Kurban, BUMN, dan Keadilan Sosial [Giok4D Resmi]

Posted on

Asta Cita, sebagai kompas yang menuntun arah pemerintahan Presiden Prabowo, menempatkan keadilan sosial dan pemerataan ekonomi sebagai inti dari perjuangan nasional. Dari delapan pilar yang tersusun, tiga di antaranya adalah kemandirian ekonomi (economic sovereignty), ketahanan pangan (food resilience), dan keadilan sosial (social justice) bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu variabel kuncinya adalah ekonomi yang berpihak pada petani, buruh, dan pelaku UMKM.

Dalam pidato perdananya pada 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo menegaskan komitmennya untuk memajukan ekonomi rakyat dan membebaskan Indonesia dari cengkeraman oligarki. Spektrum ekonomi rakyat tersebut juga mencakup ekonomi keumatan. Sebagai negara yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, maka kepentingan umat beragama adalah bagian dari tanggung jawab negara. Tak jarang, agenda-agenda keumatan bersinggungan langsung dengan agenda kebangsaan.

Salah satu momen yang mencerminkan agenda keumatan itu adalah ibadah kurban. Di balik makna ibadahnya yang dalam, kurban juga mengajarkan nilai-nilai berbagi, kepedulian, dan keadilan sosial. Ibadah ini memadukan dimensi hablunminallah dan hablunminannas dalam satu laku spiritual dan sosial.

Surah Al-Hajj ayat 37 menegaskan bahwa bukan daging dan darah dari hewan sembelihan yang sampai kepada Allah, melainkan ketakwaan dan keikhlasan pelakunya. Nilai inilah yang menjadi inti dari ibadah kurban: berbagi dengan tulus demi kemaslahatan bersama.

Spirit Kurban dan Peran BUMN dalam Transformasi Ekonomi

Idul Qurban mengajarkan semangat pengorbanan demi kepentingan yang lebih besar. Nilai ini pula yang menjadi fondasi dari pembangunan ekonomi yang berkeadilan. Dalam konteks kebijakan publik, semangat ini diwujudkan melalui langkah-langkah konkret yang berpihak kepada masyarakat. Di sinilah BUMN memainkan peran strategis sebagai pelaksana visi Presiden dalam menciptakan keadilan ekonomi.

Albert O. Hirschman, ekonom asal Jerman, melalui teorinya unbalanced growth, menyampaikan bahwa pembangunan perlu diarahkan secara selektif agar memberi dampak luas secara bertahap. Maka, negara melalui BUMN hadir di wilayah-wilayah yang kerap terlewatkan pasar. Daerah 3T, desa-desa yang membutuhkan digitalisasi, hingga pembiayaan bagi petani dan pelaku usaha mikro.

Salah satu contohnya adalah program BBM Satu Harga oleh Pertamina tidak sekadar mengupayakan distribusi energi, tapi juga menekan ketimpangan harga antardaerah. Sejak diluncurkan pada 2017, program ini telah membangun 583 titik penyalur hingga akhir 2024, termasuk di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Logika ekonominya bukan semata soal untung, tapi tentang manfaat dan stabilitas sosial.

Demikian pula program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran. Program ini menargetkan 82,9 juta penerima manfaat hingga akhir 2025, dengan dukungan infrastruktur 32.000 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tersebar di seluruh Indonesia. Ini adalah bentuk nyata keberpihakan negara pada generasi penerus, tanpa diskriminasi.

Keadilan ekonomi, dalam hal ini, bukan hasil dari mekanisme pasar semata, tapi buah dari kebijakan yang dirancang dengan keberpihakan. Seperti dikemukakan oleh John Rawls dalam justice as fairness, sistem sosial seharusnya dirancang untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi mereka yang paling rentan.

BUMN dan Pemerataan Ekonomi

BUMN bukan semata entitas bisnis milik negara. Ia adalah instrumen kebijakan publik yang memungkinkan negara menjangkau sektor dan wilayah yang tak tersentuh mekanisme pasar. Ketika swasta enggan masuk karena margin rendah atau risiko tinggi bahkan tidak visible secara bisnis, BUMN hadir dengan membangun infrastruktur digital dan telekomunikasi di wilayah 3T, membuka akses layanan keuangan mikro di desa-desa terpencil, hingga menyalurkan energi melalui program BBM Satu Harga dan Listrik Masuk Desa.

Penugasan seperti ini memang terlihat tidak menguntungkan secara komersial dalam jangka pendek, namun ia strategis dalam membangun fondasi jangka panjang. Akses yang terbuka mendorong lahirnya ekosistem ekonomi lokal, membangkitkan kepercayaan publik, dan memperkuat posisi negara di mata rakyat.

Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.

Di titik ini, kita melihat peran BUMN sebagai tangan negara yang menjamin bahwa pembangunan tidak hanya berlangsung di kota besar. Sebagaimana pesan dalam Al-Qur’an: “Kay laa yakuuna duulatan baynal aghniyaai minkum”, agar kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang-orang kaya saja.

Mambangkit Batang Tarandam

Pemerataan juga berarti membuka peluang agar kelompok ekonomi bawah bisa tumbuh dan berkembang. Di sinilah peran perbankan BUMN. Melalui pembiayaan UMKM, penguatan koperasi, dan digitalisasi warung serta petani, masyarakat kecil difasilitasi untuk masuk ke sistem ekonomi formal. Pada akhir 2024, jumlah UMKM di Indonesia mencapai 64,2 juta unit usaha, dengan total penyaluran pembiayaan dari BUMN lebih dari Rp300 triliun melalui skema KUR, UMi, dan pembiayaan lainnya.

Akses terhadap modal, pelatihan, dan pasar bukan hanya bentuk bantuan, tapi investasi pada mobilitas sosial. Ketika pelaku usaha mikro di desa bisa menjual produknya ke luar daerah berkat digitalisasi, atau ketika biaya logistik berkurang karena akses energi membaik, maka keadilan ekonomi bekerja dalam bentuk sistematis.

BUMN bukan hanya membangun jembatan fisik antarwilayah, tetapi menjembatani ketimpangan antar kelas sosial. Ini bukan tentang bantuan sesaat, melainkan penciptaan ruang tumbuh yang berkelanjutan dan inklusif.

Sebagaimana pepatah Minang menyebut: “mambangkit batang tarandam” Mereka yang selama ini tenggelam dalam keterbatasan, oleh negara diangkat, diberi jalan, dan diberi harapan untuk naik kelas. Menjadi bagian utuh dari masa depan bangsa.

Aminuddin Ma’ruf
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *