Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi.
Universitas Hasanuddin (Unhas) lebih dari sekadar sekumpulan fakultas, laboratorium, dan ruang kelas yang megah. Unhas yang dikenal sebagai “Kampus Merah” adalah sebuah panggung kehidupan, sebuah episentrum intelektual dan sosial yang denyut nadinya ditenagai oleh keragaman yang luar biasa.
Unhas adalah Indonesia mini. Terletak strategis di gerbang Kawasan Timur Indonesia, Unhas secara alamiah menjadi magnet yang menarik ribuan individu dari segenap penjuru nusantara, bahkan dunia. Setiap tahun akademik baru, gelombang mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan datang membawa serta identitas unik mereka-bahasa, adat istiadat, latar belakang sosial, dan keyakinan agama yang berbeda-beda.
Dalam konteks inilah, Unhas memanifestasikan dua peran krusial secara bersamaan. Pertama, ia adalah “meeting point” (titik temu), sebuah ruang fisik dan intelektual yang aman bagi keragaman untuk hadir, saling sapa, dan menunjukkan eksistensinya. Kedua, ia adalah “melting point” (titik lebur), sebuah “kuali” sosio-kultural dinamis tempat identitas-identitas partikular tersebut berinteraksi, bergesekan, bernegosiasi, dan pada akhirnya-melalui proses kesalingpengertian-membentuk sebuah identitas kolektif baru yang lebih kuat.
Proses ganda sebagai titik temu dan titik lebur ini bukanlah sekadar produk sampingan demografis; ia adalah aset strategis utama. Ia adalah laboratorium hidup yang menguji dan membuktikan bagaimana kebhinnekaan dapat dikelola bukan sebagai sumber perpecahan, melainkan sebagai bahan bakar utama untuk kemajuan.
Refleksi ini menjadi semakin relevan ketika kita menautkannya pada visi mulia yang tertuang dalam Kertas Kerja Calon Rektor 2026-2030 yang telah kami buat, “Universitas Hasanuddin unggul, berdampak dan berdaya saing global berbasis Benua Maritim Indonesia”. Visi ini tidak mungkin tercapai tanpa menjadikan multikulturalisme sebagai fondasi esensialnya.
Memasuki gerbang utama Unhas di Tamalanrea, kita seperti menyaksikan simulasi kedatangan di sebuah bandara internasional. Mata kita akan segera menangkap spektrum keragaman Indonesia. Ada mahasiswa dari Papua dengan logat khasnya, berbaur dengan mahasiswa dari pesisir dan pegunungan Sulawesi yang lugas; Bugis, Makassar, Mandar, Kajang, Pamona dan Padoe serta suku lainnya berjalan di samping mahasiswa dari tanah Sumatera atau Jawa yang mungkin memiliki intonasi lebih medok atau halus.
Di sini, bahasa Indonesia menjadi lingua franca yang menyatukan. Namun di sudut-sudut kantin atau selasar gedung, puluhan bahasa daerah lain terdengar riuh rendah, merayakan kekayaan asal-usul mereka.
Inilah fungsi Unhas sebagai meeting point. Ia adalah representasi fisik dari konsep Benua Maritim Indonesia (BMI) yang menjadi roh dari visi dan Renstra Unhas. BMI bukanlah sekadar konsep geografis kelautan; ia adalah sebuah realitas sosio-kultural yang terdiri dari ribuan pulau-ribuan kultur-yang terhubung oleh lautan sebagai jembatan peradaban.
Unhas dalam hal ini, bertindak sebagai “ibu kota” intelektual dari BMI tersebut. Ia memanggil putra-putri terbaik dari gugusan kepulauan itu untuk berkumpul.
Sebagai titik temu, Unhas secara sadar menciptakan ekosistem yang inklusif. Komitmen untuk menyediakan beasiswa bagi 28% mahasiswanya pada tahun 2025, dan target peningkatan menjadi 30%, adalah kebijakan fundamental yang memastikan keragaman ini tidak hanya bersifat etnis atau religius, tetapi juga sosial-ekonomi. Ia meruntuhkan sekat-sekat primordial bahwa pendidikan tinggi berkualitas hanya milik segelintir kalangan.
Di Unhas, anak seorang nelayan dari pulau terluar, anak petani dari pedalaman, dan anak seorang pejabat dari kota besar, bertemu di ruang kelas yang sama. Mereka mengakses LMS “Sikola V2” yang sama, dan berdebat dengan pijakan intelektual yang setara.
Infrastruktur modern yang terus dikembangkan-mulai dari kampus yang asri, peningkatan bandwidth internet secara masif, hingga fasilitas olahraga dan seni-bukanlah sekadar pajangan fisik. Semua itu adalah modalitas yang disiapkan universitas untuk memfasilitasi “perjumpaan” (meeting) ini. Perpustakaan modern menjadi ruang bersuanya gagasan, sementara public space di setiap fakultas menjadi ruang perjumpaan sosial yang setara. Universitas secara sadar menyediakan panggung agar keragaman itu dapat hadir dan berinteraksi secara sehat dan bermartabat.
Kehadiran mahasiswa asing, dosen internasional, dan program akreditasi internasional semakin memperkaya fungsi titik temu ini. Perjumpaan tidak lagi hanya sebatas antar-etnis di Indonesia, tetapi meluas menjadi perjumpaan lintas-bangsa. Mahasiswa lokal bertemu dengan kolega dari Asia, Eropa, atau Afrika, menciptakan dialog global di tingkat akar rumput. Di sinilah Unhas meletakkan batu pertama untuk misinya dalam membangun “human capital yang unggul dan berjejaring nasional-global”.
Perjumpaan adalah langkah awal dari sebuah jejaring. Tanpa meeting point yang inklusif, jejaring global hanya akan menjadi slogan kosong di atas kertas.
Jika “meeting point” adalah tentang kehadiran, maka “melting point” adalah tentang proses. Setelah ribuan individu dengan latar belakang berbeda itu bertemu, mereka tidak mungkin hidup dalam “gelembung” budaya mereka masing-masing. Mereka harus berinteraksi, dan di sinilah “kuali peleburan” Unhas mulai bekerja.
Proses ini tidak selalu mulus; ia penuh dengan dinamika, gesekan, negosiasi, dan terkadang muncul percikan konflik. Namun, dalam gesekan produktif itulah kesalingpengertian (mutual understanding) ditempa, tepa selira bertumbuh dan solidaritas universal menggema.
Mekanisme peleburan paling fundamental terjadi di ruang akademik. Kertas Kerja Unhas menyebutkan target peningkatan “metode pembelajaran kelompok berbasis proyek (team-based project)” adalah yang utama. Ini bukan sekadar inovasi pedagogis, tetapi sebuah rekayasa sosial yang brilian dan berkelanjutan.
Ketika seorang mahasiswa dari latar belakang budaya tertentu yang sangat komunal harus bekerja dalam satu tim proyek dengan mahasiswa dari budaya lainnya yang mungkin lebih individualistis, mereka dipaksa untuk beradaptasi, bernegosiasi dan pada akhirnya saling memahami. Mereka belajar bernegosiasi tentang tenggat waktu, etos kerja, dan cara berkomunikasi yang efektif. Mereka tidak hanya belajar tentang mata kuliah; mereka belajar satu sama lain dan toleran terhadap perbedaan.
Di sinilah karakter mereka dibentuk. Namun, “kuali” yang sesungguhnya justru seringkali berada di luar jam kuliah. Ia adalah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), organisasi BEM, himpunan, atau sekadar lingkaran pertemanan di rumah kontrakan. Ketika mahasiswa dari berbagai agama bekerja bersama dalam satu kepanitiaan bakti sosial, mereka belajar bahwa nilai kemanusiaan dan pengabdian bersifat universal, melampaui sekat-sekat teologis.
Kemenangan bersejarah Unhas sebagai Juara Umum PIMNAS 2024 adalah bukti paling nyata dari keberhasilan proses peleburan ini. Tim PIMNAS Unhas adalah representasi dari “Unhas yang Bersatu”; mereka tidak menang sebagai orang Bugis, Mandar, Makassar, Toraja, Jawa, atau Papua, mereka menang sebagai “Anak Unhas”.
Dalam proses peleburan ini, universitas memegang peran sebagai penjaga “api”. Api itu adalah Semangat Hasanuddin, yang dalam Kertas Kerja diterjemahkan sebagai “keberanian, keteguhan, dan pengabdian”. Nilai-nilai inti inilah yang menjadi katalisator, perekat bersama yang mengikat keragaman. Keberanian untuk berpendapat walau berbeda, keteguhan untuk memegang prinsip ilmiah, dan pengabdian untuk kemaslahatan bersama. Semangat inilah, ditambah dengan tagline “Unhasku Bersatu, Unhasku Kuat”, yang menjadi panduan moral bagi seluruh sivitas akademika untuk bersama-sama mengabdi bagi kemajuan bangsa.
Tata kelola universitas yang modern, transparan, dan agile juga krusial. Ketika ada gesekan yang berpotensi menjadi konflik destruktif, kepemimpinan universitas harus hadir sebagai mediator yang adil. Reformasi birokrasi dan komitmen terhadap Zona Integritas memastikan bahwa pelayanan universitas-mulai dari penerimaan mahasiswa, penilaian akademik, hingga layanan karir-diberikan secara objektif, tidak berdasarkan bias suku, agama, atau latar belakang sosial. Ini membangun kepercayaan (trust), yang merupakan elemen esensial bagi sebuah melting pot agar berfungsi dengan baik.
