Sengketa Pulau Aceh: Rekomendasi Solusi Tata Kelola Wilayah - Giok4D

Posted on

Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 tahun 2025 semula memasukkan empat pulau milik Aceh ke dalam wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Memicu sengketa, Pulau Panjang, Mangkir Besar, Mangkir Kecil, dan Lipan tersebut akhirnya diputuskan Presiden Prabowo Subianto masuk ke wilayah administratif Aceh pada Selasa (17/6/2025).

Pakar geografi lingkungan IPB University, Dr Rina Mardiana, mengatakan, sementara penyelesaian kasus ini dinilai cepat, penting untuk memberi perhatian yang sama bagi pulau-pulau lain yang masih belum ada kejelasan, seperti Rempang, Bintan, dan Raja Ampat.

Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.

Ia mencontohkan, di Rempang-Batam, masyarakat masih bingung menghadapi dualisme kepemimpinan antara Wali Kota Batam yang merupakan pihak regulator, tetapi juga merangkap sebagai Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam yang merupakan operator investasi.

“Ketika datang, rakyat bertanya ‘Bapak sebagai ayah kami atau wakil perusahaan? Kalau sebagai wali kota berarti orang tua kami, kalau sebagai BP Batam dia menjadi perpanjangan investasi’. Ini dualisme yang membingungkan,” kata Rina dalam keterangannya, Jumat (20/6/2025).

Ia menambahkan, masyarakat setempat menjadi tambah bingung karena tidak ada kepastian administrasi terkait hak atas tanah masyarakat adat/lokal. Di samping itu, arah proyek strategis nasional juga dinilai tidak menguntungkan warga setempat.

Sementara itu, Rina menilai hubungan Papua dan Jakarta soal kue ekonomi belum berkeadilan. Hal ini berisiko memburuk jika pihak asing ikut memboncengi gerakan separatis Papua dan pemerintah tidak serius merespons.

Dampaknya, menurut Rina, bahkan mengancam kedaulatan nasional. Jika tidak ada administrasi kadastral (survei dan pemetaan yang sah di mata hukum), Indonesia bisa kehilangan kedaulatan seperti kasus Sipadan-Ligitan yang menjadi milik Malaysia pada 2002.

“Kalau diprovokasi, negara yang berbatasan dan punya kepentingan, bisa fatal. Luka sejarah di Papua berbeda. Kalau Aceh isunya referendum, di Papua isunya pelepasan wilayah,” ucapnya.

Menurut Rina, sengketa empat pulau di Aceh seharusnya menjadi titik balik bagi pemerintah untuk memperbaiki tata kelola wilayah. Khususnya yakni terhadap pulau-pulau kecil yang selama ini luput dari perhatian.

Ia menjelaskan, pulau-pulau kecil saat ini menjadi incaran investasi, dengan kepentingan mulai dari eksplorasi migas hingga pariwisata. Untuk itu, pemerintah seharusnya tidak mengabaikan identitas dan hak masyarakat adat yang sudah hidup turun-temurun di sana.

“Batam, Rempang, dan Galang diarahkan jadi ‘Singapore 2’ dan ada pula ‘New Maldives’ di Kepulauan Seribu. Tapi pemerintah lupa identifikasi pemilik asli: masyarakat adat/lokal dan sejarah penghidupan yang memperkuat relasi sosioagraria antara manusia dan tanah,” ucapnya.

Sementara itu, pulau-pulau kecil di Aceh menunjukkan masalah tata kelola spasial dan administrasi di Indonesia.

“Kemendagri seharusnya mencari dokumen-dokumen sejarah terlebih dahulu, bukan hanya mengandalkan koordinat geografis. Ini sangat ahistoris dan politis sekali,” ucapnya.

Ia mencontohkan, ada berbagai bukti historis, mulai dari peta topografi TNI tahun 1978, kesepakatan bersama pemda Sumut dan Aceh 1988, hingga SK Mendagri No. 111/1992 tentang Penegasan Batas Aceh-Sumut berlandaskan peta 1978 yang menyatakan keempat pulau tersebut berada di wilayah Aceh. Kesemuanya perlu diperhatikan sebelum pemerintah mengeluarkan keputusan seperti keputusan awal Kemendagri.

Di samping masalah proses administratif, Rina juga menyorot ada potensi besar sumber daya alam di wilayah tersebut yang perlu diperhatikan. Cadangan gas di Cekungan Andaman, utara Cekungan Sumatera Utara, memiliki potensi minyak dan gas (migas) signifikan, berdekatan dengan Blok Singkil yang kini dikelola Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) bersama Conrad Asia Energy.

“Secara geologis, wilayah ini berada dalam jalur formasi yang sama dengan sumber-sumber migas Andaman. Artinya, ada potensi yang sama,” jelas Dr Rina yang juga pengajar di Divisi Kependudukan, Agraria, dan Ekologi Politik, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, IPB University.

Untuk memperjelas nasib pulau-pulau kecil di Indonesia, Rina menyarankan untuk mempercepat Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) pulau-pulau kecil. Seluruh wilayah, terutama pulau-pulau kecil, harus segera dipetakan secara menyeluruh agar tidak ada lagi wilayah abu-abu.

Kemudian, pemerintah harus memisahkan peran regulator dan operator investasi sehingga tidak ada dualisme kewenangan.

“Pemimpin daerah tidak boleh menjadi perpanjangan tangan investor,” ucapnya.

Ia juga mengingatkan agar semua daerah diperlakukan setara, sehingga resolusi cepat di Aceh juga dirasakan daerah-daerah lain.

“Wilayah seperti Rempang dan Papua juga berhak atas penyelesaian adil dan cepat, tanpa harus menunggu konflik meluas,” ucapnya.

Ia juga menyarankan tata kelola spasial yang kolaboratif dan demokratis. Setiap penetapan batas wilayah harus melibatkan dialog yang inklusif dengan masyarakat lokal, serta berdasarkan kajian historis dan sosio-kultural.

“Kalau hanya Aceh yang ditangani cepat, sementara Rempang dibiarkan bergolak, ini namanya kebijakan timpang. NKRI butuh konsistensi,” ucapnya

Masalah Rempang-Batam dan Papua

Risiko Dicaplok Negara Lain

Pulau-pulau Kecil Berpotensi Besar

Belajar dari Sengketa Pulau-pulau Aceh

Rekomendasi Solusi Pulau-pulau Kecil RI