Perjuangan Miftahul Jannah dalam dunia olahraga disabilitas Indonesia adalah kisah tentang keteguhan, adaptasi, dan keberanian untuk terus melangkah meski jalan yang ditempuh penuh rintangan.
Nama perempuan asal Aceh ini dikenal publik sejak insiden Asian Para Games 2018, ketika ia didiskualifikasi karena menolak melepas hijab yang tidak sesuai regulasi pertandingan. Namun perjalanan Miftah tidak berhenti di sana. Setelah meninggalkan judo, ia justru membuka lembaran baru dengan beralih ke beberapa cabang olahraga berbeda.
Perpindahan itu bukan karena kehilangan arah, melainkan tekad untuk tetap menjadi atlet dan membuktikan bahwa disabilitas maupun prinsip pribadi tidak menjadi penghalang untuk terus berprestasi.
“Saya Miftahul Jannah, saya mantan atlet judo Indonesia. Pada tahun 2018 saya didiskualifikasi karena tidak ingin melepas hijab saat pertandingan,” ucap Miftah dalam sebuah video yang ia unggah di media sosial.
“Saya terus berjuang dan melanjutkan langkah untuk menggapai mimpi saya di cabang olahraga lainnya,” sambungnya.
Sebelum diskualifikasi itu, Miftah telah mencatatkan prestasi. Ia meraih medali emas kelas 48 kilogram pada Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) 2016 mewakili Jawa Barat. Prestasi tersebut menjadikannya salah satu pejudo tunanetra paling diperhitungkan di Indonesia.
Setelah judo tidak lagi menjadi jalur utamanya, Miftah memutuskan mencoba olahraga lain. Ia berpindah ke catur dan kemudian kembali mengukir prestasi. Pada Peparnas Papua 2021, ia meraih dua medali perak untuk kategori regu cepat dan regu standar.
Tak berhenti di situ, ia juga merambah cabang paracycling. Pada Kejurnas Paracycling 2022 yang digelar di Solo, ia kembali naik podium dengan membawa pulang dua medali perak di nomor 1000 meter dan 3000 meter.
Dalam videonya, Miftah memperlihatkan satu per satu medali tersebut sambil menjelaskan perjalanan yang membentuknya hingga saat ini, termasuk rencananya melelang medali itu demi membantu korban bencana di Sumatra.
“Video ini bertujuan untuk memperlihatkan medali-medali yang pernah saya raih. Harapan saya, video ini cepat tersampaikan kepada orang-orang yang berhati mulia sehingga mau membeli medali ini, dan hasilnya bisa segera disalurkan untuk mereka yang terdampak bencana,” kata Miftah.
Dalam keterangan unggahannya, Miftah menjelaskan bahwa prestasi selalu menjadi hal yang sangat berharga baginya. Namun semakin dewasa, ia memahami bahwa nilai sebuah medali tidak hanya diukur dari logamnya, tetapi dari perjalanan yang membentuknya.
“Prestasi adalah hal berharga bagi saya. Setiap medali bukan sekadar logam, tetapi bukti dari proses panjang yang penuh perjuangan. Namun pada akhirnya, semua itu hanya menjadi pajangan, pengingat betapa berharganya sebuah usaha,” tulisnya.
Ia juga menyinggung panggilan kemanusiaan yang kini mendorongnya mengambil keputusan untuk melelang medali-medali tersebut demi membantu korban bencana di Sumatra.
“Mereka kehilangan segalanya, harta, tempat tinggal, bahkan orang-orang yang mereka cintai. Betapa berdosanya hati ini jika kita hanya diam saat mereka sedang membutuhkan uluran tangan. Karena, seperti yang kita tahu: ‘Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain’,” ujar Miftah.
