Program Sekolah Rakyat membuka jalan baru bagi Sergio Libert Rawai untuk tetap bersekolah, hidup layak di asrama, dan mengejar cita-cita tanpa harus berburu ke hutan.
Wajah Sergio tampak serius menatap gunung yang menjulang tinggi di arah timur Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 29 Jayapura, Papua. Dari jendela kelas 10 C di lantai 2, ia mencoba melepas sejenak kerinduan terhadap kampung halaman dan orang-orang tercinta.
“Gunung itu mirip gunung Rawai di rumah,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (28/12/2025).
Sergio menunjukkan nama lengkap yang tercetak di dada seragam putihnya. Nama gunung yang disebut Sergio sama persis dengan nama akhirnya.
“Rawai nama marga saya,” lanjutnya.
Rasa rindu menyelimuti hati Sergio setelah lebih dari lima bulan tinggal di asrama SRMA 29 Jayapura yang berlokasi di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Jayapura tanpa pulang. Kampung halamannya di Ambaidiru, Serui, Kabupaten Kepulauan Yapen, berjarak sekitar 584 kilometer dari Jayapura.
“Naik kapal berangkat pagi sampai pagi lagi,” tuturnya.
Perjalanan laut dari Jayapura ke Serui membutuhkan waktu sekitar 29 jam 20 menit. Setelah itu, perjalanan masih berlanjut sekitar tiga jam dengan kendaraan darat menuju Kampung Ambaidiru, tempat Sergio dibesarkan.
Terancam Putus Sekolah
Babak baru kehidupan Sergio sebagai siswa SRMA 29 Jayapura bermula ketika seorang pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) dari Kementerian Sosial (Kemensos) datang ke rumahnya dan menawarkan kesempatan melanjutkan pendidikan di Sekolah Rakyat.
Pendamping tersebut menjelaskan bahwa program yang digagas langsung Presiden Prabowo Subianto itu menerapkan sistem asrama dengan seluruh biaya ditanggung negara. Sergio menerima tawaran tersebut meski awalnya belum mendapat restu dari kakek dan neneknya yang masih menginap di kebun kopi.
“Setelah datang nene tete (nenek dan kakek) kaget, terus setuju,” ucapnya.
Sergio bersyukur karena sebelumnya ia terancam tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA di Kota Serui akibat keterbatasan biaya. Kakek dan neneknya, Simson dan Tirsa, hanya mengandalkan hasil kebun kopi dan pekerjaan serabutan sebagai tukang bangunan, sementara mereka juga harus membiayai kuliah salah satu anak di kota.
“Tete tidak setuju lanjut sekolah karena tidak ada biaya, tapi mungkin ada rezeki untuk saya,” tuturnya.
Sejak kecil Sergio tinggal bersama kakek dan neneknya setelah orang tuanya berpisah. Menyadari harus hidup jauh dari rumah, Sergio berinisiatif mengajak temannya, Sepnat Karubaba, untuk ikut mendaftar sebagai siswa Sekolah Rakyat. Sepnat merupakan teman SD dan SMP Sergio di kampung, meski usianya dua tahun lebih tua. Awalnya ibu Sepnat keberatan, namun ayahnya akhirnya mengizinkan.
“Saya ajak dia masuk, supaya ada teman bisa sama-sama masuk sini,” katanya.
Teman Berburu di Hutan
Bagi Sergio, Sepnat bukan sekadar teman sekolah, melainkan sahabat sejak kecil. Salah satu kenangan mereka adalah berjalan kaki hampir setiap hari menuju SMP yang berjarak cukup jauh dari kampung. Mereka berangkat sekitar pukul 06.00 WIT dan tiba di sekolah sekitar pukul 07.15 WIT, sering kali tanpa alas kaki memadai.
“Pakai sandal Swallow,” ujarnya.
Di waktu tertentu, Sergio dan Sepnat juga rutin masuk hutan untuk berburu, baik demi tambahan uang saku maupun sekadar ingin makan daging. Mereka menggunakan senapan angin dan jebakan, menempuh perjalanan sekitar enam jam berjalan kaki.
“Kalau ingin makan daging kuskus berburu. Saya suka berburu di hutan sama Sepnat, tembak burung, kalau malam cari kuskus, kayak kanguru pohon. Selesai jam 3 tidur menginap di goa, pagi lanjut jalan,” ucapnya.
Sergio mengaku telah mendapat izin dari kakek dan neneknya untuk berburu hewan liar. Di lingkungannya, anak-anak ikut berburu merupakan hal lumrah. Orangtua mereka juga senang karena itu berarti bisa makan daging, menu istimewa.
“Kalau mau seminggu di hutan bisa tangkap 20 ekor, kalau hidup tangkap piara. Dipotong dibakar lalu dimasak nene. Pernah dapat kasuari, soa soa, tikus, ular pohon itu kesukaanku,” katanya.
Kehidupan di Asrama Sekolah Rakyat
Hari-hari awal di asrama Sekolah Rakyat menjadi tantangan tersendiri bagi Sergio dan Sepnat. Keduanya sempat merasa rindu rumah dan harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Meski sama-sama dari Papua, bahasa daerah mereka berbeda dengan sebagian siswa lain dari Jayapura.
Namun, proses adaptasi terbantu oleh kepala sekolah, guru, wali asuh, wali asrama, dan tenaga pendidik di SRMA 29 Jayapura. Di balik tantangan tersebut, Sergio mendapatkan banyak hal baru. Ia tersenyum sambil menunjukkan sepatu dan tas yang diterima secara gratis.
“Di rumah tidur pakai tikar, di sini pakai kasur, enak di sini. SMP sekolah pakai sandal di sini pakai sepatu. Sepatu dapat, baju olahraga, baju harian,” jelasnya.
Di Sekolah Rakyat, Sergio juga lebih fokus belajar dan disiplin mengatur waktu, mulai dari tidur, makan, belajar, hingga bermain. Ia pun tidak perlu lagi berburu ke hutan untuk makan daging.
“Kalau di sini belajar, kalau di kampung berburu. Kalau di sini dagingnya beda, daging ayam, daging ikan,” ujarnya.
Kejar Cita-Cita
Melalui Sekolah Rakyat, Sergio dan Sepnat melihat dunia yang lebih luas dan memiliki banyak teman dari berbagai latar belakang. Bahkan, empat guru mereka berasal dari Jawa. Kini, Sergio bercita-cita menjadi pegawai PLN agar dapat menerangi kampung halamannya. Ia menjelaskan listrik baru masuk kawasan tempat tinggalnya tahun 2019 silam.
“Senang punya banyak teman, dapat sekolah gratis, tiap hari bisa makan tiga kali. Cita-cita PLN karena saya di kampung ada adik tete jadi PLN. Pergi macam kepingin, sa sudah biasa ikut sambung kabel, panjat tiang malam-malam. Biasa ikut mobil PLN,” terangnya.
Sementara itu, Sepnat bercita-cita menjadi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ia menyiapkan diri dengan serius belajar Matematika dan Bahasa Indonesia untuk menghadapi seleksi masuk Polri.
“Menggambar yang kurang,” kata Sepnat.
Cita-cita keduanya jauh melampaui mimpi terindah yang pernah didapatkan. Dari pinggiran hutan di Papua kini Sergio dan Sepnat merangkai masa depan dan memungkinkan apa yang selama ini dianggap tidak mungkin dalam hidupnya, dengan kehadiran negara melalui Sekolah Rakyat.
Namun, terlepas dari tekad besar yang dimiliki, keduanya masih anak-anak yang merindukan kasih sayang dan pelukan orangtua. Sergio berharap momen natal pada akhir Desember dapat pulang dan melepas rindu yang sudah tak tertahan.
“Sangat rindu tete nene (kakek nenek), harus pulang ketemu sekali,” pungkasnya.
Simak juga Video: Sekolah Rakyat: Mencetak Generasi Emas 2045







