekerja sama, suatu hal yang merupakan tujuan awal dari pembentukan ASEAN.

Luthfi Eddyono. Mahasiswa PhD, Victoria University of Wellington, Associate Member of The New Zealand Asian Studies Society.

Setelah Dili, Maka Port Moresby

ASEAN dan Pasifika