Raja Ampat yang dikenal dengan kekayaan laut dan terumbu karangnya harus berhadapan dengan bringasnya pertambangan di sana. Kamu harus tahu, begitu banyak dampak bagi Raja Ampat terkait keberadaan tambang di sana.
infocom telah merangkum, Jumat (13/6/2025) fakta yang harus kamu ketahui mengenai pertambangan di Raja Ampat.
Pertambangan yang tidak sesuai dengan aturan tentu mengganggu kehidupan hutan dan sekitarnya. Keberadaan flora dan fauna terancam karena rumahnya dibabat, tanah dikeruk, polusi yang disebatkan oleh alat berat dan limbah juga mengamcam kehidupan di pulau sekitarnya.
Namun tidak dipungkiri, potensi pertambangan di Raja Ampat cukup besar. Dikutip dari Marine and Coastal Policy Research, menurut United States Geological Survey, cadangan nikel Indonesia mencapai 21 juta ton, sementara data dari Badan Geologi menyebutkan angka yang lebih besar, yakni 11,7 miliar ton.
Kementerian ESDM juga menyebutkan cadangan komoditas nikel di Indonesia masih menjadi yang terbesar di dunia atau setara dengan 23% cadangan di dunia. Total, Indonesia memiliki sumber daya nikel mencapai 17,7 miliar ton bijih dan 177,8 juta ton logam, dengan jumlah cadangan 5,2 miliar ton bijih dan 57 juta ton logam.
Selain itu, terdapat beberapa wilayah yang memiliki kandungan nikel, namun belum dieksplorasi (greenfield) yang tersebar di Provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.
Berdasarkan Booklet Tambang Nikel 2020, peta sebaran lokasi sumber daya dan cadangan nikel diluar wilayah IUP/KK nikel di Pulau Sulawesi tahun 2020, menunjukkan Sulawesi Tenggara 77% wilayah potensi pembawa mineralisasi belum ada WIUP dengan potensi cadangan 2,6 milyar ton. Maluku, 43% wilayah potensi pembawa mineralisasi belum ada WIUP dan cadangan 1,4 miliar ton, sedangkan untuk Papua data potensi investasi lebih menarik lagi, potensi cadangan 0,06 miliar ton dengan wilayah potensi pembawa mineralisasi belum ada WIUP sebesar 98%.
Besarnya potensi ini membuat industri tambang nikel semakin berkembang, termasuk di Raja Ampat, yang kini menjadi sorotan akibat ekspansi izin tambang yang berdampak besar terhadap lingkungan laut di kawasan yang dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Pasca pemerintah memutuskan untuk mencabut IUP 4 perusahaan tambang di Raja Ampat, penolakan keras pun datang dari masyarakat di sana. Kabar terbaru, warga Suku Kawei melakukan pemalangan di Pulau Wayag sebagai bentuk tak terima dengan keputusan pemerintah.
“Aksi pemalangan ini dilakukan sebagai bentuk protes keras terhadap rencana pencabutan izin tambang nikel yang dinilai mengancam masa depan ekonomi masyarakat lokal,” kata salah satu tokoh adat yang juga pemilik hak ulayat Pulau Wayag, Luther Ayelo kepada wartawan, Rabu (11/6/2925).
Pemalangan Pulau Wayag sudah mulai dilakukan sejak Senin (9/6) sore, setelah berembus kabar pemerintah mengevaluasi izin tambang di wilayah mereka. Aksi ini dilakukan oleh warga adat dari empat marga pemilik hak ulayat yakni Ayelo, Daat, Ayei, dan Arempele.
“Kami suku Kawei menyatakan bahwa keberadaan tambang justru membawa harapan baru bagi kesejahteraan, berbeda dengan sektor pariwisata konservasi yang selama ini dianggap tidak memberikan dampak signifikan terhadap ekonomi lokal,” ungkapnya.
Ia mengatakan, pihaknya tidak mencuri namun tetap kerja di atas tanah sendiri. Kalau perusahaan ditutup, maka menurutnya Pulau Wayag juga mesti ditutup. Dalam tuntutannya, masyarakat adat mendesak pemerintah pusat untuk membatalkan pencabutan izin tambang, serta mempertimbangkan nasib ratusan pekerja yang akan kehilangan mata pencarian apabila perusahaan ditutup.
