Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan pemasangan alat Vessel Monitoring System (VMS) atau Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (SPKP) tidak diwajibkan untuk nelayan kecil dengan kapal berukuran di bawah 5 GT.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Pung Nugroho Saksono mengatakan banyak yang salah mengira bahwa pemasangan VMS juga diwajibkan untuk nelayan kecil. Padahal, pemasangan VMS diwajibkan bagi nelayan dengan kapal 5-30 GT dan sudah mengantongi izin migrasi area penangkapan dari daerah ke pusat.
“Nah, beberapa waktu terakhir kita menyaksikan adanya dinamika di lapangan, aspirasi dan penolakan terhadap kebijakan pemerintah dalam hal ini pemasangan Vessel Monitoring System. Jadi pada kapal-kapal perikanan, khususnya kapal-kapal yang ukuran di bawah 30 GT (wajib pakai VMS). Kewajiban dan pengaktifan transmitter SPKP dikecualikan bagi nelayan kecil, ini yang perlu digarisbawahi, karena di lapangan digoreng, wah nelayan kecil harus pakai. Kami mengecualikan, nelayan kecil tidak wajib dalam hal ini,” kata pria yang akrab disapa Ipung di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (16/4/2025).
Ipung menjelaskan, ada 5.190 kapal nelayan yang mengantongi izin migrasi dari daerah ke pusat. Hal ini berarti, nelayan tersebut dapat menangkap ikan di atas 12 mil laut. Namun, yang belum memasang VMS ada 4.425 kapal.
“Saat ini dari 13.313 kapal perikanan yang memiliki izin operasi penangkap ikan, yang izin pusat tercatat 8.893 kapal telah memasang VMS. Jadi, masih ada 4.425 kapal yang belum memasang VMS di mana mereka sudah berizin pusat, karena itu tadi mereka melakukan migrasi,” terang Ipung.
Ipung menjelaskan VMS tidak hanya untuk memantau pergerakan kapal, tapi juga dapat melacak posisi apabila kapal sedang terjadi masalah seperti pembajakan. Dalam hal ini, KKP bekerja sama dengan Basarnas, Bakamla, Polair, hingga TNI Angkatan Laut (AL).
“Saya pernah ditelepon ‘Kapal kami hilang dibajak Pak’. Ternyata dia lupa mematikan VMS-nya. Nah, saat kami temukan dibunuhlah orang-orang ini 27 orang ABK oleh pembajak tersebut. Pembajak itu ABK dia sendiri, 3 orang pembajaknya, tapi 27 orang mati seperti ini,” imbuh Ipung.
Selain itu, VMS juga dapat membuktikan posisi kapal dalam diplomasi maritim, misalnya apabila terjadi tuduhan pelanggaran dari negara lain. Peristiwa serupa sempat terjadi saat KKP menerima nota protes dari negara lain yang menyatakan kapal nelayan Indonesia memasuki wilayah perairan negara lain.
“Misalnya, ada nota protes yang menyatakan kapal Indonesia masuk ke wilayah mereka, Papua New Guinea misalnya atau New Zealand. Data tracking VMS bisa kita gunakan sebagai alat bukti resmi untuk memantau tuduhan mereka tersebut,” terang dia.
Simak juga Video: Misi Mengembalikan Kejayaan Perikanan Indonesia