Papua di Mata Enrico Kondologit: Kaya Tradisi, Cepat Menyerap Modernitas

Posted on

Antropolog Papua Enrico Kondologit menyoroti kekayaan budaya dan kemampuan masyarakat Papua beradaptasi cepat dengan modernitas dalam talkshow Papuans Day di Museum Bahari, Jakarta Utara, Kamis (11/12/2025). Dia menekankan pentingnya melestarikan tradisi, seperti perahu Wairon dan kearifan lokal, di tengah perubahan sosial dan teknologi yang pesat.

Talkshow bertajuk “Melampaui Panggung, Potensi Seni Pertunjukkan Tradisional sebagai Pilar Ekonomi Kreatif Indonesia” terasa hangat sekaligus menginspirasi. Dengan 21 tahun pengalaman meneliti Papua, Enrico mengungkap fenomena yang jarang terdengar, yakni masyarakat Papua, yang baru beberapa generasi terakhir bersentuhan dengan dunia modern, mampu melompat langsung dari tradisi ke modernitas.

Transformasi itu bukan sekadar perubahan teknologi, tapi juga cara hidup, adat, dan budaya. Salah satu bukti konkret adalah perahu tradisional Wairon, yang kini dipamerkan di Museum Kebaharian di Jakarta.

Terbuat dari batang pohon tunggal, perahu itu menunjukkan keahlian maritim nenek moyang Papua yang mampu menavigasi perairan yang rumit. Desain perahu pun berbeda-beda, sesuai lingkungan, ada yang hanya menggunakan satu cadik di Pantai Utara, sementara di Teluk Cenderawasih dan Sorong, perahu dua cadik dipakai untuk menghadapi gelombang dari dua arah.

Kearifan lokal Papua juga terlihat di langit. Komunitas Biak memanfaatkan bintang, seperti rasi Orion atau Waluku, untuk menentukan waktu berlayar, musim panen, bahkan masa kawin. Sistem pengetahuan yang diwariskan berabad-abad itu menjadikan masyarakat Papua ahli menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Enrico mengatakan yang paling mencengangkan adalah lompatan modernitas yang begitu cepat.

“Kami orang Papua itu dari tradisi, langsung lompat ke modern. Karena kita tidak terafiliasi dengan peradaban lain,” kata dia.

Dia bercerita tentang pengalaman di Intan Jaya, tempat penduduk yang memakai koteka tradisional tiba-tiba mengeluarkan iPhone dari tas noken dan menjawab telepon, bahkan mengendarai motor trail modern.

Fenomena ini membuat Papua dijuluki “Manusia Improvisasi”. Adopsi teknologi modern terjadi tanpa fase transisi panjang, dan tradisi tetap hidup berdampingan dengan dunia modern.

Enrico menutup dengan pesan penting: memahami Papua harus case by case. Pendekatan umum tidak selalu cocok, karena masyarakat sedang beradaptasi di tengah perubahan sosial dan teknologi yang cepat.

Dia melihat Papua bukan sekadar wilayah konflik atau keterbelakangan, tapi sebagai sumber peradaban dan budaya yang siap memberikan kontribusi bagi Indonesia dan panggung global.