Ni Nyoman Marsithi, pensiunan guru sekolah dasar, dikenal sering menorehkan prestasi di bidang tarik suara. Bukan hanya mengharumkan namanya, perempuan 61 tahun itu juga berperan besar di balik capaian murid-muridnya dan para perempuan di desanya.
Semua bermula dari rasa jengah yang muncul saat ia mengajar di sekolah pertamanya, SDN 1 Manduang. Manti, sapaan akrabnya, menyesal melihat muridnya kehilangan kesempatan ikut Utsawa Dharma Gita karena tidak ada guru yang siap melatih.
Ia menyadari bahwa meski lulusan Pendidikan Guru Agama Hindu Negeri (setara SMA) di Mataram, Nusa Tenggara Barat, dirinya belum benar-benar menguasai bidang tersebut.
“Saya sampai pulang kampung ke Desa Batuan, Sukawati untuk merekam suara orang yang bisa. Dari tape recorder, saya latihan. Akhirnya melatih murid berlomba kidung pertama kali tahun 1997 dan meraih juara 1 tingkat kabupaten. Dari sanalah saya merasa senang. Baru belajar sudah dapat juara 1, kemudian terus menempa diri,” tutur Manti ditemui infoBali di kediamannya, Senin (24/11/2025).
Sejak itu, perempuan asal Banjarangkan, Klungkung, semakin aktif melatih muridnya setiap tahun. Meski dimutasi ke sekolah lain seperti SDN 1 Semarapura Kangin dan SDN 1 Gelgel, ia tetap meneruskan kegiatan ekstrakurikuler tersebut. Konsistensinya selama 36 tahun membuat murid-muridnya berprestasi dari tingkat gugus hingga kabupaten.
Kemampuannya kemudian diminta oleh sekolah lain, seperti SMPN 1 Semarapura, SMPN 2 Semarapura, dan SMPN 3 Semarapura. Sekolah-sekolah itu berhasil meraih peringkat pertama lomba kidung tingkat provinsi sekitar 2017.
Perjalanan itu tidak mudah. Manti mengenang sulitnya mengajak anak-anak berlatih vokal lagu rohani-tradisional. Ia harus sabar mengikuti ritme dunia anak, termasuk bercanda dengan hal-hal yang mereka sukai.
“Anak-anak itu belum mengerti pentingnya lomba. Jadi latihan pun saya antar-jemput ke rumahnya. Mau dia tidur dulu, mandi dulu, saya harus sabar nungguin. Pas udah bisa juara, baru mereka ketemu titik senangnya. Terus saya ditanyain, ‘Bu, kapan lomba lagi?’ Dipeluk-peluknya juga saya,” kenang Manti.
Selain melatih, Manti juga aktif berlomba. Ia pernah meraih Juara II Pembacaan Palawakya dan Juara III Kidung Daerah Tingkat Nasional pada 2002 dan 2008. Pengalaman itu berkesan karena memberinya kesempatan naik pesawat, sebuah cita-cita masa kecil.
“Dulu pas kecil, lihat pesawat terbang lewat itu ingin sekali rasanya. Bertanya-tanya gimana caranya. Ternyata bisa ya. Kesempatan juga untuk mengenal orang baru. Tahu kidung-kidung dari Kalimantan, dari Papua,” kata Manti.
Ia juga merasa perjalanan kariernya dipengaruhi keluarganya. Kakeknya merupakan dosen luar biasa di Akademisi Seni Tari Indonesia (kini Institut Seni Indonesia), sementara ayahnya adalah pelukis dari Desa Batuan, Sukawati.
“Darah seni dalam keluarga saya barangkali mempengaruhi juga. Ketika ayah melukis bersama saya, beliau suka bernyanyi. Saat mandi di sungai juga begitu. Sekar Alit Durma nama lagunya. Di situ muncul ketertarikan saya dan dimulai dengan belajar mendengarkan,” ujar Manti.
Meski telah meraih banyak prestasi, Manti tidak merasa dirinya hebat. Menurutnya, ilmu seluas samudra. Ia menilai selalu ada hal yang belum diketahuinya, meski sudah menempuh pendidikan hingga magister agama. Karena itu, ia memilih terus belajar dengan melatih perempuan-perempuan di desanya selama masa pensiun.
Dari anak muda hingga lansia boleh ikut belajar. Jika ada kesempatan, mereka juga diikutkan lomba. Manti mengaku kegiatan ini menjadi cara menyalurkan hobi sekaligus berkontribusi bagi masyarakat. Perempuan yang fasih berbahasa Bali dan Sasak itu pun memiliki mimpi mendirikan sanggar kidung sendiri.
Prestasi Pribadi dan Pengaruh Keluarga
Dedikasi di Masa Pensiun
Selain melatih, Manti juga aktif berlomba. Ia pernah meraih Juara II Pembacaan Palawakya dan Juara III Kidung Daerah Tingkat Nasional pada 2002 dan 2008. Pengalaman itu berkesan karena memberinya kesempatan naik pesawat, sebuah cita-cita masa kecil.
“Dulu pas kecil, lihat pesawat terbang lewat itu ingin sekali rasanya. Bertanya-tanya gimana caranya. Ternyata bisa ya. Kesempatan juga untuk mengenal orang baru. Tahu kidung-kidung dari Kalimantan, dari Papua,” kata Manti.
Ia juga merasa perjalanan kariernya dipengaruhi keluarganya. Kakeknya merupakan dosen luar biasa di Akademisi Seni Tari Indonesia (kini Institut Seni Indonesia), sementara ayahnya adalah pelukis dari Desa Batuan, Sukawati.
“Darah seni dalam keluarga saya barangkali mempengaruhi juga. Ketika ayah melukis bersama saya, beliau suka bernyanyi. Saat mandi di sungai juga begitu. Sekar Alit Durma nama lagunya. Di situ muncul ketertarikan saya dan dimulai dengan belajar mendengarkan,” ujar Manti.
Meski telah meraih banyak prestasi, Manti tidak merasa dirinya hebat. Menurutnya, ilmu seluas samudra. Ia menilai selalu ada hal yang belum diketahuinya, meski sudah menempuh pendidikan hingga magister agama. Karena itu, ia memilih terus belajar dengan melatih perempuan-perempuan di desanya selama masa pensiun.
Dari anak muda hingga lansia boleh ikut belajar. Jika ada kesempatan, mereka juga diikutkan lomba. Manti mengaku kegiatan ini menjadi cara menyalurkan hobi sekaligus berkontribusi bagi masyarakat. Perempuan yang fasih berbahasa Bali dan Sasak itu pun memiliki mimpi mendirikan sanggar kidung sendiri.







