Dua pulau di ujung timur nusantara-Biak di Papua dan Morotai di Maluku Utara-diproyeksikan menjadi gerbang peluncuran satelit dunia. Dengan posisi strategis di garis khatulistiwa, proyek bandar antariksa ini disebut-sebut bisa mengubah peta industri antariksa global.
Menurut Kepala Pusat Riset Teknologi Satelit Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wahyudi Hasbi, studi kelayakan awal telah menegaskan Biak dan Morotai sebagai lokasi paling potensial. Keunggulan utamanya adalah letak geografis yang sangat dekat dengan khatulistiwa. Posisi ini memberikan keuntungan fisik yang signifikan.
“Lokasinya yang dekat khatulistiwa bisa menghemat bahan bakar untuk menuju orbit, dibandingkan dengan lokasi peluncuran di negara-negara subtropis,” jelas Wahyudi.
Keuntungan ini tidak hanya soal efisiensi, tetapi juga soal kapasitas. Adi Rahman Adiwoso, CEO Pasifik Satelit Nusantara (PSN), menjelaskan dampak praktis dari keuntungan ini. Dengan mesin roket yang sama, peluncuran dari khatulistiwa bisa mengangkut beban (payload) lebih berat.
“Kalau roket dari India hanya bisa 600 kg. Kalau saya taruh di Biak, bisa 900 kg dengan mesin yang sama,” ungkap Adi.
Selain itu, jalur penerbangan roket dari kedua lokasi ini langsung mengarah ke laut lepas, baik ke arah timur maupun utara. Ini memastikan bahwa sisa-sisa roket (stage 1 dan 2) akan jatuh di perairan internasional, jauh dari permukiman dan wilayah negara lain. Keuntungan ini sangat krusial karena mengurangi risiko dan menghilangkan kebutuhan untuk meminta izin penerbangan dari negara tetangga.
Pembangunan bandar antariksa ini merupakan investasi jangka panjang. Wahyudi Hasbi menyebut bahwa memiliki fasilitas peluncuran sendiri akan membuka “Access to Space” yang sangat penting bagi Indonesia. Ini bukan hanya tentang logistik peluncuran, tetapi juga tentang pengoperasian satelit dan aspek non-teknis seperti formulasi kontrak dan asuransi yang membentuk ekosistem industri antariksa.
Sektor ini diprediksi menjadi sangat menguntungkan. World Economic Forum (WEF) memperkirakan nilai ekonomi antariksa global mencapai $1.8 triliun pada tahun 2035, dengan estimasi tertinggi mencapai $2.3 triliun. Indonesia perlu mengambil peran dalam “space economy” ini.
BRIN sendiri menyatakan terbuka untuk bekerja sama dengan mitra internasional yang memiliki kapasitas, seperti SpaceX atau JAXA, meskipun saat ini belum ada rencana konkret dari mereka.
Namun, jalan menuju bandar antariksa tidak mulus. Adi Rahman Adiwoso menyoroti birokrasi dan regulasi yang menjadi hambatan utama. Ia menegaskan, tanpa regulasi yang jelas, investasi besar sulit direalisasikan.
“Saya bilang 2027 gue bisa kalau lo kasih regulasi. Saya bisa. Kita mau investasi. Absolutely, gue investasi 50 juta dolar,” kata Adi, menunjukkan keseriusan PSN dalam proyek ini.
Tantangan lainnya adalah isu lingkungan dan hak tanah adat. Wahyudi Hasbi mengakui bahwa masalah ini harus ditangani dengan hati-hati. Tanah adat adalah hak yang dilindungi oleh UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua dan UU Nomor 2 Tahun 2021. Oleh karena itu, penyelesaiannya akan melibatkan Kementerian Dalam Negeri serta Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah Biak Numfor.
Proyek ini, jika berhasil, akan memberikan warisan strategis bagi Indonesia: kemampuan untuk mengakses dan menguasai orbit khatulistiwa, yang oleh Adi Adiwoso disebut sebagai kunci untuk mengendalikan masa depan umat manusia.