Tanah Papua Terus Bergerak, Gempa Nabire Bukan Anomali

Posted on

Gempa magnitudo 6,6 yang mengguncang Nabire, Papua Tengah, Jumat (19/9/2025) dini hari, kembali menegaskan posisi tanah Papua sebagai panggung utama pertemuan lempeng dunia. Guncangan dangkal itu berpusat di darat, sekitar 24 kilometer, dengan sumber dari Sesar Anjak Weyland. BMKG menyebut mekanismenya berupa sesar naik, sehingga tidak berpotensi tsunami, tetapi cukup kuat dirasakan warga.

Fenomena ini sesungguhnya sudah sejak lama dijelaskan dalam kajian tektonik. Pada tahun 1993, geolog T.O. Simandjuntak menerbitkan tulisan berjudul “Neogene Tectonics and Orogenesis of Indonesia” di Jurnal Geological Society of Malaysia, Bulletin 33.

Dalam paparannya, Simandjuntak menyebut bahwa Orogenesa Melanesia menyebabkan berkembangnya sabuk lipatan dan sesar naik di Papua yang berlanjut hingga Pegunungan Tengah Irian Jaya. Penjelasan ini sejalan dengan kondisi Nabire yang berada di jalur patahan aktif, sehingga gempa menengah hingga besar menjadi bagian dari pola alami.

Simandjuntak menekankan bahwa tekanan miring antara Lempeng Australia dan Lempeng Pasifik telah menghasilkan dorongan kerak bumi yang kompleks. Hal itu menjadikan Papua sebagai wilayah dengan struktur tektonik berlapis, di mana sesar tua bisa kembali aktif.

“Banyak sesar di Papua adalah struktur lama yang bereaktivasi pada masa kini,” tulis Simandjuntak dalam jurnal tersebut.

Dorongan lempeng ini tidak hanya melahirkan patahan, tetapi juga pegunungan raksasa. Menurut Simandjuntak, tekanan yang mendorong kerak bagian atas menghasilkan lipatan dan patahan tipis, membangun pegunungan raksasa dengan cepat.

Realitas ini kini tampak dalam wujud Pegunungan Tengah Papua dengan puncak hampir 6.000 meter. Energi yang terkunci di balik lipatan itu sesekali dilepaskan sebagai gempa seperti yang terjadi di Nabire.

Simandjuntak juga mengingatkan bahwa kawasan timur Indonesia memang rentan terhadap aktivitas seismik.

“Zona tumbukan di Papua bersifat aktif dan dapat terus menghasilkan gempa serta pengangkatan pegunungan,” tulisnya.

Dengan kata lain, gempa Nabire bukanlah anomali, melainkan kelanjutan dari sejarah panjang benturan lempeng sejak jutaan tahun lalu.

Lebih dari tiga dekade setelah kajian ilmiah itu diterbitkan, tergambar dari lipatan yang terbentuk sejak Neogen hingga sesar Weyland yang kembali bergeser, semua menunjukkan bahwa Papua adalah tanah yang terus bergerak.

Sebelumnya, BNPB memberi penjelasan terkait perbedaan data kekuatan dan kedalaman gempa yang mengguncang Kabupaten Nabire, Papua Tengah. Data dari lembaga luar negeri seperti USGS dan GFZ Jerman sempat memberikan angka magnitudo 6,1, dengan kedalaman antara 10 hingga 30 km. Namun, BNPB menegaskan bahwa data resmi yang dijadikan acuan adalah hasil BMKG magnitudo 6,6 pada kedalaman 24 km.

Gempa yang terjadi sekitar pukul 01.19 WIB itu diidentifikasi sebagai gempa dangkal dengan mekanisme thrust fault, alias sesar naik-sesuai analisis BMKG. Karena pusat episenter berada di darat dan mekanismenya seperti itu, gempa ini tidak menimbulkan potensi tsunami.

Dari dampak yang terjadi, tercatat sejumlah kerusakan ringan hingga sedang, dua rumah warga rusak, plafon kantor dan gereja terkelupas, beberapa bagian bandara dan jembatan mengalami kerusakan, dan gangguan komunikasi sempat terjadi.

Hingga kini belum dilaporkan korban jiwa. BNPB bersama BPBD setempat sedang melakukan asesmen lapangan untuk menentukan langkah penanganan dan perbaikan infrastruktur yang terdampak