Senyum Sodikin mengembang di antara janggut tipis yang memutih saat menunjukkan petakan sorgum yang tingginya lebih dari sedepa. Sinar matanya menyala, saat bercerita tentang bagaimana tanaman kuno asal Afrika itu membangunkan lahan bekas pabrik yang telah lama tertidur di pinggiran Kota Bandung.
Angin sepoi-sepoi menyapa, ketika pria berperawakan kurus itu menyusuri petakan ladang sorgum yang ditanamnya setahun yang lalu. Dedaunan tanaman bernama latin Sorghum bicolor itu berkilat hijau, bulirnya menguntai bak mutiara putih ikut melambai-lambai.
Lahan sorgum garapan Sodikin terletak di wilayah Ujungberung, lokasinya diapit dua permukiman Cipadung Kulon dan Sindangsari. Dahulu di lokasi ini berdiri sebuah pabrik pemintalan, namun karena suatu sebab pabrik itu setop beroperasi dan dibongkar, menyisakan tanah seluas 7 hektare yang akhirnya dibiarkan terbengkalai bertahun-tahun.
Aneka satwa liar, seperti ular dan tikus berkembang biak dan kerap merayap ke permukiman di sekitarnya. Belum lagi ada oknum yang menimbun sampah di sana. Hal itu jelas membuat warga menjadi resah.
“Kalau kata pak camat, dulu tempat ini katanya mirip hutan belantara, banyak hewan liar. Pohon durinya juga setinggi orang dewasa,” ucap Sodikin sambil membetulkan topi warna navy andalannya.
Warga kemudian berinisiatif untuk membabat semak belukar dengan harapan bisa ditanami. Dari luas 7 hektare, hanya 3 hektare yang dinilai bisa ditanami, sisanya masih beralaskan beton. Keraguan sempat melanda, karena tanahnya kering dan tak ada sumber air.
“Kemudian ada yang mencoba menanam ubi, ternyata muncul tunas,” kenang Sodikin.
Dari satu rumpun ubi itu, keyakinan tumbuh. Warga mencoba berbagai tanaman lain, dari jagung hingga hanjeli, meski hasilnya belum seberapa. Namun keberanian untuk mencoba membuat lahan yang dulu mati perlahan hidup kembali.
Saat itulah kabar tentang lahan bekas pabrik sampai ke telinga para offtaker yang tengah mencari mitra untuk pengembangan sorgum -tumbuhan yang tak manja soal air-. Bibit didatangkan, dan warga pun diajarkan membudidayakan sorgum. Namun saat itu baru Sodikin yang tertarik.
“Saya juga mulanya hanya coba di 14 garitan (sekitar 150 meter persegi). Hasilnya lumayan, kemarin bisa dapat sekitar satu kuintal, bulir per kilonya dihargai Rp 7 ribu,” ucapnya.
Tumbuhan ini punya kemampuan ratun, batang yang tersisa pascapanen dipotong untuk menumbuhkan tunas baru. Maka dalam satu tahun cukup sekali menanam biji untuk tiga kali panen, sehingga menghemat biaya produksi.
“Mau ditanam dengan cara digali, dicangkul atau digaritan silakan. Setelah ditanam langsung dipupuk di dua minggu pertama. Setelah itu paling tinggal menyiangi saja. Air juga tak perlu banyak, karena tanaman ini tahan di tempat yang kering,” ucap Sodikin.
Karena perawatan sorgum tak rumit, pria berkulit legam itu bisa tetap menjalankan tugasnya sebagai tim Gorong-gorong Bersih (Gober) alias petugas kebersihan di wilayah Kelurahan Cipadung Kulon. Setelah pekerjaan itu selesai, barulah ia pergi ke ladang sekitar pukul 13.00 WIB.
Kehadiran para offtaker yang siap menjemput hasil panen dengan harga tinggi, membuat warga lainnya tertarik untuk menanam sorgum. Singkat kata, di lahan bekas pabrik itu saat ini terhampar 0,7 hektare ladang sorgum yang dikelola oleh tiga orang petani, termasuk Sodikin.
Namun, pada panen yang kedua hasil panen tak sesuai harapan. Bulir-bulir sorgum habis dimakan oleh kawanan burung.
“Saat panen pertama mungkin burung belum tahu, tapi jelang panen yang kedua, ladang sempat bapak tinggalkan karena pekerjaan. Batangnya mah bagus, tapi bulirnya habis dimakan burung. Nah dari sana coba macam-macam cara, hingga akhirnya ketemu cara menutup bulir dengan plastik. Hasilnya ternyata efektif,” kenangnya.
Hal lain yang membuat Sodikin tak berkecil hati, batang-batang sorgum miliknya justru menarik perhatian tim Sorgum Center Indonesia (SCI). Mereka membeli sebagian batang-batang sorgum untuk dijadikan bahan edukasi tentang pembuatan gula dan bioetanol.
Beralih ke kantor SCI yang terletak di Sekemala, Ujungberung, Kota Bandung. Tanaman yang sama tengah diolah menjadi bagian dari riset pangan dan energi bersih.
Di dalam ruangan yang menyerupai laboratorium kecil, terdapat meja panjang dengan jeriken berisi nira, botol-botol kaca, serta panci distilasi yang mengilap. Di tempat itulah Guru Besar Teknologi Pangan Unpas, Prof. Wisnu Cahyadi, mendemonstrasikan proses pembuatan bioetanol (C₂H₅OH) dari sorgum memakai peralatan sederhana.
Gluk… gluk… gluk… cairan kental kuning kecoklatan mengalir ke dalam gelas plastik bening. Seketika tercium semerbak aroma hangat asam-manis, yang menjadi raksa khas cairan fermentasi. Ia kemudian menatap gelas bening berisi nira sorgum, yang telah difermentasi ragi selama 14 hari.
Diciduknya cairan dalam gelas itu dengan sendok, lalu ia teteskan di atas kaca prisma alat refraktometer. Pandangannya tetap fokus sambil mengangkat kacamata, matanya memicing di balik lensa kadar gula (brix) itu sambil dengan wajah sedikit menyeringai. Dibacanya kadar gula yang tersembunyi di balik cairan hijau itu.
“Brix-nya sekitar 18%. Ini cukup bagus, sudah siap untuk didistilasi,” ujar pria berkumis itu sambil mengangguk puas.
Dibantu rekannya Dadang, Wisnu kemudian menuangkan sisa nira fermentasi dari jeriken ke dalam panci penyulingan. Kompor dinyalakan perlahan, dengan mempertahankan suhu di kisaran 76-78 derajat Celcius. Di sinilah keajaiban terjadi, etanol mulai memisahkan diri dari cairan fermentasi.
Uap etanol itu melayang, lalu menyusup menuju kondensor melalui pipa besi. Perlahan-lahan uap yang didinginkan berubah menjadi embun yang menetes ke dalam botol kaca di ujung alat. Terlihat cairan bening terkumpul di dalam botol kaca,
“Nah, inilah bioetanol dari sorgum,” seru Wisnu seraya mengangkat botol kaca berisikan bioetanol. Dalam demonstrasi itu 10 liter fermentasi nira sorgum bisa menghasilkan kurang lebih 800-an ml bioetanol, yakni etanol yang didapatkan dari fermentasi biomassa.
Bioetanol memiliki sifat yang sama dengan alkohol, namun fungsinya jauh lebih strategis. Senyawa ini bisa menjadi bahan campuran bensin untuk meningkatkan bilangan oktan dan mengurangi emisi gas buang kendaraan.
Wisnu menguraikan aneka manfaat dari sorgum ini selain menjadi bioetanol. Bulirnya diolah sebagai pangan pengganti nasi atau tepung, daunnya bisa dijadikan silase atau pakan ternak, batangnya diperas menjadi gula, sedangkan bagas atau ampas sisa ekstraksi nira bisa menjadi briket untuk co-firing di PLTU.
“Kami sudah uji coba briket dari bagas sorgum di lab Tekmira, kalor dari bagas sorgum itu tinggi di atas 3800 kkal/kg. Apalagi kalau dicampur dengan ranting malay sorgum, kan limbah juga itu. Itu bisa menaikkan nilai kalornya,” ujar Wisnu.
Dalam Makalah Kerja Pengelolaan Lingkungan dan Sumber Daya Alam, Badan Pangan Dunia (FAO) dilaporkan, sorgum bisa menghasilkan bioetanol generasi pertama dan kedua yang berkontribusi secara signifikan terhadap konservasi sumber daya fosil dan pengurangan emisi gas rumah kaca.
Bioetanol generasi pertama, adalah etanol yang berasal dari bagian tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai pangan (biji/umbi yang mengandung gula atau pati). Sedangkan, bioetanol generasi kedua dihasilkan dari komponen tumbuhan yang tak dapat dijadikan pangan seperti selulosa, hemiselulosa atau sisa tanaman.
“Jika tanaman ini digunakan untuk memproduksi etanol (dari biji dan nira) serta listrik hijau (dari ampas sorgum yang berlebih), maka dapat dihemat sekitar 3.500 liter setara minyak mentah per hektare lahan tanam,” seperti dikutip infoJabar dari makalah FAO tersebut.
Seperti diketahui, pemerintah pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan mandatori atau mewajibkan penggunaan BBM campuran bioetanol 10% atau E10 pada 2026 mendatang.
Sementara itu, target produksi bioetanol di Indonesia sebanyak 1,2 juta kiloliter (KL) pada tahun 2030, yang tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan didukung oleh Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023. Wisnu mengatakan, sorgum punya tempat untuk mencapai target tersebut.
“Sumbangan terbesar polutan itu kan bahan bakar, asap, udara. Semoga dengan energi berbasis tanaman, khususnya sorgum ini juga bisa membantu mengurangi itu. Dampaknya terhadap sosial ekonomi juga bagus,” ucap Wisnu.
Upaya mengubah sorgum menjadi energi tak berhenti di ruang laboratorium. Pada skala industri, PT Pertamina (Persero) menjajaki potensi sorgum sebagai sumber bahan bakar nabati masa depan. Bahkan, bioetanol dari sorgum benar-benar diuji kemampuannya untuk menggerakan kendaraan.
Momen itu tersaji pada pameran otomotif GIIAS 2024 di ICE BSD, Tangerang 24 Juli 2024 lalu. Kala itu Pertamina memperkenalkan purwarupa bioetanol 100% (E100) yang berasal dari biomassa sorgum. Uji coba dilakukan pada beberapa unit kendaraan berkonsep Flex Fuel Vehicle (FFV) milik Toyota.
Di lokasi uji, tangki bahan bakar mobil diisi cairan bening hasil distilasi nira sorgum. Tak ada aroma khas bensin, hanya wangi hangat menyerupai alkohol. Mesin kemudian dinyalakan. Raungan mesin terdengar halus dan stabil, nyaris tanpa asap tebal dari knalpot.
Tes jalan singkat pun dilakukan untuk menilai pembakaran, emisi, dan efisiensi bahan bakar. Simon Aloysius Mantiri -kala itu masih menjabat Komisaris Utama Pertamina- menjadi salah satu sopir penguji. Ngeng! mobil melaju mantap.
“Saya sudah melakukan test drive dengan menyetir langsung FFV Toyota berbahan bakar bioetanol. Rasanya sama seperti menggunakan bahan bakar pada umumnya, semuanya lancar dan baik,” kata Simon, yang kini menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina dalam keterangan tertulisnya.
Berdasarkan hasil uji coba yang dipaparkan dalam jurnal “Emisi Gas Buang Mesin Pembakaran Internal dengan Bioetanol Sorgum” (Sugiyarto dkk., 2025: SNIV: Seminar Nasional Inovasi Vokasi), hasil uji coba menunjukkan bahwa bahan bakar bioetanol murni dari sorgum (E100) menghasilkan asap kendaraan yang jauh lebih bersih dibanding bensin biasa.
Kadar gas berbahaya seperti karbon monoksida (CO), hidrokarbon (HC), dan nitrogen oksida (NOx) turun hampir setengahnya. Hal ini karena etanol mengandung oksigen lebih banyak, sehingga pembakaran di mesin jadi lebih sempurna dan tidak meninggalkan banyak sisa gas buang. Selain itu, suhu pembakarannya juga lebih rendah, sehingga polusi dari gas NOx bisa ditekan.
Menariknya, meski memakai bahan bakar dari tanaman, mesin tetap berjalan normal tanpa gangguan. Suara mesin halus dan tenaga yang dihasilkan pun stabil. Hasil ini membuktikan bahwa bioetanol dari sorgum bisa menjadi bahan bakar masa depan yang ramah lingkungan dan bisa diproduksi dari sumber daya lokal.
Jika bahan bakar E100 dari sorgum masih dalam bentuk purwarupa untuk riset masa depan, maka Pertamax Green 95 membuka jalan bagi teknologi bioetanol ke tangki-tangki kendaraan warga saat ini.
Perlu dicatat, Pertamax Green 95 dengan kandungan etanol 5% (E5) saat ini diproduksi menggunakan molase dari tebu, yang merupakan langkah awal transisi energi Pertamina sebelum pengembangan skala besar sorgum. Per 1 Oktober 2025, BBN dengan nilai oktan 95 (RON 95) ini dipatok Rp 13 ribu per liter.
Penasaran dengan performanya, infoJabar mencoba mengisi Pertamax Green ke sepeda motor BeAT, kendaraan asal pabrikan Jepang ini punya rasio kompresi 9,2:1 yang umumnya menggunakan Pertalite.
Begitu mesin dinyalakan, perbedaannya langsung terasa. Suaranya lebih halus, tanpa getaran kasar yang biasanya muncul saat menekan gas di awal. Di jalan menanjak, tarikan terasa lebih ringan dan responsif.
Dari segi konsumsi, Pertamax Green juga menunjukkan hasil lebih efisien. Biasanya 2,5 liter Pertalite hanya cukup untuk lima hari perjalanan rata-rata sejauh 13 kilometer per hari. Dengan Pertamax Green, 2,5 liter itu bisa dipakai lebih dari lima hari untuk menjelajah Bandung.
Pengguna Pertamax Green asal Kota Bandung, Kevin (32) juga merasakan performa sepeda motornya meningkat. Ia menyebut tak ada lagi istilah mesin ‘ngelitik’, saat sepeda motor Mio-nya menenggak Pertamax Green.
“Iya lumayan lebih halus di mesin, saya juga baru tahu waktu datang ke pom bensin mau isi Pertamax ditawarkan ini (Pertamax Green) oleh operator SPBU, ya akhirnya saya coba. Memang harganya beda sekian ratus rupiah dibanding Pertamax, tapi ya lumayan sebanding kualitas,” tutur Kevin.
Namun, di tengah gegap gempita kampanye bioetanol, muncul kekhawatiran dari pengendara terkait risiko penggunaan bahan bakar nabati tersebut kepada mesin kendaraan.
Untuk menjawab pertanyaan itu, infoJabar mewawancarai Tutuko Wirjoatmodjo seorang pakar dan praktisi di bidang otomotif, khususnya di teknologi retrofit hybrid electric vehicle dan bahan bakar terbarukan (renewable fuel) secara daring.
Pemilik gelar Master of Engineering and Technology Management dari University of Queensland, Australia itu mengatakan, penggunaan bioetanol untuk otomotif sudah mencuat sejak tahun 1920-an.
Sekedar informasi, bioetanol pertama kali digunakan untuk otomotif pada tahun 1920 ketika Henry Ford menjalankan Ford Model T miliknya dengan bahan bakar ini. Ford meyakini etil alkohol sebagai bahan bakar masa depan, namun minat terhadap bioetanol menurun setelah Perang Dunia II karena harga minyak yang murah.
Minat terhadapnya kembali muncul pada tahun 1970-an karena krisis minyak dan masalah polusi. Sejumlah negara kala itu mulai bergerak ke arah energi bersih, salah satunya Brasil, yang merupakan pengekspor gula terbesar di dunia. Di Negeri Samba penggunaan campuran etanol 15% (E15) dan campuran etanol 85% (E85) telah lumrah digunakan secara luas.
“Sekitar tahun 95-an mereka (Brasil) sudah memakai Flex Fuel sampai E85. Ford juga melakukan modifikasi khusus, karena basis karet otomotif banyak menggunakan polyurethane, yang bisa luntur atau mengeras kalau kena alkohol,” ujar Tutuko kepada infoJabar.
Tutuko juga menyoroti ketakutan segelintir pihak terkait gugus OH pada senyawa alkohol dalam bioetanol, yang bisa mengurai menjadi dihidrogen monoksida (H2O) dan membuat mesin menjadi berkarat. Namun menurutnya mesin kendaraan saat ini sudah dirancang bisa menoleransi etanol.
“Ada beberapa komponen di dalam mesin kendaraan seperti karet selang, pipa, gasket pengisi antara dua komponen, tapi untuk E5 sampai E20 rasanya tidak perlu (dimodifikasi). Kalau E40 (campuran etanol 40%) ke atas mungkin perlu dimodifikasi sedikit, tapi itu tidak mahal karena komponen karet tersebut tidak banyak-banyak amat,” ujar Tutuko.
“Sama seperti panci kan, bahan untuk membentuk pancinya itu murah. Sedangkan yang mahal itu cetakannya kan. Nah ini juga sama, tinggal disesuaikan saja bahannya karena cetakannya sudah ada,” ucap Tutuko.
Tak hanya menyoal sisi teknis, Tutuko menekankan pentingnya kemandirian dalam rantai pasok energi. Menurutnya, jika bioetanol diproduksi di tingkat akar rumput dengan memanfaatkan komoditas lokal, maka ada dua maslahat di sana. Pertama ongkos produksi bisa ditekan dan ekonomi rakyat di sekitar sumber bahan baku bisa bergerak.
“Setiap area yang terdapat masyarakat atau komunitas, harus didekatkan dengan ketahanan pangan dan energi sesuai dengan potensi yang ada. Dengan pengelolaan bersama private government partnership,” ujar Tutuko.
Menurutnya sorgum bisa menjadi salah opsi yang prospektif untuk mewujudkan itu. Ia membandingkan sawit dengan sorgum, jika sawit baru bisa dipanen 4 tahun sekali, maka sorgum bisa dipanen tiga kali setahun dengan cakupan area tanam yang tak terlalu luas.
Sementara itu, Prof. Iman Reksowardojo dari Pertamina University menegaskan bahwa kendaraan bermotor keluaran tahun 2000 ke atas aman menggunakan bahan bakar campuran etanol E10-E20, karena desain mesinnya sudah kompatibel. Hampir semua merek modern memenuhi standar ini, dan sepeda motor lebih aman karena teknologi 3-way catalyst yang menurunkan emisi gas buang.
“Motor biasanya keluaran baru, jadi lebih nggak masalah lagi. Yang pasti 2000 ke atas aman lah. Motor lebih maju teknologinya dibandingkan mobil di Indonesia, mereka sudah pakai 3-way catalyst, katalis yang bisa menurunkan emisi gas buang,” ujarnya di Jakarta.
Dari Bandung, benih energi itu tumbuh bukan hanya sebagai sumber bahan bakar, tapi juga sebagai tumpuan ekonomi baru. Di sinilah Wisnu dkk dengan bendera SCI berperan menjembatani ilmu, industri, dan rakyat lewat program pembinaan petani serta UMKM pengolah hasil sorgum.
Sejak Mei 2024, pemerintah pusat menetapkan Kota Bandung sebagai pusat pengembangan sorgum nasional. Amanat itu diwujudkan dalam bentuk Sekemala Integrated (SEIN) Farm Ujungberung, yang dikelola Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan (DKPP) Kota Bandung. Lokasinya ada di Sekemala, Ujungberung.
Di sana, Wisnu dengan latar belakang akademisi Unpas mendirikan SCI yang berkolaborasi dengan DKPP, BRIN dan BRI Peduli. Kelompok lintas disiplin ilmu dan praktisi ahli ini menjembatani antara ilmu, industri dan kesejahteraan masyarakat melalui pembinaan petani serta UMKM pengolah sorgum.
“Sorgum ini tanaman multiguna, alhamdulillah kami sudah mengembangkan 4 kelompok produk. Disebutnya itu P3E alias pangan, pupuk, pakan dan energi,” tutur Wisnu.
Saat ini terdapat empat varian sorgum yang ditanam SCI di SEIN Farm, mulai dari varian bioguma, soper-9, ADV-501 dan ADV-701. Masing-masing sorgum yang ditanam memiliki karakteristik dan keunggulannya masing-masing.
Kantor SCI yang terletak di sebelah utara SEIN Farm, difungsikan sebagai tempat edukasi, riset dan pengolahan sorgum. Di dalamnya terdapat rak-rak yang memajang aneka olahan dari sorgum, mulai dari briket sorgum, gula merah, kue hingga bioetanol.
Sementara itu di bagian sampingnya terdapat aneka mesin hasil kolaborasi bersama yang digunakan untuk mengolah sorgum. Mulai dari mesin penyosoh, mesin penggiling tepung, hingga mesin perajang untuk membuat gula. Tak jarang banyak mahasiswa atau pegiat pangan berkunjung ke tempat ini untuk belajar.
“Untuk pangan dari sorgum kita banyak sekali. Ada sekitar 30 lebih produk pangan dari sorgum, produk kering dan basah. Kemudian kita juga membina 36 UMKM binaan. Mereka memproduksi produk olahan sorgum,” ucapnya.
Rita Mutiasari, salah satu UMKM binaan SCI asal Sumedang, berkreasi mengolah aneka kudapan dari sorgum. Dengan label Benoit Cookies, kue sorgum buatannya melanglang buana di dalam dan luar negeri.
Pegiat pangan lokal ini mengungkapkan, mengolah sorgum itu susah-susah gampang karena karakternya unik. Berbeda dengan tepung gandum, tepung sorgum ini bebas gluten yang membuat adonan tidak melar. Namun dari sisi lain kandungan gizi dari sorgum lebih tinggi daripada tepung gandum.
“Saya mulai mengenal sorgum ini sejak tahun 2019. Kemudian pada saat masa pandemi, omzet naik karena orang mulai berburu makanan sehat, ini membawa berkah,” ujar Rita seraya tertawa kecil.
Dari segi rasa, tepung sorgum memiliki rasa ringan, sedikit manis, dan aroma seperti kacang. Tepung sorgum lebih cocok untuk makanan manis seperti kue, brownies, dan muffin.
Oleh karena itu Rita kemudian bereksperimen agar cita rasa sorgum olahannya bisa diterima oleh semua lidah. Akhirnya terciptalah kue moringa sorgum dan palm keju sorgum. Kedua kudapan itu, diakui Rita memincut lidah warga Texas, Amerika Serikat dan Pakistan.
Tak hanya kukis, Rita juga membuat produk liwet sorgum, sereal, teng teng, brownies hingga bolu marmer dari sorgum.
“Untuk pasaran alhamdulillah setiap bulan selalu ada orderan, walau dari kalangan tertentu. Kue ini dipasarkan ke Sumatera, Kalimantan sampai Bali. Yang belum Sulawesi, Papua sama Maluku. Tapi alhamdulillah setiap bulan selalu ada dari daerah yang baru,” kata Rita.
Dari lahan-lahan di Sekemala hingga dapur-dapur kecil di wilayah Bandung dan Sumedang, sorgum tampak seperti tanaman yang bisa menjawab banyak hal sekaligus: pangan, pakan, hingga energi.
Namun di balik harapan itu, tersimpan satu dilema klasik, ketika perut manusia dan mesin kendaraan sama-sama menuntut bahan bakar dari sumber yang sama. Di sinilah Prof Wisnu mengajak melihat sorgum dari sisi yang lebih luas.
Ia pun menyoroti dilema terkait tarik menarik antara produksi pangan dan energi yang terjadi saat ini. Seperti diketahui, pemerintah pusat saat ini tengah mendorong swasembada gula sekaligus penyediaan bioetanol dari tebu melalui Perpres No 40 Tahun 2023.
“Tebu memang melimpah, tapi sebagian besar masih dibutuhkan untuk gula kebutuhan pokok yang belum terpenuhi. Artinya, sulit memaksimalkan tebu untuk bioetanol tanpa menimbulkan tarik-menarik antara kebutuhan pangan dan energi,” ucapnya.
Oleh karena itu sorgum muncul sebagai pilihan menarik. Tanaman ini punya keunggulan yang sulit disaingi tebu yakni lebih cepat dipanen, lebih adaptif terhadap iklim, dan hampir seluruh bagiannya bisa dimanfaatkan baik untuk pangan maupun untuk produksi bioenergi.
“Panen tebu 9-12 bulan dan setelah panen harus ditanam ulang. Sementara sorgum bisa dipanen 2-3 kali setahun dari satu kali tanam, tanpa harus dibongkar, cukup dilakukan penyiangan dan pemupukan di awal. Dari satu batang sorgum yang dipanen bisa menghasilkan tunas baru, sehingga produktivitasnya jauh lebih tinggi,” jelas Wisnu dengan mata berbinar saat membayangkan potensi tanaman ini.
Ia juga membandingkan sorgum dengan jagung, pembuatan bioetanol pada jagung lebih panjang prosesnya. Biji jagung yang sudah dirontokan harus dihancurkan terlebih dahulu. Jagung diolah menjadi pati, diikuti oleh sakarifikasi (hidrolisis pati menjadi gula), fermentasi gula oleh mikroorganisme untuk menghasilkan etanol, dan terakhir adalah pemurnian etanol melalui distilasi untuk mendapatkan bioetanol murni.