Akses wisata ke Wayag juga telah dibatasi oleh bupati Raja Ampat. Hal ini dilakukan sebagai langkah antisipasi terhadap penolakan warga.
“Saya minta supaya aktivitas wisata di Waigeo Barat Kepulauan ditutup sementara,” kata Bupati Raja Ampat Orideko Burdam.
Kekayaan mineral tambang Kepulauan Raja Ampat dikeruk hingga meninggalkan duka nestapa bagi kawasan Geopark Global UNESCO yang diakui pada September 2023 ini. Penggalian mineral tambang tak seharusnya terjadi di Raja Ampat yang didominasi pulau kecil dengan luas tak lebih dari 2.000 km2.
Namun, lokasi tambang nikel justru ditemui di pulau yang seharusnya menjadi kawasan perlindungan dan konservasi seperti tercantum dalam UU nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU Pengelolaan Wilayah Pesisir).
Adapun pulau-pulau di Raja Ampat yang terancam tambang nikel, yaitu Pulau Gag (luasnya 65 km2), Pulau Kawel (45,61 km2), Paluau Manuran (,47 km2) , Pulau Batang Pele (10 km2) dan Manyaifun (0,21 km2), Pulau Waigeo (3.55 km2). Dan semua pulau tersebut telah diberi izin kepada beberapa perudaha pertambangan.
Pada hari Selasa (10/6) pemerintah akhirnya memutuskan mencabut IUP empat perusahaan tambang di pulau-pulau kecil di wilayah Raja Ampat. Adapun nama empat perusahaan yang dicabut izinnya adalah PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa dan PT Kawei Sejahtera Mining.
Namun pemerintah tidak mencabut izin tambang PT Gag Nikel yang beroperasi di Pulau Gag, walau secara aturan melanggar konservasi. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan, meskipun IUP PT Gag Nikel tidak dicabut, pemerintah akan tetap mengawasi aktivitas tambang nikel di kawasan Pulau Gag agar terhindar dari kerusakan lingkungan.
Salah satu ancaman terkait pertambangan di Raja Ampat adalah perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang dirasa kurang tegas. Dikutip dari Marine and Coastal Policy Research (MCPR) , Dalam lima tahun terakhir, area pertambangan nikel di Raja Ampat bertambah sekitar 494 hektar, naik drastis dibanding periode sebelumnya. Meski Mahkamah Konstitusi Indonesia pada Maret 2024 telah mengeluarkan keputusan yang menyatakan bahwa pulau-pulau kecil harus mendapatkan perlindungan khusus dari aktivitas berbahaya seperti penambangan, izin eksploitasi tetap dikeluarkan oleh pemerintah.
Seperti yang terjadi sebelumnya, beberapa perusahaan tambang nikel meraup kekayaan alam pulau-pulau kecil di Raja Ampat dan mereka sudah mendapatkan izin pertambangan. Walau IUP sudah dicabut, namun kekhawatiran akan perizinan lain masih terus menghantui Raja Ampat.
Papua telah ditetapkan sebagai provinsi konservasi berdasarkan komitmen para gubernur di Tanah Papua sejak tahun 2018 dan diperkuat dalam sejumlah kebijakan daerah. Maka, segala bentuk pembangunan di kawasan ini sepatutnya tunduk kepada prinsip-prinsip konservasi dan pembangunan yang berkelanjutan.
Di Raja Ampat, berdasarkan data UPTD BLUD Pengelolaan Kawasan Perairan Raja Ampat disebutkan bahwa Kawasan Konservasi Porairan Raja Amat mencakup sekitar 2.000.109 hektar, dengan tujuh zona perlindungan (MPAs) yang dikelola baik nasional maupun daerah, termasuk Selat Dampier, Misool, Kepulauan Ayau-Asia, dan Fam.
Lokasi tambang saat ini memang tidak secara langsung berada di area perlindungan, tetapi berada pada zona kawasan penyangga yang meliputi sekitar Pulau Kawe, Wayag, serta jalur migrasi satwa laut.
Pemerintah telah mencabut izin tambang dari 4 perusahaan yaitu PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa dan PT Kawei Sejahtera Mining. Namun pemerintah tidak mencabut izin tambang PT Gag Nikel yang beroperasi di Pulau Gag.