Potensi Bertentangan dengan Konstitusi: Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah

Posted on

Dua hari setelah mengeluarkan Putusan Nomor 135, penulis bersama beberapa beberapa think tank mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dalam Politics and Colleagues Breakfast (PCB). Di forum tersebut hadir juga Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan perwakilan masyarakat sipil.

Saat itu, kami sependapat bahwa secara substansi, opsi pemisahan pemilu nasional (Pilpres/Pileg) dan pemilu lokal (Pilkada/Pileg) cukup masuk akal. Meski begitu, dalam upaya mmperkuat kelembagaan politik dalam demokrasi, putusan tersebut telah melampaui kewenangan MK. Sebagaimana kita tahu, MK seharusnya memutuskan norma umum, bukan aturan teknis, termasuk model keserentakan pemilu.

Kewenangan penyusunan undang-undang (UU) berada di pemerintah dan DPR. Pada konteks itu, bila MK terlalu sering membuat norma baru, maka dalam jangka panjang, hal tersebut justru bertentangan dengan semangat penguatan kelembagaan. Seharusnya, MK cukup menyatakan bahwa perlu perubahan UU terkait keserentakan.

Lalu mengenai detail pelaksanaan pemilu diserahkan ke pembuat UU melalui pintu open legal policy atau rekayasa konstitusi. Sejauh ini respon partai-partai di DPR beragam, ada fraksi yang secara terbuka menentang keras, namun belum ada yang mendukung secara terbuka. Bahkan berkembang narasi untuk men-challenge putusan tersebut, yang menjadikan situasi semakin rumit.

Pasalnya setiap putusan MK bersifat final and binding, yang berarti tidak ada opsi lain, kecuali melaksanakannya. Dalam situasi yang kadung kompleks ini, apa yang bisa kita lakukan? Pertama, berkaca dari pemilu terakhir, 2024, Pileg di semua tingkatan dan Pilpres dilakukan bersamaan. Beberapa bulan berikutnya, Pilkada digelar, sehingga masyarakat dipaksa untuk terus-menerus terlibat dalam politik.

Ini mengakibatkan munculnya kejenuhan, yang berdampak menurunnya partisipasi pemilih. Apalagi tema kampanye Pilkada kerap kali mirip dengan Pilpres, begitu juga dengan Pileg, sehingga isu-isu lokal hampir tenggelam.

Maka dari itu, sekali lagi, pada konteks pengaturan keserentakan, pemisahan pemilu cukup logis. Namun seharusnya pemisahannya tidak seperti yang direkomendasikan MK. Hasil analisa penulis, justru yang mendesak, pemisahan dilakukan antara Pilpres dan Pileg.

Sebab isu-isu yang diperjuangkan parpol di Pileg sering kali tertutup oleh isu yang dibawa capres dan cawapres. Selain itu, dengan pemisahan model ini, akan meringankan kerja KPU, yang selanjutnya membuat pemilu semakin berkualitas.

Kedua, secara tekstual, putusan 135 berpotensi menimbulkan problem, yaitu bertentangan dengan Pasal 18 dan 22 UUD 1945. Kondisi ini mengakibatkan dilema bagi DPR, di mana di satu sisi putusan MK bersifat mengikat, namun di sisi yang lain, produk tersebut berpotensi melanggar konstitusi.

Bagi Partai Golkar, persimpangan ini yang sedang kami kaji dalam beberapa waktu terakhir, untuk mencari solusi yang tepat pasca putusan tersebut. Bahkan sebelum putusan MK 135, Golkar sudah membentuk Tim Kajian Politik, yang berisi sejumlah politisi senior, yang dibentuk langsung oleh Ketua Umum.

Sementara itu, respon dari Senayan, pimpinan DPR sudah menggelar rapat beberapa hari lalu, dengan mengundang para stakeholders, mulai dari KPU, Kementerian Dalam Negeri, masyarakat sipil, termasuk Perludem-pihak yang melakukan uji materi UU tersebut ke MK.

Semuanya menyampaikan pandangan dengan narasi masing-masing yang tidak tunggal. Termasuk kesimpulan awal dari beberapa pihak, bahwa putusan tersebut secara implisit memerintahkan Pilkada dilakukan secara langsung (direct election).

Terkait hal ini, menurut penulis, semuanya masih bersifat tafsir subjektif, dan perlu kajian lebih lanjut. Sebab MK tidak me-mention secara langsung mengenai diksi “pemilihan langsung”, namun hanya pemilihan yang demokratis. Bagi sebagian anggota DPR, kami melihat bahwa dua opsi pemilihan bisa dilakukan, baik pemilihan langsung maupun melalui perwakilan.

Golkar sendiri terbuka dengan semua opsi, bahkan penulis dengan beberapa think tank di FGD sempat mengkaji opsi alternatif, yaitu pemilihan bersifat hybrid atau asimetris.

Dasar pemikiran pemilihan asimetris, merujuk ke definisi daerah otonom, sebagaimana diatur dalam konstitusi. Dimana otonomi daerah berlaku di tingkat kabupaten/kota, sementara provinsi tidak memiliki hak otonom. Konsekuensinya, pemilihan Bupati/Walikota bisa dilakukan secara langsung, namun untuk Gubernur bisa dengan pemilihan perwakilan, karena pada dasarnya mereka adalah perwakilan dari pemerintah pusat.

Presedennya juga sudah ada, alias hal ini bukan fenomena baru. Misalnya Camat yang selama ini ditunjuk oleh Bupati, sementara Kepala Desa dipilih langsung oleh rakyat. Kita asumsikan desa atau kelurahan adalah wilayah yang mengeksekusi kebijakan langsung ke rakyat. Makanya perlu pemimpin yang dipilih langsung, dan dekat dengan isu-isu lokal.

Selanjutnya, Camat tidak perlu dipilih langsung, karena cara kerjanya lebih banyak bersifat koordinasi. Logika itu pula yang bisa kita gunakan untuk memotret posisi Gubernur dan Bupati/Walikota. Mengenai cara pemilihan Gubernur, salah satunya melalui pengajuan beberapa nama calon oleh Presiden, lalu DPR mengujinya melalui fit and propper test.

Dengan proses yang ketat, sangat mungkin calon terbaik yang akan menjadi pilihan DPR dan Presiden. Lebih jauh, banyak simulasi lainnya yang bisa dilakukan, selain melalui pemilihan langsung.

Sementara itu, dampak lanjutan dari pemilihan langsung di semua level pemerintahan, akan muncul beberapa ekses yang harus diantisipasi. Mulai dari biaya pemilu yang semakin mahal, kerentanan sosial akibat konflik antar masyarakat, calon terpilih yang tidak memiliki kapasitas, hingga perilaku koruptif setelah mereka menjabat.

Faktor lain yang dapat menjadi pertimbangan dilakukan pemilihan langsung atau tidak, bisa juga dilihat dari rata-data tingkat pendidikan pemilih. Semakin rendah tingkat pendidikan rata-rata masyarakat di kota tersebut, maka opsi pemilihan tidak langsung menjadi masuk akal. Mengapa? Karena pengalaman 2024 lalu, money politics marak terjadi, dan menyasar kelompok ini. Sehingga itu mengurangi kualitas pemilu.

Lalu juga bisa dilihat dari kekuatan fiskal daerah, dimana semakin rendah fiskal disana, maka opsi pemilihan langsung bukan prioritas. Kemudian, level kohesifitas sosial juga menjadi pertimbangan, dimana daerah dengan tingkat konflik tinggi, bisa mengambil opsi pemilihan tidak langsung. Sementara yang kohesi sosialnya cukup baik, bisa menjalankan Pilkada langsung.

Satu lagi yang harus menjadi pertimbangan, terkait dengan kearifan lokal di masing-masing wilayah. Misalnya tradisi Noken di sebagian distrik di Papua, tentu kita harus mengakomodasinya sebagai fakta sosial yang berjalan di masyarakat. Begitu juga tradisi musyawarah oleh pemuka adat dan ulama, bisa juga menjadi pertimbangan penyelenggaraan Pilkada ke depan.

Penulis dan beberapa anggota Dewan lainnya sejatinya sejak November 2024-jauh sebelum putusan MK-sudah mengusulkan pembahasan revisi UU politik. Namun saat itu pimpinan DPR belum melihatnya sebagai agenda prioritas. Padahal revisi UU politik sebaiknya dilakukan sedini mungkin, agar ada ruang yang luas untuk mendengarkan masukan masyarakat, akademisi, dan semua kelompok.

Kita khawatir jika DPR terlambat membuka pintu, maka akademisi atau aktivis yang concern pada isu kepemiluan akan datang ke MK. Itulah yang saat ini terjadi, ketika gugatan Perludem di MK disetujui. Padahal seharusnya mereka bisa berdebat di parlemen, diskusi berkali-kali untuk menghasilkan opsi pemilu terbaik.

Bila situasi ini terus bertahan, maka ke depan akan semakin banyak masyarakat yang datang ke MK untuk men-challenge UU. Efeknya, akan semakin banyak putusan MK dari tahun ke tahun, dan itu bukan good news bagi penguatan demokrasi.

Justru hal tersebut akan mempersempit ruang anggota DPR untuk berpikir progresif, kreatif dan inovatif dalam menyusun UU. Mengapa demikian? Karena banyak isu dan narasi terwakili di putusan MK, sehingga DPR hanya menjadi penjahit sebuah UU.

Maka solusinya DPR harus segera merespon putusan tersebut, lebih cepat, lebih baik. Benar bahwa untuk mewujudkan itu semua, tergantung putusan elit. Namun dalam upaya menyusun UU yang ideal, semua pihak harus melihat kepentingan bangsa sebagai yang utama. Dalam hal ini kepentingan tersebut adalah pelembagaan demokrasi yang lebih baik, melalui pemilu yang berkualitas.

Langkah awal yang dapat dilakukan, pimpinan DPR menginisiasi rapat konsultasi dengan mengundang pemerintah, KPU dan MK. Di forum tersebut, DPR bisa mempertanyakan secara langsung, dalam rapat tertutup, mengapa MK memutuskan demikian. Dengan komunikasi langsung-tidak melalui media-maka akan muncul kesepahaman dan titik temu. Semoga!

Ahmad Doli Kurnia Tandjung. Wakil Ketua Umum Partai Golkar.

Simak juga Video: MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Diselenggarakan Terpisah

Potensi Bertentangan dengan Konstitusi

Definisi Daereh Otonom

Semua Pihak Bertemu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *