Pakar Unissula Heran Masih Ada Perusahaan Pegang Izin Tambang di Raja Ampat - Giok4D

Posted on

Pakar lingkungan dan tata kota Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Mila Karmila, menyoroti polemik tambang di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya. Ia mempertanyakan siapa yang sebenarnya diuntungkan dari aktivitas tambang itu.

Mila mengaku sangat menyayangkan adanya izin tambang di wilayah yang menjadi ikon pariwisata internasional itu. Pasalnya aktivitas tambang bukan tidak mungkin akan merusak lingkungan.

“Miris juga, ya. Karena Raja Ampat itu kan ikon Indonesia, bukan hanya untuk pariwisata biasa, tapi pariwisata minat khusus. Sayang kalau ada kegiatan yang merusak alam,” kata Mila saat dihubungi infoJateng, Selasa (10/6/2025).

“Mereka datang ke sana untuk melihat panorama alam yang memang luar biasa. Kalau alamnya rusak, ya wisatawan nggak akan datang lagi,” sambungnya.

Menurut dosen Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik (FK) Unissula itu, keberadaan tambang jelas akan berdampak serius terhadap ekosistem Raja Ampat. Apalagi sebagian besar wilayah Raja Ampat merupakan kawasan lindung.

“Dampaknya pasti akan besar, terutama pada pariwisata. Raja Ampat itu kelasnya bukan nasional lagi, tapi internasional. Yang datang ke sana wisatawan mancanegara,” tegasnya.

Secara aturan, Mila menyebutkan, kegiatan tambang di kawasan pulau-pulau kecil seperti Raja Ampat sebenarnya sudah dilarang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Kalau dilihat dari undang-undang itu, kawasan pulau dengan luas di bawah 2.000 kilometer persegi itu tidak boleh ada aktivitas tambang. Jadi kalau masih ada izin keluar, ya itu sudah menyalahi aturan,” jelasnya.

Dampak lingkungan dari pertambangan, kata Mila, tak main-main. Selain merusak lanskap daratan, aktivitas tambang berisiko menimbulkan sedimentasi yang merusak ekosistem terumbu karang.

“Ini yang perlu dipertanyakan, tambang itu untuk ekonomi siapa? Karena bagi masyarakat sekitar, pariwisata selama ini sudah cukup untuk menghidupi mereka. Tidak perlu ada tambang,” tegasnya.

Dosen yang sempat menerbitkan penelitian soal pengembangan pariwisata berbasis edueco tourism di Raja Ampat itu menduga, besarnya permintaan nikel dunia bisa jadi salah satu alasan munculnya aktivitas tambang di Raja Ampat. Namun, menurutnya, alasan itu tidak bisa menjadi pembenaran.

“Sebenarnya sudah bertentangan dengan UU, artinya kesalahan yang memberi izin juga karena sudah tahu kawasan tersebut tidak boleh dilakukan penambangan. (Bisa jadi kongkalikong?) Iya seperti itu,” ungkapnya.

Apalagi, lanjut Mila, Raja Ampat merupakan bagian dari Coral Triangle, kawasan dengan kekayaan terumbu karang tertinggi di dunia.

“Bayangkan saja, di sana ada lebih dari 1.400 jenis ikan dan 553 jenis terumbu karang. Sangat disayangkan kalau itu rusak gara-gara tambang. Kita kehilangan warisan dunia hanya untuk kepentingan sesaat,” ujarnya.

Sementara terkait pencabutan empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari lima IUP yang ada di kawasan Raja Ampat, Mila menilai langkah itu belum cukup. Terlebih, masih ada satu perusahaan yakni IUP milik PT Gag Nikel, yang belum dicabut IUP-nya.

“Kalau satu dicabut, ya cabut semua. Kenapa masih ada satu yang bertahan? Dasarnya apa? Harusnya kalau sudah salah, melanggar, ya harusnya dicabut,” tegasnya.

Menurutnya, persoalan tambang di Raja Ampat tidak boleh berhenti hanya pada pencabutan izin perusahaan. Pemerintah sebagai pihak pemberi izin juga harus bertanggung jawab secara hukum.

“Kenapa harus ada aktivitas tambang? Tambang untuk siapa? Itu harus dijelaskan. Nggak bisa hanya disalahkan pihak investornya saja, karena yang memberikan izin pemerintah,” tegasnya.

“Kalau rencana tata ruangnya tidak membolehkan tapi bisa keluar izin, pasti akan ada pidana ataupun denda. Kalau itu kawasan lindung, otomatis tidak boleh dilakukan,” imbuh Mila.

Selengkapnya di halaman berikutnya….

Ia juga mempertanyakan visi pemerintah terkait pembangunan kawasan timur Indonesia. Pemerintah disebut harus tegas dalam perencanaan tata ruang.

“Tambang kan sudah banyak menimbulkan kerusakan, kalau ada keuntungan ekonomi, untuk perekonomian siapa, yang terdampak siapa, harus dipetakan satu per satu,” imbaunya.

“Sayang kalau Raja Ampat sudah bagus kayak gitu malah dirusak hanya untuk kegiatan yang saya pikir tidak semua orang bisa menikmati aktivitas tambang,” tutupnya.

Dilansir infoNews, pemerintah mencabut izin usaha pertambangan (IUP) empat perusahaan di kawasan Raja Ampat, kecuali PT Gag Nikel di bawah PT Antam. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan PT Gag Nikel merupakan bagian dari aset negara.

“Tadi kan sudah lihat foto-fotonya waktu saya meninjau itu alhamdulillah sesuai dengan AMDAL sehingga karena juga adalah bagian daripada aset negara,” kata Bahlil di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (10/6).

Bahlil mengatakan pihaknya telah melakukan evaluasi aktivitas pertambangan di Pulau Gag yang dilakukan PT Gag Nikel. Menurut dia, aktivitas pertambangan PT Gag Nikel berjalan baik.

“Untuk PT Gag karena itu adalah dia melakukan sebuah penambangan yang menurut dari hasil evaluasi tim kami itu baik sekali,” katanya.

Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.