“Kalau sorgum, tinggal peras langsung difermentasi tahapannya. Jadi lebih simpel, terus semua bagian tanamannya terpakai,” ucap Wisnu.
Semangat untuk menanam sorgum menjalar ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat. Saat ini Pemprov mengembangkan lahan sorgum 8 hektare di Cirebon, 20 hektare di Majalengka, 50 hektare di Garut serta sebagian wilayah di Sukabumi.
Ke depan, pengembangan juga akan diperluas ke Indramayu, Subang, serta tambahan area di Majalengka yang dinilai memiliki kondisi iklim ideal untuk tanaman tersebut.
Sorgum tumbuh pada ketinggian 0-800 meter di atas permukaan laut (mdpl), walau pun titik optimalnya berada di ketinggian 500 mdpl. Tanaman ini bisa tumbuh di lahan-lahan marjinal atau tanah yang kering, kurang subur, bahkan cenderung tandus.
“Ini program strategis. Kita manfaatkan lahan-lahan tidak produktif agar bisa menghasilkan. Kalau berjalan, ketahanan pangan nasional bisa terwujud tanpa bergantung pada impor beras maupun palawija,” ujar Wakil Gubernur Jawa Barat Erwan Setiawan, Jumat 3 Oktober 2025 di Cirebon.
Menurut Erwan, pemprov mendorong pemerintah kabupaten/kota untuk menginventarisasi aset lahan yang tak terpakai atau lahan tidur untuk dimanfaatkan tanaman pangan, seperti sorgum. Ia mencontohkan, di Cirebon saat ini terdapat 2 hektare lahan yang dipakai untuk pembibitan dan tahun depan akan diperluas hingga 18 hektare.
Erwan menilai sorgum memiliki potensi besar lantaran seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan. Biji sorgum bisa diolah sebagai pengganti beras maupun tepung, batangnya menjadi bahan baku bioetanol dan biomassa, sementara akarnya berfungsi sebagai pupuk.
“Tidak ada yang terbuang dari tanaman sorgum ini,” ucapnya.
Persoalan pemasaran masih menjadi kendala utama karena produksi sorgum selama ini terbatas pada kelompok kecil petani. Untuk itu, pemerintah akan membentuk kelompok tani sorgum yang lebih terstruktur agar hasil panen hingga hilirisasi bisa terserap optimal.
Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (Distanhorti) Jabar, Dadan Hidayat menargetkan pada 2025, Jawa Barat mampu menanam sorgum seluas 148 hektare dengan produktivitas rata-rata 7 ton per hektare.
Ia menuturkan, soal budidaya sorgum dukungan dari pihak eksternal sangat penting, seperti keterlibatan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) yang menjadi penghubung untuk menghadirkan off-taker penyerapan hasil panen. Pihaknya pun mengarahkan adanya contract farming agar hasil panen petani benar-benar terjamin penyerapannya.
Apa yang dilakukan Sodikin di tanah bekas pabrik itu, SCI dan Pemprov Jabar, sejatinya seirama dengan langkah besar yang sedang ditempuh Pertamina. Di Blora, Jawa Tengah, dan Flores, Nusa Tenggara Timur, perusahaan energi nasional itu tengah mengembangkan ladang sorgum sebagai proyek percontohan bioetanol.
Skala dan teknologinya memang berbeda, namun benang merahnya sama, yakni menjadikan sorgum bukan sekadar tanaman pangan, tetapi sumber energi masa depan.
Vice President (VP) Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan, setiap inisiatif proyek bahan bakar nabati (BBN) yang dilakukan Pertamina, selalu melibatkan masyarakat khususnya petani melalui pengembangan lahan seperti aren, sorgum dan tebu sebagai bahan baku.
“Kehadiran proyek bioethanol akan membuka lapangan kerja yang lebih luas bagi masyarakat setempat, khususnya di pedesaan dan daerah perkebunan, baik langsung maupun tidak langsung, ” ujar Fadjar.
Kendati sorgum punya banyak keunggulan dibanding tumbuhan lain, FAO memandang sorgum masih tertinggal dalam aspek pengalaman metode tanam dan pemuliaan (pengembangan varietas) dibandingkan tanaman yang sudah lama menjadi komoditas global, seperti kedelai, tebu, jagung, dan gandum.
Proses panen sorgum juga dianggap kurang efisien atau belum semapan tanaman industri lain seperti tebu dan jagung. Ini berarti inovasi dan infrastruktur rantai pasoknya masih perlu didorong.
“Saya yakin dan optimis insya Allah bioetanol sorgum ini bisa berkembang di tahun 2028-2030. Ini akan bertambah, karena pemerintah juga ke arah EBT dalam rangka mengurangi emisi karbon. Kalau ini berhasil kita dapat insentif dari kredit karbon itu sendiri,” ucap Wisnu.
Sementara itu Wisnu melihat dampak pemberdayaan warga melalui sorgum sangat tinggi. Menurut perhitungannya satu hektare sorgum bisa dikelola empat orang petani. Belum lagi ketika panen yang bisa memerlukan tenaga hingga 10 orang petani per hektarenya.
“Kalau pemerintah mau menanam satu juta hektare, ada empat juta orang yang terselamatkan. Pengangguran juga bisa berkurang drastis, dalam jangka waktu sekian, ini bisa memberikan energi untuk seluruh elemen,” pungkasnya.
Sementara itu bagi Sodikin, hal itu menjadi kebanggaan tersendiri. Ia tak pernah menyangka, tanaman yang ia rawat di lahan bekas pabrik itu kini ikut berperan dalam gerakan besar menuju kemandirian energi bangsa.
“Harapan saya mah sederhana, semoga panennya makin bagus ke depan,” ujarnya sambil tersenyum.
DARI TANGAN PETANI KE TANGKI BAHAN BAKAR
MELAJU DENGAN BAHAN BAKAR SORGUM
MEMBUKA JALAN BIOETANOL KE TANGKI KENDARAAN WARGA
AMANKAH BIOETANOL UNTUK KENDARAAN?
BANDUNG PUSAT PENGEMBANGAN SORGUM
UMKM BERGELIAT
JAWABAN DARI DILEMA PANGAN ATAU ENERGI
MEMBANGUNKAN LAHAN TIDUR
MEMBERI ENERGI INDONESIA








Jika bahan bakar E100 dari sorgum masih dalam bentuk purwarupa untuk riset masa depan, maka Pertamax Green 95 membuka jalan bagi teknologi bioetanol ke tangki-tangki kendaraan warga saat ini.
Perlu dicatat, Pertamax Green 95 dengan kandungan etanol 5% (E5) saat ini diproduksi menggunakan molase dari tebu, yang merupakan langkah awal transisi energi Pertamina sebelum pengembangan skala besar sorgum. Per 1 Oktober 2025, BBN dengan nilai oktan 95 (RON 95) ini dipatok Rp 13 ribu per liter.
Penasaran dengan performanya, infoJabar mencoba mengisi Pertamax Green ke sepeda motor BeAT, kendaraan asal pabrikan Jepang ini punya rasio kompresi 9,2:1 yang umumnya menggunakan Pertalite.
Begitu mesin dinyalakan, perbedaannya langsung terasa. Suaranya lebih halus, tanpa getaran kasar yang biasanya muncul saat menekan gas di awal. Di jalan menanjak, tarikan terasa lebih ringan dan responsif.
Dari segi konsumsi, Pertamax Green juga menunjukkan hasil lebih efisien. Biasanya 2,5 liter Pertalite hanya cukup untuk lima hari perjalanan rata-rata sejauh 13 kilometer per hari. Dengan Pertamax Green, 2,5 liter itu bisa dipakai lebih dari lima hari untuk menjelajah Bandung.
Pengguna Pertamax Green asal Kota Bandung, Kevin (32) juga merasakan performa sepeda motornya meningkat. Ia menyebut tak ada lagi istilah mesin ‘ngelitik’, saat sepeda motor Mio-nya menenggak Pertamax Green.
“Iya lumayan lebih halus di mesin, saya juga baru tahu waktu datang ke pom bensin mau isi Pertamax ditawarkan ini (Pertamax Green) oleh operator SPBU, ya akhirnya saya coba. Memang harganya beda sekian ratus rupiah dibanding Pertamax, tapi ya lumayan sebanding kualitas,” tutur Kevin.
Namun, di tengah gegap gempita kampanye bioetanol, muncul kekhawatiran dari pengendara terkait risiko penggunaan bahan bakar nabati tersebut kepada mesin kendaraan.
Untuk menjawab pertanyaan itu, infoJabar mewawancarai Tutuko Wirjoatmodjo seorang pakar dan praktisi di bidang otomotif, khususnya di teknologi retrofit hybrid electric vehicle dan bahan bakar terbarukan (renewable fuel) secara daring.
Pemilik gelar Master of Engineering and Technology Management dari University of Queensland, Australia itu mengatakan, penggunaan bioetanol untuk otomotif sudah mencuat sejak tahun 1920-an.
Sekedar informasi, bioetanol pertama kali digunakan untuk otomotif pada tahun 1920 ketika Henry Ford menjalankan Ford Model T miliknya dengan bahan bakar ini. Ford meyakini etil alkohol sebagai bahan bakar masa depan, namun minat terhadap bioetanol menurun setelah Perang Dunia II karena harga minyak yang murah.
Minat terhadapnya kembali muncul pada tahun 1970-an karena krisis minyak dan masalah polusi. Sejumlah negara kala itu mulai bergerak ke arah energi bersih, salah satunya Brasil, yang merupakan pengekspor gula terbesar di dunia. Di Negeri Samba penggunaan campuran etanol 15% (E15) dan campuran etanol 85% (E85) telah lumrah digunakan secara luas.
“Sekitar tahun 95-an mereka (Brasil) sudah memakai Flex Fuel sampai E85. Ford juga melakukan modifikasi khusus, karena basis karet otomotif banyak menggunakan polyurethane, yang bisa luntur atau mengeras kalau kena alkohol,” ujar Tutuko kepada infoJabar.
Tutuko juga menyoroti ketakutan segelintir pihak terkait gugus OH pada senyawa alkohol dalam bioetanol, yang bisa mengurai menjadi dihidrogen monoksida (H2O) dan membuat mesin menjadi berkarat. Namun menurutnya mesin kendaraan saat ini sudah dirancang bisa menoleransi etanol.
“Ada beberapa komponen di dalam mesin kendaraan seperti karet selang, pipa, gasket pengisi antara dua komponen, tapi untuk E5 sampai E20 rasanya tidak perlu (dimodifikasi). Kalau E40 (campuran etanol 40%) ke atas mungkin perlu dimodifikasi sedikit, tapi itu tidak mahal karena komponen karet tersebut tidak banyak-banyak amat,” ujar Tutuko.
“Sama seperti panci kan, bahan untuk membentuk pancinya itu murah. Sedangkan yang mahal itu cetakannya kan. Nah ini juga sama, tinggal disesuaikan saja bahannya karena cetakannya sudah ada,” ucap Tutuko.
Tak hanya menyoal sisi teknis, Tutuko menekankan pentingnya kemandirian dalam rantai pasok energi. Menurutnya, jika bioetanol diproduksi di tingkat akar rumput dengan memanfaatkan komoditas lokal, maka ada dua maslahat di sana. Pertama ongkos produksi bisa ditekan dan ekonomi rakyat di sekitar sumber bahan baku bisa bergerak.
“Setiap area yang terdapat masyarakat atau komunitas, harus didekatkan dengan ketahanan pangan dan energi sesuai dengan potensi yang ada. Dengan pengelolaan bersama private government partnership,” ujar Tutuko.
Menurutnya sorgum bisa menjadi salah opsi yang prospektif untuk mewujudkan itu. Ia membandingkan sawit dengan sorgum, jika sawit baru bisa dipanen 4 tahun sekali, maka sorgum bisa dipanen tiga kali setahun dengan cakupan area tanam yang tak terlalu luas.
Sementara itu, Prof. Iman Reksowardojo dari Pertamina University menegaskan bahwa kendaraan bermotor keluaran tahun 2000 ke atas aman menggunakan bahan bakar campuran etanol E10-E20, karena desain mesinnya sudah kompatibel. Hampir semua merek modern memenuhi standar ini, dan sepeda motor lebih aman karena teknologi 3-way catalyst yang menurunkan emisi gas buang.
“Motor biasanya keluaran baru, jadi lebih nggak masalah lagi. Yang pasti 2000 ke atas aman lah. Motor lebih maju teknologinya dibandingkan mobil di Indonesia, mereka sudah pakai 3-way catalyst, katalis yang bisa menurunkan emisi gas buang,” ujarnya di Jakarta.
