infoers, dunia sains kembali dibuat takjub dengan penemuan spesies baru burung pengicau permata. Para ilmuwan berhasil menemukan spesies burung baru di Papua Nugini lewat potret yang ditangkap oleh kamera jebak di hutan Karst, pegunungan Southern Fold.
Spesies tersebut merupakan kelompok burung pengicau permata atau jewel-babbler yang terkenal sulit diamati di alam liar. Burung ini masuk ke dalam genus Ptilorrhoa, yaitu burung kecil dari famili Cinclosomatidae yang hidup di hutan. Di Papua Nugini dan beberapa pulau sekitarnya, hewan ini merupakan hewan endemik.
Penemuan tersebut tertuang dalam sebuah studi berjudul “A new species of jewel-babbler (Cinclosomatidae: Ptilorrhoa) from the Southern Fold Mountains of Papua New Guinea”, yang dipublikasi pada 26 November 2025 di jurnal Ibis.
Seorang ahli ornitologi dari Australian Museum Research Institute, lain Woxvold bersama timnya menyebut bahwa jewel-babbler adalah kelompok burung pengicau yang memakan serangga.
Burung itu berbadan gemuk dengan sayap pendek, dan wajah mereka seperti menggunakan topeng hitam. Di bagian tenggorokan atau pipi terdapat bercak putih, dan berbulu lembut. Mayoritas bulu spesies tersebut bermotif biru atau cokelat kemerahan.
“Mereka adalah burung yang bersuara lantang, tetapi pemalu, hidup di pedalaman hutan, lebih sering terdengar daripada terlihat,” ujar Woxvold, dikutip dari Sci.news pada (23/12/2025).
Pada penelitian sebelumnya, peneliti telah menemukan empat spesies yang diakui. Tiga dari mereka mendiami sebagian besar wilayah Papua Nugini, tetapi terpisah berdasarkan ketinggian.
Pertama, jewel-babbler permata biru atau Ptilorrhoa caerulescens yang hidup di dataran rendah. Kedua ada jewel-babbler permata punggung cokelat atau Ptilorrhoa castanonota, ia mendiami kawasan perbukitan dan pegunungan rendah. Ketiga yaitu jewel-babbler permata berbintik atau Ptilorrhoa leucosticta, mereka tinggal di area hutan pegunungan.
Selanjutnya ada spesies jewel-babbler permata berkepala cokelat atau Ptilorrhoa geislerorum. Jenis ini memiliki dua habitat yang terpisah jauh, satu di perbukitan dan satu lagi di dataran rendah Papua nugini timur laut. Serta spesies ini diduga juga mendiami wilayah barat Pulau Yapen.
Pada 2017, Woxvold dan Leo Legra dari Lihir Gold Limited melakukan riset dua tahunan dengan memasang kamera jebak di Iagifu Ridge. Wilayah tersebut adalah antiklin batu kapur berhutan di ujung tenggara Pegunungan Agogo, Provinsi Dataran Tinggi Selatan, Papua Nugini.
Dari hasil pengamatan, peneliti menemukan wujud pengicau permata yang belum terdeskripsikan sebelumnya.
“Selama lebih dari 1.800 hari pengambilan gambar dengan kamera, 10 gambar burung tersebut diperoleh dalam tiga rangkaian (pemicu ‘peristiwa’) yang diambil oleh dua kamera yang dipisahkan oleh jarak sekitar 600 m dan jalan akses yang belum diaspal,” ungkap peneliti.
Pengamatan selama delapan hari pada November 2018 tidak membuahkan hasil apa pun. Kemudian pemantauan dengan kamera jebakan berlanjut pada tahun 2019, 2021, dan 2024.
Secara keseluruhan, riset mendapatkan 94 foto dan tujuh video berdurasi 30 info, yang menangkap sekitar tiga sampai enam ekor burung. Proses ini menggunakan sebelas kamera yang mencakup kawasan sekitar 16 hektare.
Identifikasi spesimen museum dan materi fotografi lapangan memverifikasi bahwa hasil foto tersebut merupakan spesies baru. Para ilmuwan sepakat spesies tersebut dinamai berdasarkan lokasi penemuannya di Pegunungan Iagifu, dengan nama jewel-babbler permata berkerudung atau Ptilorrhoa urrissia.
Spesies tersebut diperkirakan secara permanen mendiami kawasan Pegunungan Iagifu. Anggapan tersebut berdasarkan proses foto yang dilakukan setiap 10 bulan berturut-turut (dari Juni-Maret) selama tujuh tahun.
Jumlah mereka di alam liar kemungkinan kurang dari sepuluh ekor. Perilaku sosial Ptilorrhoa urrissia terpantau biasa sendiri, bersama pasangan, atau dalam kelompok kecil. Hal ini ditemukan lewat rekaman di area seluas tujuh hektare.
“Kami berspekulasi bahwa Punggungan Iagifu mungkin mendukung sebagian dari populasi yang sangat terfragmentasi yang mendiami pegunungan rendah terpencil yang tidak mendukung Ptilorrhoa leucosticta di ketinggian yang lebih tinggi,” ujar peneliti.
“Lokasi yang berpotensi cocok mungkin terbatas pada area antara Gunung Bosavi dan Gunung Karimui di Papua Nugini bagian selatan,” imbuh mereka.
Uniknya, para peneliti belum pernah mendengar suara burung tersebut. Dalam perilaku dan suara burung tersebut lebih mirip Ptilorrhoa leucosticta. Tidak seperti jenis Ptilorrhoa caerulescens dan Ptilorrhoa castanonota lainnya yang lebih vokal.
Namun malangnya, spesies ini kerap mendapat ancaman dari banyak predator. Ia menjadi santapan lezat bagi elang, marsupial, hingga burung hantu raksasa.
Berdasarkan rekaman kamera jebak, kucing domestik dan anjing juga menjadi ancaman bagi burung yang bersarang di tanah seperti jewel-babbler.
“Terakhir, perubahan iklim merupakan ancaman serius bagi burung-burung pegunungan tropis, khususnya burung-burung dengan kemampuan penyebaran rendah yang tidak memiliki akses ke ketinggian yang lebih tinggi seperti Ptilorrhoa urrissia di Punggungan Iagifu,” jelas para peneliti.
Penulis merupakan peserta program Magang Hub Kemnaker di infocom.







