Di Kabupaten Mojokerto, berdiri Situs Trowulan, satu-satunya kawasan arkeologi yang dipercaya sebagai bekas ibu kota Kerajaan Majapahit, pusat peradaban besar yang pernah mempersatukan Nusantara pada abad ke-13 hingga ke-15 Masehi.
Jejak bata merah, candi, petirtaan, dan kolam kuno di kawasan ini menjadi saksi bisu kejayaan Majapahit dalam bidang politik, ekonomi, hingga kebudayaan.
Kini, di tengah geliat modernisasi Mojokerto sebagai kota industri dan destinasi wisata, Trowulan menghadirkan paradoks menarik antara pelestarian warisan masa lalu dan tekanan pembangunan masa kini.
Dalam buku Upaya Pelestarian Situs Kota Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur 1983-1995, dijelaskan bahwa Trowulan merupakan kawasan yang menyimpan jejak autentik dari peradaban Majapahit.
Selama lebih dari dua abad, kerajaan ini membangun warisan monumental yang kini menjadi sumber penting bagi studi sejarah Nusantara. Dari berbagai hasil penelitian dan ekskavasi, ditemukan beragam tinggalan arkeologis yang mencerminkan kemajuan Majapahit.
Peninggalan tersebut berupa bangunan monumental seperti candi, petirtaan (pemandian suci), gapura kerajaan, serta pondasi bangunan yang dahulu berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan aktivitas keagamaan.
Selain bangunan besar, ditemukan pula artefak lepas berupa relief, pecahan keramik Tiongkok, terakota, peralatan logam, hingga batu bata merah, material khas arsitektur Majapahit.
Temuan ini menjadi bukti bahwa kehidupan masyarakat Majapahit telah mengenal teknologi, seni, dan tata kota yang maju. Secara geografis, peninggalan Majapahit tersebar luas di Jawa Timur, mulai dari dataran rendah hingga lereng gunung.
Beberapa situs berada di kawasan Gunung Penanggungan dan Arjuno, wilayah yang sejak masa lampau diyakini sebagai kawasan suci kerajaan. Namun, dari semua situs itu, Trowulan menempati posisi paling istimewa karena diyakini sebagai pusat kota Majapahit.
Trowulan berjarak sekitar 10 kilometer dari Kota Mojokerto dan 55 kilometer dari Surabaya. Dengan luas sekitar 100 kilometer persegi, para arkeolog percaya wilayah ini dahulu merupakan kota besar yang terencana dengan sistem tata ruang, permukiman, jalur air, jalur ekonomi, serta kawasan religius.
Letaknya di dataran aluvial Jatirejo, yang subur dan strategis, sangat mendukung perkembangan peradaban agraris dan maritim Majapahit. Keberadaan situs lain di sekitar Trowulan.
Seperti Candi Rimbi, Candi Bangkal, Candi Pari, Petirtaan Jalatunda dan Belahan, hingga Candi Jawi menunjukkan kesinambungan aktivitas sosial dan spiritual sejak masa pra-Majapahit hingga masa keemasannya. Hal ini mempertegas Trowulan sebagai pusat politik, ekonomi, dan budaya utama di Jawa Timur pada masa itu.
Catatan sejarah dalam Negarakertagama karya Mpu Prapanca (1365 Masehi) juga menegaskan bahwa pusat pemerintahan Majapahit berada di Trowulan. Dari sinilah Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada memimpin imperium luas dengan konsep politik “Nusantara”, yang membentang dari Sumatra hingga Papua.
Temuan arkeologis seperti Candi Brahu, Candi Tikus, Kolam Segaran, hingga Gapura Wringin Lawang menjadi bukti nyata kemajuan tata kota Majapahit. Salah satu contohnya, Kolam Segaran bukan sekadar waduk, tetapi lokasi jamuan kerajaan, menunjukkan Majapahit telah memahami keseimbangan antara fungsi teknis dan estetika lingkungan.
Selain itu, sisa-sisa jalan bata, sumur kuno, jalur air, dan keramik dari berbagai negara membuktikan Majapahit adalah pusat perdagangan internasional yang makmur, serta terbuka terhadap pengaruh budaya asing. Jejak-jejak ini memperlihatkan Trowulan pernah menjadi kota kosmopolitan di masanya.
Kini, artefak dan reruntuhan bata merah di Trowulan menjadi saksi keagungan masa lalu, sekaligus pengingat pentingnya pelestarian warisan Majapahit. Upaya pelestarian yang dimulai sejak 1980-an terus berkembang untuk menjaga memori kolektif bangsa atas peradaban Nusantara yang pernah mencapai keemasannya.
Meski memiliki nilai sejarah tinggi, Trowulan menghadapi tantangan besar akibat pesatnya laju pembangunan di Mojokerto. Kawasan situs bersanding langsung dengan permukiman padat, bengkel las, warung, hingga pabrik bata.
Bahkan, beberapa di antaranya menggunakan bahan yang sama dengan struktur kuno yang masih tertanam di bawah tanah. Sejak ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 2013, pemerintah bersama Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Jawa Timur melakukan berbagai upaya konservasi.
Namun, pelestarian kawasan seluas ini tidak cukup hanya dengan memberikan pagar pembatas atau memasang papan larangan. Pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan lahan membuat sebagian masyarakat membangun rumah di atas lahan purbakala.
Hal ini menyebabkan upaya pelestarian harus melibatkan pendekatan sosial yang berkelanjutan. Para ahli menilai bahwa pelestarian Trowulan membutuhkan model pengelolaan terpadu yang mempertimbangkan kebutuhan masyarakat, nilai sejarah, dan potensi ekonomi sekaligus.
Di sisi lain, pariwisata sejarah memberikan peluang baru. Pemerintah daerah Mojokerto mulai mengembangkan konsep heritage tourism yang menonjolkan edukasi dan pengalaman.
Jalur wisata Majapahit dilengkapi museum, titik foto, hingga pameran digital yang memadukan teknologi realitas virtual (VR) untuk membantu pengunjung memahami struktur kota kuno Majapahit. Pendekatan ini menunjukkan sejarah dapat menjadi daya tarik wisata yang bernilai ekonomi, bukan semata beban pelestarian.
Trowulan hari ini adalah ruang pertemuan antara masa lalu dan masa kini. Setiap bata merah yang tersisa membawa pesan bahwa kejayaan Majapahit dibangun di atas harmoni antara ilmu pengetahuan, spiritualitas, dan kebudayaan.
Nilai-nilai itu, toleransi, gotong royong, keterbukaan pada budaya luar, kembali relevan di tengah masyarakat Mojokerto modern. Sejarah Majapahit mengajarkan bahwa kemajuan sejati tidak berarti meninggalkan masa lalu. Sebaliknya, masa lalu menjadi fondasi untuk membangun identitas dan visi masa depan.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Dalam konteks ini, pelestarian Situs Trowulan bukan hanya kewajiban pemerintah atau arkeolog, tetapi tanggung jawab masyarakat untuk memastikan generasi mendatang tidak hanya mengenal Majapahit dari buku, tetapi dapat melihat dan merasakannya secara langsung.
Trowulan bukan hanya situs arkeologi. Ia adalah simbol memori kolektif bangsa, saksi kejayaan peradaban Nusantara, dan ruang pembelajaran untuk memahami bagaimana sebuah kerajaan besar mampu tumbuh, berjaya, dan memberi pengaruh pada sejarah Indonesia hingga sekarang.
Artikel ini ditulis Fadya Majida Az-Zahra, peserta magang PRIMA Kemenag di infocom.