Dari Bandung, benih energi itu tumbuh bukan hanya sebagai sumber bahan bakar, tapi juga sebagai tumpuan ekonomi baru. Di sinilah Wisnu dkk dengan bendera SCI berperan menjembatani ilmu, industri, dan rakyat lewat program pembinaan petani serta UMKM pengolah hasil sorgum.
Sejak Mei 2024, pemerintah pusat menetapkan Kota Bandung sebagai pusat pengembangan sorgum nasional. Amanat itu diwujudkan dalam bentuk Sekemala Integrated (SEIN) Farm Ujungberung, yang dikelola Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan (DKPP) Kota Bandung. Lokasinya ada di Sekemala, Ujungberung.
Di sana, Wisnu dengan latar belakang akademisi Unpas mendirikan SCI yang berkolaborasi dengan DKPP, BRIN dan BRI Peduli. Kelompok lintas disiplin ilmu dan praktisi ahli ini menjembatani antara ilmu, industri dan kesejahteraan masyarakat melalui pembinaan petani serta UMKM pengolah sorgum.
“Sorgum ini tanaman multiguna, alhamdulillah kami sudah mengembangkan 4 kelompok produk. Disebutnya itu P3E alias pangan, pupuk, pakan dan energi,” tutur Wisnu.
Saat ini terdapat empat varian sorgum yang ditanam SCI di SEIN Farm, mulai dari varian bioguma, soper-9, ADV-501 dan ADV-701. Masing-masing sorgum yang ditanam memiliki karakteristik dan keunggulannya masing-masing.
Kantor SCI yang terletak di sebelah utara SEIN Farm, difungsikan sebagai tempat edukasi, riset dan pengolahan sorgum. Di dalamnya terdapat rak-rak yang memajang aneka olahan dari sorgum, mulai dari briket sorgum, gula merah, kue hingga bioetanol.
Sementara itu di bagian sampingnya terdapat aneka mesin hasil kolaborasi bersama yang digunakan untuk mengolah sorgum. Mulai dari mesin penyosoh, mesin penggiling tepung, hingga mesin perajang untuk membuat gula. Tak jarang banyak mahasiswa atau pegiat pangan berkunjung ke tempat ini untuk belajar.
“Untuk pangan dari sorgum kita banyak sekali. Ada sekitar 30 lebih produk pangan dari sorgum, produk kering dan basah. Kemudian kita juga membina 36 UMKM binaan. Mereka memproduksi produk olahan sorgum,” ucapnya.
Rita Mutiasari, salah satu UMKM binaan SCI asal Sumedang, berkreasi mengolah aneka kudapan dari sorgum. Dengan label Benoit Cookies, kue sorgum buatannya melanglang buana di dalam dan luar negeri.
Pegiat pangan lokal ini mengungkapkan, mengolah sorgum itu susah-susah gampang karena karakternya unik. Berbeda dengan tepung gandum, tepung sorgum ini bebas gluten yang membuat adonan tidak melar. Namun dari sisi lain kandungan gizi dari sorgum lebih tinggi daripada tepung gandum.
“Saya mulai mengenal sorgum ini sejak tahun 2019. Kemudian pada saat masa pandemi, omzet naik karena orang mulai berburu makanan sehat, ini membawa berkah,” ujar Rita seraya tertawa kecil.
Dari segi rasa, tepung sorgum memiliki rasa ringan, sedikit manis, dan aroma seperti kacang. Tepung sorgum lebih cocok untuk makanan manis seperti kue, brownies, dan muffin.
Oleh karena itu Rita kemudian bereksperimen agar cita rasa sorgum olahannya bisa diterima oleh semua lidah. Akhirnya terciptalah kue moringa sorgum dan palm keju sorgum. Kedua kudapan itu, diakui Rita memincut lidah warga Texas, Amerika Serikat dan Pakistan.
Tak hanya kukis, Rita juga membuat produk liwet sorgum, sereal, teng teng, brownies hingga bolu marmer dari sorgum.
“Untuk pasaran alhamdulillah setiap bulan selalu ada orderan, walau dari kalangan tertentu. Kue ini dipasarkan ke Sumatera, Kalimantan sampai Bali. Yang belum Sulawesi, Papua sama Maluku. Tapi alhamdulillah setiap bulan selalu ada dari daerah yang baru,” kata Rita.
MEMBUKA JALAN BIOETANOL KE TANGKI KENDARAAN WARGA
AMANKAH BIOETANOL UNTUK KENDARAAN?
BANDUNG PUSAT PENGEMBANGAN SORGUM
UMKM BERGELIAT



Dari lahan-lahan di Sekemala hingga dapur-dapur kecil di wilayah Bandung dan Sumedang, sorgum tampak seperti tanaman yang bisa menjawab banyak hal sekaligus: pangan, pakan, hingga energi.
Namun di balik harapan itu, tersimpan satu dilema klasik, ketika perut manusia dan mesin kendaraan sama-sama menuntut bahan bakar dari sumber yang sama. Di sinilah Prof Wisnu mengajak melihat sorgum dari sisi yang lebih luas.
Ia pun menyoroti dilema terkait tarik menarik antara produksi pangan dan energi yang terjadi saat ini. Seperti diketahui, pemerintah pusat saat ini tengah mendorong swasembada gula sekaligus penyediaan bioetanol dari tebu melalui Perpres No 40 Tahun 2023.
“Tebu memang melimpah, tapi sebagian besar masih dibutuhkan untuk gula kebutuhan pokok yang belum terpenuhi. Artinya, sulit memaksimalkan tebu untuk bioetanol tanpa menimbulkan tarik-menarik antara kebutuhan pangan dan energi,” ucapnya.
Oleh karena itu sorgum muncul sebagai pilihan menarik. Tanaman ini punya keunggulan yang sulit disaingi tebu yakni lebih cepat dipanen, lebih adaptif terhadap iklim, dan hampir seluruh bagiannya bisa dimanfaatkan baik untuk pangan maupun untuk produksi bioenergi.
“Panen tebu 9-12 bulan dan setelah panen harus ditanam ulang. Sementara sorgum bisa dipanen 2-3 kali setahun dari satu kali tanam, tanpa harus dibongkar, cukup dilakukan penyiangan dan pemupukan di awal. Dari satu batang sorgum yang dipanen bisa menghasilkan tunas baru, sehingga produktivitasnya jauh lebih tinggi,” jelas Wisnu dengan mata berbinar saat membayangkan potensi tanaman ini.
Ia juga membandingkan sorgum dengan jagung, pembuatan bioetanol pada jagung lebih panjang prosesnya. Biji jagung yang sudah dirontokan harus dihancurkan terlebih dahulu. Jagung diolah menjadi pati, diikuti oleh sakarifikasi (hidrolisis pati menjadi gula), fermentasi gula oleh mikroorganisme untuk menghasilkan etanol, dan terakhir adalah pemurnian etanol melalui distilasi untuk mendapatkan bioetanol murni.
“Kalau sorgum, tinggal peras langsung difermentasi tahapannya. Jadi lebih simpel, terus semua bagian tanamannya terpakai,” ucap Wisnu.
Semangat untuk menanam sorgum menjalar ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat. Saat ini Pemprov mengembangkan lahan sorgum 8 hektare di Cirebon, 20 hektare di Majalengka, 50 hektare di Garut serta sebagian wilayah di Sukabumi.
Ke depan, pengembangan juga akan diperluas ke Indramayu, Subang, serta tambahan area di Majalengka yang dinilai memiliki kondisi iklim ideal untuk tanaman tersebut.
Sorgum tumbuh pada ketinggian 0-800 meter di atas permukaan laut (mdpl), walau pun titik optimalnya berada di ketinggian 500 mdpl. Tanaman ini bisa tumbuh di lahan-lahan marjinal atau tanah yang kering, kurang subur, bahkan cenderung tandus.
“Ini program strategis. Kita manfaatkan lahan-lahan tidak produktif agar bisa menghasilkan. Kalau berjalan, ketahanan pangan nasional bisa terwujud tanpa bergantung pada impor beras maupun palawija,” ujar Wakil Gubernur Jawa Barat Erwan Setiawan, Jumat 3 Oktober 2025 di Cirebon.
Menurut Erwan, pemprov mendorong pemerintah kabupaten/kota untuk menginventarisasi aset lahan yang tak terpakai atau lahan tidur untuk dimanfaatkan tanaman pangan, seperti sorgum. Ia mencontohkan, di Cirebon saat ini terdapat 2 hektare lahan yang dipakai untuk pembibitan dan tahun depan akan diperluas hingga 18 hektare.
Erwan menilai sorgum memiliki potensi besar lantaran seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan. Biji sorgum bisa diolah sebagai pengganti beras maupun tepung, batangnya menjadi bahan baku bioetanol dan biomassa, sementara akarnya berfungsi sebagai pupuk.
“Tidak ada yang terbuang dari tanaman sorgum ini,” ucapnya.
Persoalan pemasaran masih menjadi kendala utama karena produksi sorgum selama ini terbatas pada kelompok kecil petani. Untuk itu, pemerintah akan membentuk kelompok tani sorgum yang lebih terstruktur agar hasil panen hingga hilirisasi bisa terserap optimal.
Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura (Distanhorti) Jabar, Dadan Hidayat menargetkan pada 2025, Jawa Barat mampu menanam sorgum seluas 148 hektare dengan produktivitas rata-rata 7 ton per hektare.
Ia menuturkan, soal budidaya sorgum dukungan dari pihak eksternal sangat penting, seperti keterlibatan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) yang menjadi penghubung untuk menghadirkan off-taker penyerapan hasil panen. Pihaknya pun mengarahkan adanya contract farming agar hasil panen petani benar-benar terjamin penyerapannya.
Apa yang dilakukan Sodikin di tanah bekas pabrik itu, SCI dan Pemprov Jabar, sejatinya seirama dengan langkah besar yang sedang ditempuh Pertamina. Di Blora, Jawa Tengah, dan Flores, Nusa Tenggara Timur, perusahaan energi nasional itu tengah mengembangkan ladang sorgum sebagai proyek percontohan bioetanol.
Skala dan teknologinya memang berbeda, namun benang merahnya sama, yakni menjadikan sorgum bukan sekadar tanaman pangan, tetapi sumber energi masa depan.
Vice President (VP) Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan, setiap inisiatif proyek bahan bakar nabati (BBN) yang dilakukan Pertamina, selalu melibatkan masyarakat khususnya petani melalui pengembangan lahan seperti aren, sorgum dan tebu sebagai bahan baku.
“Kehadiran proyek bioethanol akan membuka lapangan kerja yang lebih luas bagi masyarakat setempat, khususnya di pedesaan dan daerah perkebunan, baik langsung maupun tidak langsung, ” ujar Fadjar.
Kendati sorgum punya banyak keunggulan dibanding tumbuhan lain, FAO memandang sorgum masih tertinggal dalam aspek pengalaman metode tanam dan pemuliaan (pengembangan varietas) dibandingkan tanaman yang sudah lama menjadi komoditas global, seperti kedelai, tebu, jagung, dan gandum.
Proses panen sorgum juga dianggap kurang efisien atau belum semapan tanaman industri lain seperti tebu dan jagung. Ini berarti inovasi dan infrastruktur rantai pasoknya masih perlu didorong.
“Saya yakin dan optimis insya Allah bioetanol sorgum ini bisa berkembang di tahun 2028-2030. Ini akan bertambah, karena pemerintah juga ke arah EBT dalam rangka mengurangi emisi karbon. Kalau ini berhasil kita dapat insentif dari kredit karbon itu sendiri,” ucap Wisnu.
Sementara itu Wisnu melihat dampak pemberdayaan warga melalui sorgum sangat tinggi. Menurut perhitungannya satu hektare sorgum bisa dikelola empat orang petani. Belum lagi ketika panen yang bisa memerlukan tenaga hingga 10 orang petani per hektarenya.
“Kalau pemerintah mau menanam satu juta hektare, ada empat juta orang yang terselamatkan. Pengangguran juga bisa berkurang drastis, dalam jangka waktu sekian, ini bisa memberikan energi untuk seluruh elemen,” pungkasnya.
Sementara itu bagi Sodikin, hal itu menjadi kebanggaan tersendiri. Ia tak pernah menyangka, tanaman yang ia rawat di lahan bekas pabrik itu kini ikut berperan dalam gerakan besar menuju kemandirian energi bangsa.
“Harapan saya mah sederhana, semoga panennya makin bagus ke depan,” ujarnya sambil tersenyum.
JAWABAN DARI DILEMA PANGAN ATAU ENERGI
MEMBANGUNKAN LAHAN TIDUR
MEMBERI ENERGI INDONESIA








