Presiden Prabowo Subianto menyampaikan keinginan agar Papua ditanam kelapa sawit. Tujuannya untuk menghasilkan BBM dan swasembada energi.
Prabowo menyatakan juga ingin tumbuhan penghasil bahan bakar lainnya ditanam di Papua. Contohnya seperti tebu hingga singkong.
Menurutnya, jika dilaksanakan, penanaman sawit dan tanaman penghasil bahan bakar ini memungkinkan Papua tidak lagi bergantung pada pasokan BBM luar daerah. Alhasil, praktiknya turut mendorong harga energi di Papua jadi lebih terjangkau.
“Kita berharap di daerah Papua pun harus ditanam kelapa sawit supaya bisa menghasilkan juga BBM dari kelapa sawit, juga tebu menghasilkan etanol, singkong cassava juga untuk menghasilkan etanol sehingga kita rencanakan dalam 5 tahun Semua daerah bisa berdiri di atas kakinya sendiri swasembada pangan dan swasembada energi,” ujar Prabowo dalam arahannya di depan kepala daerah se-Papua, di Istana Negara, Jakarta, Rabu (16/12/2025), dilansir dari .
Ia menambahkan, penanaman sawit dan tanaman penghasil bahan bakar lain berpotensi menghemat ratusan triliun rupiah. Ia juga memproyeksikan potensi tidak impor BBM lagi ke depannya.
Diketahui, wilayah sawit besar saat ini berlokasi di Kalimantan dan Sumatera. Lantas, samakah kondisi Papua untuk ditanam kelapa sawit?
Laporan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) berjudul Projections of Oil Palm Expansion in Indonesia, Malaysia, and Papua New Guinea from 2010 to 2050 menyatakan, lebih dari 90% permukaan di bawah ketinggian 1000 m menunjukkan kisaran curah hujan dan suhu yang mendukung budidaya kelapa sawit di Indonesia.
Letak Indonesia di garis khatulistiwa membuat kondisi hangat dan lembap sangat konsisten di berbagai wilayah. Karena itu, hasil analisis RSPO menunjukkan, variabel iklim tidak menunjukkan perbedaan kesesuaian tiap wilayah untuk ditanami sawit, baik Kalimantan maupun Papua.
Namun, pengembangan sawit berhubungan dengan ketinggian wilayah. Analisis RSPO menunjukkan, sawit lebih cocok ditanam di wilayah dataran rendah. Per 2010, 96% perkebunan sawit berada di bawah ketinggian 200 m.
Ketinggian wilayah sangat berhubungan dengan suhu dan curah hujan. Pada wilayah dengan ketinggian di atas 200-300 m, faktor iklim sangat membatasi berkembangnya budidaya sawit kelapa sawit.
Berdasarkan peta RSPO, wilayah Papua memiliki jauh lebih banyak daerah dengan ketinggian di atas 2.000 m daripada Kalimantan. Sementara keduanya sama-sama memiliki sebagian wilayah dengan ketinggian 0-300 meter, Kalimantan memiliki lebih banyak wilayah dengan ketinggian 300-1.000 meter.
Faktor kemiringan turut berpengaruh pada akurasi kesesuaian wilayah untuk ditanami sawit. Analisis RSPO menunjukkan, daerah dengan dataran rendah pun menjadi tidak sesuai untuk budidaya sawit lantaran punya topografi lebih kompleks, seperti di Kalimantan sendiri, tepatnya di Kalimantan Barat.
Per 2010, sebanyak 65,5% perkebunan sawit berlokasi di daerah yang hampir datar (kenaikan < 3%). Sebanyak 94% kebun juga berada di lahan yang kecuramannya tidak lebih dari 9%. Faktor kemiringan ini memperkuat temuan ketidaksesuaian sebagian wilayah Papua di ketinggian untuk jadi lahan sawit.
Peta kelas tanah RSPO menunjukkan Kalimantan didominasi tanah acrisol, tanah kaya lempung di hutan tropisnya. Dikutip dari FAO, jika pengelolaan airnya baik, tanah ini bisa mendukung budi daya sawit.
Sementara itu, Papua memiliki lebih banyak tanah histosol di samping podzol yang berada di ketinggian. RSPO menyatakan, potensi histosol berpotensi dikembangkan jadi lahan sawit, tetapi berisiko menghasilkan lebih banyak emisi karbon.
Histosol memiliki drainase yang buruk dan kaya akan bahan organik yang belum terurai. Agar tanah ini dapat menjadi lahan budidaya kelapa sawit, permukaan air tanahnya harus diturunkan. Proses ini mengakibatkan emisi karbon yang signifikan.
Sementara itu, peta RSPO menunjukkan Kalimantan dan Papua sama-sama memiliki banyak upland forest. National Park Service AS mendefinisikan upland forest sebagai hutan di dataran tinggi atau area yang tidak tergenang air, memiliki drainase baik, dan kanopi pohon rapat.
Hutan kaya nutrisi ini menjadi habitat penting bagi berbagai satwa liar. Karena itu, hutan Papua dan Kalimantan berperan penting dalam menjaga keanekaragaman hayati, termasuk flora dan fauna endemik, serta potensi ekonomi dari hutan.
Pembukaan lahan untuk kebutuhan lahan kelapa sawit tidak boleh merusak, menyebabkan degradasi, dan atau deforestasi hutan primer dan kawasan dengan Nilai Konservasi Tinggi (NKT) sejak November 2005 dan hutan Stok Karbon Tinggi (SKT). Sebab, tak hanya menjaga biodiversitas, hutan juga berfungsi sebagai penyerap karbon dioksida (CO2) utama.
Dalam hal ini hutan bantu mencegah perubahan iklim dengan mengurangi gas rumah kaca di atmosfer. Di samping itu, hutan juga berperan sebagai penyangga bencana seperti banjir dan longsor.
Ketentuan tersebut tertuang dalam Prinsip dan Kriteria RSPO 2024 untuk Budi Daya Sawit Berkelanjutan serta Produksi Minyak Sawit dan Produk Sawit Berkelanjutan.
Seentara itu, data Global Forest Watch menunjukkan angka dan peta hutan primer, beserta tutupan pohon yang kemudian hilang. Berdasarkan data ini, Kalimantan mengalami kehilangan hutan alam pada 2024 jika dibandingkan dari luas per 2020. Berikut angkanya:
Sementara itu, Papua memiliki 24 Mha hutan alam pada lebih dari 78% luas daratannya pada 2020. Pada 2024, Papua sudah kehilangan 14 kha hutan alam, setara dengan 11 Mt emisi CO₂.
Sedangkan Papua Barat memiliki 8.7 Mha hutan alam, yang membentangi lebih dari 88% luas daratannya. Pada 2024, Papua Barat juga kehilangan 9.4 kha hutan alam, setara dengan 7.8 Mt emisi CO₂.
Dr Yuki Mahardhito Adhitya Wardhana SHut, MSi, Akademisi Ilmu Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana Pembangunan Berkelanjutan (SPPB) Universitas Indonesia (UI) mengatakan, penanaman masif kelapa sawit berdampak pada terjadinya alih fungsi hutan.
Yuki menjelaskan pentingnya hutan Papua bagi manusia dan keanekaragaman hayati. Simak penjelasannya dengan klik di bawah ini.
Lebih lanjut, pakar Universitas Gadjah Mada (UGM) dan akademisi kehutanan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menjelaskan risiko jika sawit ditanam di Papua. Simak selengkapnya dengan klik di bawah ini.
Sementara itu, sejumlah studi dan pakar mengungkap efisiensi sawit daripada tanaman penghasil minyak lainnya. Baca selengkapnya dengan klik di bawah ini.
Menelusuri potensi penanaman sawit secara berkelanjutan, sejumlah peneliti mengungkap hasilnya pada studi di Indonesia. Baca temuannya dengan klik di bawah ini.