Gabungan dari meeting point yang inklusif dan melting point yang dinamis inilah yang mengubah Unhas menjadi sebuah laboratorium kebangsaan yang unik. Ia menjadi prototipe ideal tentang bagaimana Indonesia-dengan kebhinnekaannya-seharusnya bekerja. Di sini, perbedaan bukanlah ancaman, melainkan sumber daya sekaligus modal sosial yang dahsyat. Keberhasilan laboratorium ini adalah prasyarat mutlak untuk mewujudkan visi “unggul, berdampak, dan berdaya saing global”.
Pertama, mari kita bedah visi “unggul dan berdaya saing global”. Target ambisius untuk menembus Top 500 dan akhirnya Top 300 Peringkat Dunia (QS WUR) bukanlah sekadar perlombaan metrik reputasi atau sitasi. Ia adalah tuntutan untuk menghasilkan lulusan dan riset yang relevan secara global.
Kompetensi global yang paling fundamental di abad ke-21 adalah kecerdasan lintas-budaya (cross-cultural intelligence). Seorang lulusan Unhas yang telah “melebur” selama 4 tahun di Kampus Merah, yang terbiasa berdebat, bekerja sama, dan berteman dengan orang-orang dari puluhan latar belakang berbeda, secara otomatis memiliki keunggulan kompetitif. Mereka adalah lulusan yang “adaptif dan berdaya saing global” karena mereka telah mempraktikkannya setiap hari. Mereka adalah “Lulusan yang berkarakter, unggul”-karakter Bhinneka Tunggal Ika.
Kedua, visi “berdampak”. Misi Unhas adalah “berkontribusi nyata pada kesejahteraan masyarakat menuju Indonesia Emas 2045” dan fokus pada hilirisasi riset. Bagaimana mungkin Unhas bisa memberi dampak nyata pada masyarakat di Kepulauan Aru atau pedalaman Halmahera jika ia tidak memahami denyut nadi dan kearifan lokal masyarakat tersebut? Di sinilah fungsi laboratorium multikultural Unhas bekerja.
Mahasiswa yang berasal dari daerah-daerah tersebut (bagian dari meeting point) membawa serta “masalah nyata” dan “konteks lokal” ke dalam kampus. Di dalam “kuali” riset Unhas, seperti melalui Thematic Research Group (TRG) atau program pendampingan desa binaan, konteks lokal ini bertemu dengan keunggulan metodologi riset. Hasilnya adalah inovasi yang tepat guna, inovasi yang “berdampak” karena ia lahir dari pemahaman mendalam akan keragaman kebutuhan masyarakat.
Ketiga, pondasi visi itu sendiri: “berbasis Benua Maritim Indonesia” (BMI). Unhas tidak akan pernah bisa menjadi pusat unggulan BMI jika ia gagal menjadi “rumah” bagi orang-orang BMI itu sendiri. Dengan menjadi meeting point dan melting point yang sukses bagi putra-putri terbaik dari seluruh kepulauan, Unhas bukan lagi sekadar mengkaji Benua Maritim Indonesia; Unhas adalah Benua Maritim Indonesia dalam bentuk mikrokosmos intelektual. Lulusannya adalah “Manusia Maritim” dalam arti yang sesungguhnya: pribadi yang tangguh, adaptif, berani melintasi batas (budaya), dan memiliki jejaring yang luas laksana lautan lepas yang tak bertepi.
Pada akhirnya, refleksi atas Unhas sebagai laboratorium kebhinnekaan membawa kita pada satu kesimpulan. Kekuatan terbesar Unhas bukanlah semata-mata pada capaian IKU, akreditasi Unggul, atau predikat WTP. Kekuatan terbesarnya terletak pada kemampuannya merajut ribuan benang perbedaan menjadi sehelai permadani kebangsaan yang kokoh.
Visi besar 2030, dengan segala target global dan dampaknya, hanya akan tercapai jika Unhas terus merawat kodratnya sebagai rahim intelektual yang melahirkan generasi-generasi yang bangga akan identitas lokalnya, sekaligus nyaman dalam identitas kolektif ke-Indonesiaan dan kemanusiaan global. Sebagaimana tagline yang didengungkan: “Unhasku Bersatu, Unhasku Kuat”. Persatuan dalam keragaman inilah yang menjadi kekuatan sejati Kampus Merah yang selalu menjadi kebanggaan kita semua.
Oleh:
Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc
Rektor Universitas Hasanuddin (Unhas)







