Usulan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Kalimantan Utara (Kaltara) terus bergulir. Tokoh masyarakat Kaltara menyuarakan wacana dengan menuntut status Otonomi Khusus (Otsus) bagi provinsi termuda itu.
Usulan itu mencuat bukan tanpa alasan. Posisi Kaltara sebagai ‘beranda depan’ NKRI yang berbatasan langsung dengan Malaysia dan Filipina, dinilai memiliki kerentanan tinggi, baik secara militer maupun geopolitik.
Perwakilan Lembaga Adat Kesultanan Bulungan yang juga Presidium DOB Tanjung Selor, Joko Supriyadi, menegaskan perlakuan khusus dari pemerintah pusat seharusnya diberikan sebelum terjadi konflik, bukan sesudahnya.
ADVERTISEMENT
“Masa harus tunggu perang dulu baru dikhususkan? Itu sudah terjadi di Aceh, sudah terjadi di Papua,” ujar Joko kepada infoKalimantan, Rabu (3/12/2025).
Menurut Joko, seharusnya perhatian negara dalam bentuk Otonomi Khusus diprioritaskan di wilayah perbatasan yang rentan. Ia menilai, Kaltara memiliki posisi strategis yang sangat dekat dengan negara-negara tetangga hingga kekuatan ekonomi besar seperti China dan Jepang.
“Kita ini ada di beranda depan Indonesia. Posisi kita lebih dekat dengan Brunei, Malaysia, Filipina, Cina, Jepang. Harusnya dikhususkan, karena daerah perbatasan sangat rentan secara geopolitik, militer, dan ekonomi,” tegasnya.
Senada dengan Joko, Ketua KNPI Kaltara, Niko Ruru, menyoroti ketimpangan ekonomi yang dialami daerah perbatasan. Meski kaya akan sumber daya alam, dana yang kembali ke daerah dinilai sangat minim jika hanya mengandalkan skema Dana Bagi Hasil (DBH) reguler.
“Saya sampaikan data yang cukup miris. Kabupaten Nunukan misalnya, memiliki cadangan gas besar dan ratusan ribu hektare perkebunan sawit, namun timbal balik ke kas daerah dinilai malah tak sebanding,” ungkap Niko.
“Nunukan yang punya gas besar itu kontribusi bagi hasilnya cuma sekitar Rp 400 juta setahun. Tarakan misalnya hanya dapat sekitar Rp 200 juta dari Migas-nya,” timpal Niko.
“Sawit di Nunukan hampir 100 ribu hektare lebih lahan dibuka. Berapa kontribusi yang kita dapat dari ekspor CPO? Cuma sekitar Rp 1 miliar. Tidak sebanding,” tambahnya.
Joko menambahkan jika Kaltara diberikan kewenangan Otonomi Khusus dan pemekaran DOB disetujui, ia optimistis Kaltara bisa menjadi raksasa ekonomi baru di Asia Tenggara.
“Jika ekonomi tidak diberikan separuh hati, apalagi (diberi status) khusus, kita bisa menjadi pemain utama. Kita bisa bersaing, bahkan mungkin mengalahkan Singapura,” cetus Joko.
Ia beralasan, Singapura memiliki posisi strategis namun wilayahnya kecil. Sementara Kaltara memiliki posisi strategis yang sama namun didukung wilayah yang jauh lebih luas dan sumber daya alam melimpah.
“Nunukan yang punya gas besar itu kontribusi bagi hasilnya cuma sekitar Rp 400 juta setahun. Tarakan misalnya hanya dapat sekitar Rp 200 juta dari Migas-nya,” timpal Niko.
“Sawit di Nunukan hampir 100 ribu hektare lebih lahan dibuka. Berapa kontribusi yang kita dapat dari ekspor CPO? Cuma sekitar Rp 1 miliar. Tidak sebanding,” tambahnya.
Joko menambahkan jika Kaltara diberikan kewenangan Otonomi Khusus dan pemekaran DOB disetujui, ia optimistis Kaltara bisa menjadi raksasa ekonomi baru di Asia Tenggara.
“Jika ekonomi tidak diberikan separuh hati, apalagi (diberi status) khusus, kita bisa menjadi pemain utama. Kita bisa bersaing, bahkan mungkin mengalahkan Singapura,” cetus Joko.
Ia beralasan, Singapura memiliki posisi strategis namun wilayahnya kecil. Sementara Kaltara memiliki posisi strategis yang sama namun didukung wilayah yang jauh lebih luas dan sumber daya alam melimpah.
