Saya masih ingat betul bagaimana, beberapa tahun lalu, langit Sumatera dan Kalimantan berubah kelabu oleh asap pekat akibat kebakaran hutan dan lahan. Udara menjadi sesak. Anak-anak terpaksa belajar dari rumah karena udara pada tingkat berbahaya.
Kabut asap pekat juga melumpuhkan operasional bandara, aktivitas ekonomi terganggu, dan dampaknya tak hanya dirasakan di Indonesia, tetapi juga negara tetangga. Ini menjadi pukulan telak bagi kita, hutan yang seharusnya menjaga napas justru menjadi sumber sesak.
Namun kini, kita melihat perubahan yang sangat membanggakan. Dalam dua tahun terakhir, Indonesia mencatatkan penurunan besar area luas lahan terbakar. Karhutla pada tahun 2024 menunjukkan penurunan yang signifikan. Akumulasi luas kebakaran hutan dan lahan pada periode tahun 2024 tercatat mengalami penurunan sebesar ±784.387,86 ha (68%) dibandingkan dengan tahun 2023. Lebih mengesankan lagi, dibandingkan dengan tahun 2019, luas karhutla 2024 turun hingga ±1.272.452,52 ha (77%). Padahal, saat itu dunia sedang menghadapi fenomena El Nino, yang secara historis selalu menyebabkan lonjakan karhutla di tanah air. Artinya, meski El Nino kembali terjadi, kita berhasil mengendalikan dampaknya secara signifikan.
Apakah ini keberuntungan semata? tentu tidak. Ini adalah buah dari kerja keras, kerja kolaboratif, dan reformasi dalam tata kelola hutan kita. Tren karhutla terus menurun sebagi hasil dari kerja panjang dan kolaborasi banyak pihak. Namun, kami perlu mengatakan ini dengan tegas: jangan dulu berpuas diri. Tahun 2025 bisa menjadi ujian besar bagi konsistensi kita dan menjadi ujian besar bagi tata kelola hutan kita.
Tiga Pilar Pengelolaan Karhutla
Keberhasilan menurunkan tren karhutla merupakan hasil dari perbaikan menyeluruh dalam tata kelola hutan (forest governance). Konsep ini menekankan pentingnya peran seluruh elemen bangsa, termasuk lembaga formal dan informal, masyarakat adat, perusahaan, organisasi masyarakat sipil, hingga pemangku kepentingan lainnya, untuk bernegosiasi, terlibat, berperan, dan menegakkan aturan yang mengikat dalam pengelolaan, penggunaan, dan konservasi sumber daya hutan. Tata kelola hutan yang efektif menuntut keterlibatan multipihak. Dengan kata lain, hutan tidak bisa dikelola secara sentralistik, parsial dan sektoral. Kita membutuhkan keterlibatan seluruh elemen bangsa untuk turun tangan bersama menjaga hutan sebagai paru-paru dunia.
Keberhasilan menurunkan angka karhutla dalam dua tahun terakhir menjadi cerminan kerja keras bersama, bukanlah hasil dari kerja semalam. Ini adalah buah dari proses panjang perbaikan menyeluruh dalam cara kita mengelola dan menjaga hutan. Kita tidak hanya berupaya memadamkan api yang terlihat, tapi juga memutus mata rantai penyebabnya. Tidak cukup hanya bertindak saat asap sudah membumbung tinggi, namun kita hadir lebih awal, bersiap, mencegah, memberdayakan, dan memastikan bahwa setiap jengkal hutan terjaga dengan baik. Oleh karena itu, upaya ini kita wujudkan melalui tiga strategi.
Pertama, kolaborasi yang terpimpin. Sesuai dengan amanat Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, Presiden menginstruksikan keterlibatan aktif lebih dari 28 kementerian dan lembaga negara, antara lain Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Menteri Perhubungan, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Pertanian, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Menteri Transmigrasi, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Badan Usaha Milik Negara, Sekretaris Kabinet, Jaksa Agung, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Kepala Badan Informasi Geospasial, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Para Gubernur dan Para Bupati/Walikota.
Inpres ini bertujuan untuk memperkuat pencegahan dan penegakan hukum dalam upaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di seluruh wilayah Indonesia. Instruksi ini mencakup kegiatan pencegahan, pemadaman, penanganan pasca kebakaran, serta penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan.Semua bergerak dalam satu barisan komando terpadu dengan satu tujuan yaitu menekan angka kebakaran hutan dan lahan hingga ke arah zero karhutla.
Kedua, pencegahan dan penegakan hukum. Kami perkuat sistem deteksi dini, memperluas titik pemantauan, dan meningkatkan kesiapsiagaan petugas lapangan. Pengendalian karhutla terus dilakukan melalui upaya pencegahan, pemadaman hingga penanganan serta pemulihan.
Kegiatan pencegahan karhutla dilaksanakan melalui patroli pencegahan karhutla, Operasi Modifikasi Cuaca (OMC), sosialisasi, dan kampanye pada provinsi rawan karhutla. Akan tetapi, saat api sudah menyala karena kelalaian atau lebih parah lagi karena kesengajaan, maka hukum harus ditegakkan. Tanpa pandang bulu. Baik perorangan maupun korporasi, jika terbukti bersalah, harus bertanggung jawab. Karena hutan bukan milik segelintir orang. Hutan adalah milik semua anak bangsa.
Ketiga, peran masyarakat sebagai garda terdepan. Kami percaya, penjaga terbaik hutan bukan hanya petugas dengan seragam, tapi masyarakat lokal. Oleh karena itu, Pemerintah terus memperkuat peran kelompok masyarakat peduli api (MPA), pramuka, masyarakat adat, dan berbagai elemen lainnya dalam upaya pengendalian karhutla di tingkat tapak. Melalui desa siaga api, perhutanan hutan sosial, hingga agroforestri, kami mendorong masyarakat untuk sejahtera tanpa membakar. Dan ketika mereka sejahtera, mereka akan menjaga hutan lebih dari siapa pun.
2025, Tahun Siaga Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengeluarkan peringatan: kemarau akan datang bertahap mulai April hingga September, dengan puncaknya di Juni-Agustus. Meski sebagian besar wilayah diprediksi mengalami musim normal, namun 14% akan lebih kering dari biasanya. Kekeringan ini adalah pemicu dan jika kita lengah, api akan kembali menjalar.
Saat ini sudah mulai terlihat gejalanya. Hotspot muncul di beberapa lokus seperti Aceh, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah. Pada Juni, 41,5% wilayah Riau diprediksi masuk kategori risiko tinggi. Juli-September, risiko meluas ke Kalimantan Selatan, NTT, Papua Selatan, bahkan Bangka Belitung.
Dalam menghadapi ancaman karhutla, Presiden Prabowo Subianto, melalui Menko Polhukam Budi Gunawan menyampaikan pesan tegas dalam Apel Kesiapsiagaan Karhutla 2025, “Terus mempertahankan capaian-capaian positif yang telah dicapai. Jangan sampai ada lagi kebakaran hutan dan lahan yang luas, yang dapat menjadi isu internasional”. Peringatan Presiden ini bukan sekadar imbauan moral. Ini alarm nasional. Sebab hutan bukan milik segelintir elit. Hutan adalah milik bangsa. Ia adalah napas kita, penjaga keseimbangan ekosistem dunia.
Oleh sebab itu, menjaga hutan bukanlah tugas satu atau dua lembaga. Ini adalah tanggung jawab kolektif. Kita semua, tanpa kecuali, punya peran yang sama pentingnya. Kita harus bersiap, waspada, dan meningkatkan kesiapsiagaan bersama. Dan seperti kata pepatah, siapa yang waspada, dialah yang selamat. Musim kemarau tahun ini adalah titik kritis. Jika kita lengah, semua yang sudah dibangun bisa runtuh. Tapi jika kita konsisten, ini bisa menjadi batu loncatan menuju sistem pengelolaan hutan yang benar-benar tangguh dan mensejahterakan.
Menjaga Masa Depan Hutan
Menurut Timothy J. Fahey (2013) pakar ekologi hutan dan profesor emeritus di Cornell University, menjelaskan hutan adalah sistem ekologi. Hutan tidak hanya dipahami sebagai kumpulan pohon, tetapi sebagai komunitas biotik yang kompleks, tempat beragam spesies saling bergantung dalam menjaga keseimbangan ekosistem, termasuk manusia.
Hutan sebagai penyangga kehidupan, pengatur eskosistem, sumber napas, penyimpan karbon, dan rumah bagi jutaan spesies. Hutan yang terbakar bukan hanya menciptakan kabut asap, tapi juga menghapus masa depan anak-anak dan sistem ekologi kita. Karena itu, terjadinya karhutla sebagai ancaman nyata bagi manusia yang berkontribusi besar terhadap triple planetary crisis yaitu perubahan iklim (climate change), pencemaran dan kerusakan lingkungan (environmental degradation and pollution), dan hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity lost).
Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2022) menyatakan bahwa antara 50 hingga 75 persen populasi global berpotensi terdampak oleh kondisi iklim ekstrem yang mengancam jiwa pada tahun 2100, jika kita gagal mengambil tindakan serius. Perubahan pola cuaca, kekeringan panjang, gelombang panas, hingga karhutla adalah gejala-gejala dari krisis ini yang sudah kita rasakan bersama.
Karhuta juga menyebabkan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan yang dapat meningkatkan risiko bencana dan tatanan hidup masyarakat serta hilangnya keanekaragaman hayati. Berdasarkan data Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES, 2019), sekitar satu juta spesies tumbuhan dan hewan kini menghadapi ancaman kepunahan, yang salah satunya disebabkan oleh karhutla. Padahal, keanekaragaman hayati adalah fondasi dari kesehatan manusia dan ketahanan ekosistem, termasuk yang menyokong pertanian, pangan, dan air bersih.
Dengan demikian, untuk menghadapi tantangan karhutla yang sangat kompleks tersebut, kami mengajak semua pihak, seluruh elemen bangsa, bersatu dan bergerak satu komando untuk turun tangan menjaga hutan sebaik kita menjaga keluarga sendiri. Menekan angka kebakaran hutan dan lahan hingga ke titik minimal, bahkan ke arah zero karhutla. Jadikan 2025 sebagai tahun siaga, tahun gotong royong, tahun penyelamatan hutan Indonesia. Karena saat kita menjaga hutan, sesungguhnya kita sedang menjaga napas bangsa.
Raja Juli Antoni, Menteri Kehutanan Republik Indonesia
‘Simak juga Video: Menteri Kehutanan Raja Juli Singgung pentingnya Menjaga Hutan di COP 29’