Dalam beberapa waktu terakhir, intensitas siklon tropis di Samudera Hindia menunjukkan peningkatan signifikan. Kondisi ini menjadi peringatan serius bagi pemerintah daerah dan masyarakat untuk memperkuat kesiapsiagaan menghadapi potensi bencana hidrometeorologis.
Pakar mitigasi kebencanaan dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Amien Widodo, menegaskan bahwa situasi tersebut harus menjadi alarm bagi masyarakat agar lebih siap menghadapi bencana yang dipicu cuaca ekstrem.
Menurut Amien, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebenarnya telah memberikan peringatan jauh sebelum Siklon Seniyar terbentuk. Siklon inilah yang kemudian memicu hujan ekstrem serta bencana banjir bandang dan longsor besar di wilayah Sumatera. Berdasarkan laporan terbaru, bencana tersebut menimbulkan 836 korban meninggal dunia, 518 orang hilang, serta merusak lebih dari 10.500 rumah.
Kerusakan juga terjadi pada ratusan fasilitas publik, termasuk 536 fasilitas umum, 326 sarana pendidikan, 185 rumah ibadah, 25 fasilitas kesehatan, hingga 295 jembatan. Kondisi ini menyebabkan terputusnya akses darat ke sejumlah desa serta melumpuhkan layanan air bersih, listrik, dan jaringan komunikasi.
Amien menjelaskan bahwa hujan ekstrem dari Siklon Seniyar diperparah oleh karakteristik wilayah yang bergunung-gunung serta kerusakan hutan yang sudah terjadi sejak lama.
“Akibatnya, tanah menjadi tidak stabil dan banjir bandang membawa lumpur, batu, serta kayu gelondongan dengan daya rusak yang sangat besar,” jelas dosen Departemen Teknik Geofisika ITS tersebut.
Pada Selasa (6/12/2025), DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat bersama BMKG. Dalam pertemuan itu, BMKG mengungkapkan temuan bibit siklon tropis baru di selatan Pulau Jawa. Fenomena ini berpotensi memengaruhi cuaca di wilayah Jawa-Bali-NTT hingga Timika, Papua.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Amien menilai peringatan tersebut harus segera ditindaklanjuti dengan langkah-langkah kesiapsiagaan yang konkret. Ia mengingatkan bahwa tragedi di Sumatera menjadi contoh bagaimana keterlambatan antisipasi dapat menimbulkan dampak fatal.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur mencatat sedikitnya 14 potensi bencana yang mengancam wilayah setempat. Mayoritas berupa bencana alam seperti banjir bandang, tanah longsor, cuaca ekstrem, hingga tsunami. Wilayah rawan tersebar di lebih dari 30 daerah, termasuk Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Malang, Jember, dan Banyuwangi.
Amien menekankan bahwa upaya pengurangan risiko bencana tidak dapat dibebankan hanya kepada pemerintah atau lembaga penolong. Keterlibatan masyarakat menjadi faktor krusial. Ia mencontohkan survei korban Gempa Kobe di Jepang (1995), yang menunjukkan bahwa 35 persen proses penyelamatan dilakukan sendiri, 32 persen oleh keluarga, 28 persen oleh tetangga, dan hanya 5 persen dibantu pihak eksternal. Artinya, 67 persen keselamatan bergantung pada kemampuan diri sendiri dan keluarga.
“Anggota keluarga termasuk lansia, balita, dan penyandang disabilitas harus memahami ancaman yang ada di sekitar mereka,” terangnya.
Ia menambahkan bahwa ketika terjadi bencana besar, banyak desa akhirnya terisolasi dan sulit dijangkau bantuan.
“Apabila masyarakat telah diberdayakan dan dibekali pengetahuan serta persediaan yang benar, mereka akan tetap dapat bertahan hidup tanpa harus menunggu bantuan eksternal,” ujar Amien.
Amien mendorong pemerintah, komunitas lokal, hingga sektor swasta untuk memperkuat kolaborasi dalam menghadapi ancaman siklon tropis dan bencana hidrometeorologis lainnya.







