Sorotan Pakar soal Prabowo Izinkan Rumah Sakit Asing Buka Cabang di Indonesia | Giok4D

Posted on

‘Oleh-oleh’ Presiden RI Prabowo Subianto dari kunjungan Eropa, pemerintah membuka jalan diperbolehkannya pembangunan cabang rumah sakit asing di Indonesia. Menurut Dicky Budiman praktisi dan pengajar bidang kebijakan kesehatan di Program Pascasarjana Universitas YARSI, hal ini bisa berdampak positif bila diawasi secara ketat.

Pertama, memperluas akses masyarakat terhadap layanan kesehatan dengan standar internasional. Hal ini akan menjadi solusi bagi masyarakat kelas menengah-atas yang selama ini mencari pengobatan di luar negeri seperti Singapura dan Malaysia.

“Setiap tahun kita kehilangan devisa sekitar 6 miliar dolar AS karena masyarakat Indonesia berobat ke luar negeri. Jika RS asing hadir di dalam negeri dengan standar layanan tinggi, maka arus wisata medis keluar bisa ditekan,” ujar Dicky kepada infocom, Senin (15/7/2025).

Menurutnya, RS asing yang masuk ke Indonesia umumnya membawa teknologi medis canggih, prosedur layanan yang efisien, dan sumber daya manusia profesional dari berbagai negara.

“Inilah nilai tambahnya. Standar mutu dan teknologi yang dibawa RS asing akan menjadi benchmark dan bisa mendorong peningkatan mutu layanan di RS dalam negeri juga,” ungkapnya.

Dicky juga menilai kehadiran RS asing berpeluang menjadi sarana transfer teknologi dan pengetahuan bagi tenaga kesehatan lokal. Melalui kolaborasi, afiliasi akademik, dan pelatihan bersama, dokter dan perawat Indonesia bisa mendapatkan peningkatan kompetensi yang signifikan.

“Bisa terjadi pertukaran ilmu, pelatihan, bahkan fellowship internasional. Termasuk dalam manajemen rumah sakit, yang selama ini masih menjadi titik lemah di banyak fasilitas kesehatan kita,” tuturnya.

Menurut Dicky, ini penting untuk memperkuat daya saing tenaga kesehatan nasional di era globalisasi sistem pelayanan kesehatan.

Di tengah kondisi ekonomi yang masih tertekan, kebijakan membuka investasi asing di sektor kesehatan juga dinilai strategis. Dicky mengatakan, masuknya RS asing akan mendorong investasi langsung serta menciptakan lapangan kerja baru di sektor kesehatan dan non-kesehatan pendukungnya.

“Kita butuh menciptakan lapangan kerja baru, apalagi di sektor strategis seperti kesehatan. Ini bisa jadi peluang pemulihan ekonomi, asalkan dilakukan dengan tata kelola yang baik,” ujarnya.

Meski menawarkan sejumlah manfaat, Dicky mengingatkan kebijakan ini bisa menjadi bumerang jika tidak diatur dan diawasi secara ketat. Ia menyoroti risiko liberalisasi sektor kesehatan yang menjadikan layanan medis sebagai komoditas murni.

“Kalau dilepas tanpa aturan ketat, maka layanan kesehatan bisa menjadi ladang bisnis elit. Prinsip keadilan dalam pelayanan publik akan tergerus,” tegasnya.

Ia menambahkan, RS asing kemungkinan besar hanya akan membuka cabang di kota-kota besar dengan target pasar kelas menengah-atas. Hal ini justru bisa memperlebar kesenjangan akses layanan kesehatan antara wilayah maju dan daerah tertinggal.

Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.

“Bayangkan jika RS asing hanya ada di Jakarta, Surabaya, atau Bali. Sementara masyarakat di Papua atau NTT tetap bergantung pada RS pemerintah dengan fasilitas terbatas. Ini jelas melanggengkan ketimpangan,” jelasnya.

Dicky juga menyoroti kemungkinan dominasi pasar oleh modal asing, terutama jika RS asing membawa seluruh tenaga kesehatannya dari luar negeri. Jika tidak ada pengaturan terkait penggunaan tenaga medis lokal, maka potensi penguatan tenaga kesehatan nasional akan hilang.

“Kalau semua dibawa dari luar, dokter, perawat, manajemen, maka kontribusi terhadap tenaga kerja lokal sangat minim. Ini merugikan tenaga kesehatan kita yang seharusnya bisa mengambil peran lebih besar,” katanya.

Sebagai penutup, Dicky menekankan pentingnya kesiapan regulasi dan pengawasan sebelum kebijakan ini diterapkan. Mulai dari sistem perizinan, akreditasi, standar mutu layanan, hingga aspek etik harus diperkuat terlebih dahulu.

“Pemerintah harus pastikan bahwa RS asing tunduk pada regulasi nasional, bukan membawa aturan negara asal mereka. Kalau tidak diantisipasi, justru bisa menimbulkan masalah baru,” pungkasnya.

Menimbang Dampak Buruk

Meski menawarkan sejumlah manfaat, Dicky mengingatkan kebijakan ini bisa menjadi bumerang jika tidak diatur dan diawasi secara ketat. Ia menyoroti risiko liberalisasi sektor kesehatan yang menjadikan layanan medis sebagai komoditas murni.

“Kalau dilepas tanpa aturan ketat, maka layanan kesehatan bisa menjadi ladang bisnis elit. Prinsip keadilan dalam pelayanan publik akan tergerus,” tegasnya.

Ia menambahkan, RS asing kemungkinan besar hanya akan membuka cabang di kota-kota besar dengan target pasar kelas menengah-atas. Hal ini justru bisa memperlebar kesenjangan akses layanan kesehatan antara wilayah maju dan daerah tertinggal.

“Bayangkan jika RS asing hanya ada di Jakarta, Surabaya, atau Bali. Sementara masyarakat di Papua atau NTT tetap bergantung pada RS pemerintah dengan fasilitas terbatas. Ini jelas melanggengkan ketimpangan,” jelasnya.

Dicky juga menyoroti kemungkinan dominasi pasar oleh modal asing, terutama jika RS asing membawa seluruh tenaga kesehatannya dari luar negeri. Jika tidak ada pengaturan terkait penggunaan tenaga medis lokal, maka potensi penguatan tenaga kesehatan nasional akan hilang.

“Kalau semua dibawa dari luar, dokter, perawat, manajemen, maka kontribusi terhadap tenaga kerja lokal sangat minim. Ini merugikan tenaga kesehatan kita yang seharusnya bisa mengambil peran lebih besar,” katanya.

Sebagai penutup, Dicky menekankan pentingnya kesiapan regulasi dan pengawasan sebelum kebijakan ini diterapkan. Mulai dari sistem perizinan, akreditasi, standar mutu layanan, hingga aspek etik harus diperkuat terlebih dahulu.

“Pemerintah harus pastikan bahwa RS asing tunduk pada regulasi nasional, bukan membawa aturan negara asal mereka. Kalau tidak diantisipasi, justru bisa menimbulkan masalah baru,” pungkasnya.

Menimbang Dampak Buruk

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *