Penurunan paling banyak kejadian stunting adalah di usia 1 tahun, angkanya berkisar di 11 persen. Sementara pada usia 2 hingga 2,5 tahun, masih terdapat peningkatan mencapai 19,9 persen.
Bila dirinci berdasarkan status sosial ekonomi, prevalensi stunting terbanyak dilaporkan pada anak yang lahir di kelompok Q1 dengan kategori keluarga miskin. “Prevalensi stunting pada kelompok yang relatif miskin jauh lebih tinggi 26 persen atau 1.155.547 kasus,” terang Prof Asnawi dalam konferensi pers Kamis (5/6/2025).
Sementara pada kelompok kategori Q5 kelompok paling kaya, angka stunting hanya berada di 13 persen.
“Ini mengindikasikan anak-anak yang lahir dari keluarga sosial ekonomi Q1, memiliki risiko 2 kali lebih besar, dibandingkan anak-anak yang lahir dari Q5,” tandasnya.
“Apabila kita ingin menurunkan angka stunting di masa yang akan datang perhatian kita harus lebih fokus pada kelompok ini dibandingkan yang lain,” terangnya, sembari menekankan ada 3 dari 10 balita pada keluarga miskin mengalami stunting.
SSGI 2024 juga menunjukkan prevalensi stunting terendah terjadi di Bali dengan 8,7 persen. Namun, masih ada provinsi yang mencatat angka stunting di bawah rata-rata nasional yakni NTT, Sulawesi Barat, Papua Barat Daya, hingga Nusa Tenggara Barat.
Masing-masing di atas 30 persen.