Nera Nur Puspita, seorang bocah perempuan yang bersekolah di SMA Negeri 1 Saguling, Kabupaten Bandung Barat patut diacungi jempol karena semangatnya menuntut ilmu.
Siswa kelas X itu mesti menempuh jalan terjal demi bisa bersekolah setiap hari. Di kala bocah-bocah kota baru mulai jalan kaki ke sekolah ikuti instruksi Gubernur Dedi Mulyadi, ia sudah sejak SMP berangkat sekolah tanpa berkendara sama sekali.
Saban pagi, bocah 16 tahun itu pergi ke sekolah yang jaraknya sekitar 3 kilometer dengan berjalan kaki. Bukan di jalur yang datar dan beralas aspal, tapi naik turun bukit, masuk ke area persawahan dan semak belukar, hingga menyeberangi sungai naik rakit.
Mungkin biasa buat bocah-bocah yang hidup di pedalaman pulau Kalimantan, Sulawesi, bahkan Papua sana. Namun tak terlalu lazim buat daerah yang cuma berjarak dua jam naik motor dari Kota Bandung, ibukota Provinsi Jawa Barat.
Mengawali perjalanan menuntut ilmu, Ara, begitu bocah tersebut ingin dipanggil, bangun sejak pukul 04.00 WIB. Ia lalu bersiap dengan seragam sekolah sesuai harinya. Seperti hari Rabu (14/5/2025) ini, Ara mengenakan seragam pramuka.
“Iya setiap hari kalau mau sekolah itu siap-siapnya dari jam 4 pagi. Terus berangkatnya jam 5 pagi atau paling telat jam 5.30 pagi,” kata Nera saat ditemui di kediamannya.
Nera tinggal di sebuah rumah sangat sederhana bersama ibu, nenek, kakek, dan dua orang adiknya. Dari rumah itu, Nera menjejakkan langkah kaki mengenyam bangku sekolah demi mimpi menjadi seorang perawat.
Langkah demi langkah Nera tapaki, menyusuri perkampungan yang jarak dari satu rumah ke rumah lainnya juga cukup jauh. Ia kemudian memasuki area perkebunan milik warga. Sampai akhirnya tiba di bantaran Waduk Saguling, Nera disambut seorang kakek yang berprofesi sebagai penarik rakit.
“Sepatunya harus dibuka dulu, kalau enggak nanti basah. Kalau turun dari rakit baru dipakai lagi,” kata Nera.
Ia lalu naik ke atas rakit yang terbuat dari bambu disusun sampai akhirnya bisa mengambang di atas air demi menyeberangi sungai. Sang ‘nakhoda’ rakit, kemudian memegang tali tambang yang terbentang membelah sungai selebar 150 meter.
Perlahan namun pasti. Tak perlu buru-buru demi keselamatan. Setibanya di sisi seberang dari rumahnya, Nera turun lalu membayar seikhlasnya pada sang kakek. Kadang ia tak perlu membayar, karena kebijaksanaan sang pemilik rakit meskipun tak dipungkiri ia butuh pemasukan buat kehidupan sehari-hari.
Nera lalu berjalan melewati area perkebunan lagi, kemudian menapaki pematang sawah, sampai menginjakkan kaki di jalan aspal menuju sekolahnya. Dari situ, Nera melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sejauh dua kilometer.
Tak heran, Nera kerap datang terlambat meskipun ia sudah bergegas sejak ayam mulai berkokok mengawali pagi membangunkan orang-orang yang terlelap usai beraktivitas seharian pada hari sebelumnya.
“Capek, tapi ya harus dijalani. Soalnya kalau enggak menyeberang sungai, jarak ke sekolahnya bisa lebih jauh lagi soalnya memutar. Enggak punya kendaraan kan, jadi harus jalan kaki satu jam,” kata Nera.
Kegigihan Nera berangkat ke sekolah melewati segala medan bukan tanpa halangan. Ia kerap tak masuk sekolah karena kondisi alam, seperti hujan deras yang menyebabkan jalan menjadi licin dan permukaan sungai meluap.
“Kadang suka jatuh di kebun, soalnya jalan licin. Terus rakitnya enggak bisa nyeberang, ya akhirnya enggak sekolah kalau sudah begitu,” ucap Nera.
Sang ibu yang tak bekerja, cuma mengandalkan pemberian dari orangtuanya hanya bisa membekali Nera uang seadanya. Kadang Nera membawa uang Rp10 ribu, kadang Rp5 ribu, kadang juga tak bekal sama sekali.
Luar biasanya, Nera sama sekali tak mengeluh dengan keterbatasan ekonomi keluarganya. Meskipun sesekali, ia mengaku kerap berpikir untuk berhenti sekolah karena capek dengan kerasnya kehidupan yang ia jalani.
“Ya enggak apa-apa, kan bisa makan nanti di rumah kalau enggak punya bekal. Yang penting sekarang sekolah dulu, Insyaallah nanti kalau sudah lulus mau masuk pesantren,” tutur Nera.
Perjalanan panjang nan terjal yang dilakoni Nera, sebelumnya tak tercium pihak sekolah. Hal itu terkuak setelah beberapa kali Nera kerap tak masuk sekolah, lalu ditelusuri oleh guru dan teman-teman sekelasnya.
“Awalnya kami juga tidak tahu perjalanannya seperti itu, harus sampai naik rakit kalau mau ke sekolah. Tapi ketahuannya itu setelah dijenguk sama teman-temannya, dan memang perjalanannya jauh sekali,” kata Kepala SMAN 1 Saguling, Husni Mubarok.
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.
Mengetahui perjuangan anak didiknya yang luar biasa itu, kemudian ditanggapi dengan bentuk toleransi terhadap Nera jika ia datang terlambat ataupun tak bisa datang ke sekolah karena faktor alam yang menghambat.
“Kemudian kebijaksanaan dari kami saat ini kalau memang datang terlambat, tidak apa-apa. Kalau tidak bisa datang ke sekolah, tetap dianggap hadir dan diganti dengan tugas. Sejauh ini Nera luar biasa, bisa mengimbangi pembelajaran meskipun perjalanan sekolahnya sangat berat,” kata Husni.