Krisis global telah menjadi tekanan pada semua industri, termasuk sektor hotel dan restoran. Menyikapi kondisi ini, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) meminta pemerintah untuk bertindak lebih strategis dalam mendorong pertumbuhan pariwisata, baik domestik maupun internasional.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran kepada infoTravel mengatakan bahwa pengenalan destinasi di Indonesia masih kurang. Ada banyak potensi yang belum tergali.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Ia menyinggung tiga bandara yang kembali ditetapkan menjadi internasional, yaitu Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, Bandara Jenderal Ahmad Yani Semarang, dan Bandara H.A.S Hanandjoeddin Bangka Belitung. PHRI yakin bahwa kembalinya bandara-bandara ini dikarenakan permintaan destinasi yang cukup kuat. Namun itu saja tidak cukup.
“Pemerintah harusnya juga melihat destinasi-destinasi lain, jangan cuma satu destinasi saja. ada banyak pilihan destinasi yang memiliki karakter,” katanya.
Kedua, Maulana melihat bahwa pemerintah harus bisa menyasar turis yang lebih besar dengan mengembangkan destinasi di berbagai platform, promosi, dan sektor lainnya.
“Kita butuh destinasi, event yang kuat di tengah efisiensi anggaran pemerintah. Bagaimana pun, kami berharap anggaran itu tetap ada. Pariwisata tanpa promosi itu sulit,” ungkapnya.
Selanjutnya adalah harga tiket pesawat yang masih melambung tinggi. Lagi dan lagi, harga tiket ke luar negeri lebih murah dibandingkan dengan perjalanan domestik. Ini tentu memantik wisatawan untuk liburan ke luar negeri daripada lokal.
“Harusnya pesawat jadi jembatan ke berbagai daerah. Contohnya pembangunan infrastruktur di darat lebih baik, jadi banyak wisatawan yang mulai liburan ke Sumatera, Jawa dan Bali lewat tol,” jawabnya.
Sementara itu, perjalanan ke timur Indonesia masih harus menggunakan pesawat dan harganya masih mahal. Ini ternyata juga berpengaruh pada minat turis.
“Jadi turis masuk ke satu provinsi saja, sehingga spending-nya kurang. Kalau tiket antar daerah murah, maka persebaran turis bisa sampai ke timur,” jelasnya.
Apalagi, hanya ada dua bandara internasional di timur Nusantara yaitu Bandara Sentani (Jayapura, Papua) dan Bandara Komodo (Labuan Bajo, NTT). Ini jelas membuat turis kesulitan.
“Tantangan pariwisata baik mancanegara maupun domestik itu daya beli, semua negara merasakan ini. Tapi sekali lagi, potensi untuk wisman masih besar. Bukan cuma leasure, MICE juga,”jelasnya.
PHRI ingin agar konektivitas internasional dikolaborasikan dengan baik. Ada begitu banyak potensi, tapi minim eksekusi.
Lebih lanjut, Maulana sadar bahwa regulasi dari pemerintah yang membuat semuanya bisa jadi seperti sekarang ini. Harga avtur yang tinggi di dalam negeri, mau tak mau membuat harga tiket ikut melambung. “Ini jadi tantangan tersendiri untuk mendorong pergerakan wisatawan domestik dan internasional,” pungkasnya.