Pulau Sumatera mengalami kehilangan biodiversitas tertinggi daripada wilayah lain di Indonesia beberapa tahun terakhir. Guru Besar Manajemen Lanskap IPB University, Prof Syartinilia mengatakan, temuan ini didasarkan pada data global 2017-2020.
“Analisis pada skala meso di Pulau Sumatera menggunakan Biodiversity Intactness Index (BII) menunjukkan bahwa, berdasarkan data global periode 2017-2020, Sumatra mencatat tingkat kehilangan biodiversitas tertinggi di Indonesia,” kata Syartinilia, dikutip dari keterangan resmi IPB, Selasa (30/12/2025).
Sementara itu, berdasarkan proyeksi hingga 2050, kehilangan biodiversitas diperkirakan mencapai sekitar 15 persen. Syartinilia mengatakan, angka tersebut diperoleh dengan skenario bisnis berjalan di sana seperti biasa.
Jika berlaku skenario bisnis keberlanjutan (sustainability), tingkat kehilangan keanekaragaman hayati dapat dikurangi menjadi sekitar 11 persen.
Syartinilia juga mengungkap hasil analisis lebih lanjut habitat spesies kunci dan karismatik di Sumatera, seperti gajah, orang utan, dan harimau Sumatera.
Pada skenario bisnis biasa, peneliti mendapati habitat gajah diproyeksikan turun hingga 66 persen. Sementara pada skenario keberlanjutan, habitat gajah berpotensi meningkat sekitar 5 persen.
“Pendekatan berkelanjutan terbukti mampu menekan kehilangan habitat secara signifikan,” tegas Syartinilia.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Berdasarkan temuan di atas, Syartinilia merekomendasikan sejumlah aksi adaptasi. Contohnya seperti restorasi terfokus, pengelolaan lanskap terpadu, dan mitigasi ancaman langsung.
Ia juga merekomendasikan konservasi berbasis masyarakat serta investasi konservasi berskala besar. Dalam hal ini, Pulau Sumatra dijadikan sebagai wilayah prioritas.
Syartinilia juga membagikan hasil kajian proyeksi ekosistem Indonesia hingga 2050 berdasarkan perubahan iklim dan aktivitas manusia. Secara nasional, ekosistem Indonesia masih didominasi oleh kerentanan rendah hingga sedang, meskipun terdapat wilayah dengan tingkat kerentanan tinggi.
“Secara spasial, Pulau Sumatra tercatat sebagai wilayah dengan tingkat kerentanan tertinggi, diikuti Papua, Kalimantan, dan Maluku,” kata Sekretaris Lembaga Riset Internasional Lingkungan dan Perubahan Iklim (LRI LPI) IPB University tersebut.
Sementara itu, berdasarkan tipe ekosistem, maka ekosistem lahan basah dan ekosistem pegunungan merupakan tipe ekosistem yang paling rentan secara nasional.
Ia menjelaskan, temuan riset diperoleh dari pendekatan multiskala, mulai dari tingkat nasional hingga pulau. Pada skala nasional, tim peneliti melakukan analisis overlay antara keterpaparan iklim dan kualitas ekosistem terestrial, yang diukur melalui indeks vegetasi.
Peneliti kemudian menggunakan dua variabel tersebut untuk menyusun tingkat kerentanan lanskap. Kerentanan ekosistem nasional hingga tahun 2050 akan digunakan untuk menjadi dasar perumusan prioritas aksi adaptasi perubahan iklim.
Syartinilia mengatakan, kajian ini merupakan bagian dari analisis yang disusun IPB University untuk dokumen National Communication, khususnya pada sektor adaptasi perubahan iklim di bidang ekosistem.
Ia menekankan, perubahan iklim tidak terlepas dari aktivitas manusia. Fenomena kenaikan suhu, pergeseran pola curah hujan, meningkatnya kejadian cuaca ekstrem, kenaikan muka air laut, serta perubahan biodiversitas merupakan proses yang saling terkait.
“Faktor antropogenik (sesuatu yang dipengaruhi aktivitas manusia) memiliki kontribusi signifikan dalam memperkuat dampak perubahan iklim terhadap ekosistem Indonesia,” jelasnya.
