Menkomdigi Sebut AI Berpotensi Timbulkan Diskriminasi

Posted on

Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI) yang terus berkembang berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan baru, salah satunya diskriminasi. Hal itu diungkapkan Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid.

“Diskriminasi juga menjadi salah satu yang kami lihat potensinya. Karena teman-teman, tadi ini terkait dengan bias algoritma. Karena ketika kita bicara kecerdasan artifisial, yang menjadi penentu adalah data,” ujar Meutya saat memberikan kuliah umum di Auditorium Widyasabha, Kampus Unud Jimbaran, Bali, Kamis (28/8/2025).

Ia mencontohkan isu diskriminasi yang terlihat di Amerika Serikat. Ketika data yang dimasukkan didominasi oleh orang Amerika kulit putih, ini menjadi potensi diskriminasi terhadap orang Amerika kulit hitam.

Walhasil, kebanyakan gambar orang miskin di Amerika Serikat akan menunjukkan gambar orang kulit hitam. Hal ini tentunya menjadi suatu hal yang sensitif.

“Ketika misalnya kita mengenerate atau meminta gambar dari kelompok orang miskin di Amerika Serikat, AI akan cenderung menampilkan orang kulit hitam lebih banyak daripada orang kulit putihnya saja. Ini sebagai contoh, karena memang data-datanya dipasok oleh sebagian besar mayoritas masyarakat di Amerika Serikat yang kulit putih,” jelasnya.

Sementara itu, di Indonesia sendiri permasalahan tersebut belum ditemukan. Indonesia menjadi negara yang mempunyai berbagai macam suku, etnis, dan agama sehingga AI harus mencerminkan keberagaman itu.

“Syukurnya di Indonesia, kita adalah negara dengan berbagai suku, etnis, dan agama. Ini menjadi penting untuk semua suku, semua etnis, semua agama juga memberikan informasi-informasi atau data-data yang baik, agar kecerdasan artifisial di Indonesia mencerminkan hal-hal itu,” terangnya.

la menambahkan kecerdasan buatan bukan milik satu suku, agama, ras, atau bahkan blok negara tertentu. Oleh karenanya, Al harus bersifat inklusif dan dimiliki semua pihak.

“Kecerdasan artifisial ini perlu diisi di ruang-ruang dimana inklusivitas sebagai salah satu pilar utama yang Indonesia inginkan hadir di kecerdasan artifisial itu bisa muncul. Jadi AI harus milik semua suku, semua bangsa, tidak hanya di dalam negeri, tapi juga di dunia,” jelasnya.

Potensi Besar AI di Indonesia Terhambat Akses Internet

Meutya menuturkan Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat pengembangan AI di kawasan ASEAN. Potensi ini diyakini mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi sekaligus mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Namun, kendalanya adalah 15 ribu desa belum terhubung dengan jaringan internet.

Indonesia sendiri mempunyai populasi terbesar diantara negara-negara Asia Tenggara, membuat potensi AI lebih besar dari negara tetangga. “Dengan 280 juta penduduk, dan untuk saat ini penetrasi internet di Indonesia sudah mencapai 80% lebih, yang juga secara angka artinya 229 juta penduduk Indonesia sudah terhubung dengan koneksi internet,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menyebut potensi ekonomi digital Indonesia juga sangat besar. Proyeksinya mencapai 109 miliar dolar AS pada 2025, dan diperkirakan melonjak menjadi lebih dari 366 miliar US$ pada 2030.

“Kalau kami lihat potensi ekonomi digital Indonesia, juga mencapai angka yang cukup tinggi, yaitu 109 miliar dolar Amerika pada tahun 2025 proyeksinya. Dan untuk tahun 2030, kita proyeksikan lebih dari 366 miliar dolar Amerika Serikat,” tambahnya.

Pendorong utama potensi ini antara lain pemanfaatan e-commerce, layanan transportasi digital, serta perkembangan sistem pembayaran berbasis QRIS yang sudah digunakan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara lain. Sektor pendidikan dan ekonomi kreatif juga diprediksi memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi digital.

UNESCO mencatat lebih dari 70 organisasi di Indonesia telah memanfaatkan generative AI pada 2024. Survei Katadata menunjukkan 43 persen individu sudah menggunakan AI secara rutin, 41 persen menggunakan sesekali, dan 16 persen belum sama sekali.

Meskipun angka ini menjanjikan, tapi nyatanya Indonesia masih dalam proses transisi. Sebanyak 15.000 desa di Indonesia belum terjamah koneksi internet.

“Ada kurang lebih 15 ribu desa yang memang belum memiliki koneksi internet yang baik. Jadi ini PR kita dalam format Indonesia menghadapi kecerdasan artifisial yang perlu ditentangin,” imbuhnya.

Data menunjukkan sebesar 83 persen perkotaan di Indonesia telah memiliki akses internet, sedangkan di desa sebesar 77 persen. Pulau dengan penetrasi internet terendah yaitu Maluku/Papua sebesar 68,26 persen.

“Kalau kita lihat memang PR kita ada di beberapa daerah seperti di Maluku dan juga di Papua. Di mana penetrasi baru 69,26 persen. Kemudian di perkotaan 83 persen, di pedesaan 77 persen,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *