Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menemukan adanya tren penurunan cakupan imunisasi pada tahun 2025, dibandingkan dengan tahun 2024. Direktur Imunisasi Kemenkes RI Indri Yogyaswari mengungkapkan cakupan imunisasi bayi lengkap dan imunisasi lengkap 14 antigen tahun 2025 masih belum memenuhi target yang ada.
Kondisi ini juga diikuti oleh peningkatan jumlah anak dengan dosis nol imunisasi (zero dose) atau belum menerima dosis pertama Difteri, Pertusis, dan Tetanus (DPT).
“Cakupan imunisasi bayi dan balita lengkap di Indonesia sampai sekarang masih belum merata dan belum mencapai target nasional. Mungkin kalau diambil capaian nasional, ada beberapa provinsi yang sudah melakukan itu (sesuai target), cuma masih banyak yang berada di bawah capaian nasional,” ungkap Indri dalam acara temu media di Jakarta Selatan, Jumat (19/12/2025).
ADVERTISEMENT
Untuk imunisasi bayi lengkap sampai 14 Desember 2025, cakupannya mencapai 68,6 persen dari target prioritas 80 persen. Jumlah tersebut menurun dari 87,7 persen pada tahun 2024 dan 95,4 persen pada tahun 2023.
Adapun rinciannya lengkapnya sebagai berikut:
Kemudian, untuk cakupan imunisasi lengkap 14 antigen tahun 2025 mencapai 66,2 persen dari target 74 persen. Sebanyak 9 dari 38 provinsi mencapai target cakupan lengkap.
Berikut ini lima provinsi dengan cakupan imunisasi lengkap 14 antigen terbanyak:
Sementara, berikut ini lima provinsi dengan cakupan imunisasi lengkap 14 antigen terendah:
Indri mengungkapkan ada beberapa alasan mengapa cakupan vaksin mengalami penurunan, salah satunya faktor sosial. Berdasarkan data yang dihimpun Kemenkes, sebanyak 47 persen pihak keluarga tidak mengizinkan.
Faktor lain seperti takut efek samping sebanyak 45 persen hingga isu agama sebesar 12 persen. Mereka juga menemukan 23 orang tua tidak memberikan imunisasi adalah karena anak sakit, 11,2 persen tidak ada waktu, dan 22,8 persen merasa imunisasi tidak penting.
“Jadi ada 47 persen karena keluarga tidak mengizinkan bisa dari ibunya, dari ayahnya, bahkan kadang unik, ibunya setuju tapi bapaknya nggak setuju, akhirnya nggak jadi. Karena pemegang keputusan di keluarga biasanya bergantung pada ayah,” ungkap Indri.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Kemenkes terus melakukan promosi melalui media komunikasi, informasi, dan edukasi. Selain itu, Kemenkes juga melakukan kerjasama lintas sektor dengan organisasi hingga tokoh agama untuk meningkatkan kesadaran masyarakat soal pentingnya imunisasi.
Indri mengungkapkan ada beberapa alasan mengapa cakupan vaksin mengalami penurunan, salah satunya faktor sosial. Berdasarkan data yang dihimpun Kemenkes, sebanyak 47 persen pihak keluarga tidak mengizinkan.
Faktor lain seperti takut efek samping sebanyak 45 persen hingga isu agama sebesar 12 persen. Mereka juga menemukan 23 orang tua tidak memberikan imunisasi adalah karena anak sakit, 11,2 persen tidak ada waktu, dan 22,8 persen merasa imunisasi tidak penting.
“Jadi ada 47 persen karena keluarga tidak mengizinkan bisa dari ibunya, dari ayahnya, bahkan kadang unik, ibunya setuju tapi bapaknya nggak setuju, akhirnya nggak jadi. Karena pemegang keputusan di keluarga biasanya bergantung pada ayah,” ungkap Indri.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Kemenkes terus melakukan promosi melalui media komunikasi, informasi, dan edukasi. Selain itu, Kemenkes juga melakukan kerjasama lintas sektor dengan organisasi hingga tokoh agama untuk meningkatkan kesadaran masyarakat soal pentingnya imunisasi.
