Kiprah Kopasgat di Belantara Kalimantan hingga Timor Timur

Posted on

Sekalipun Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tentara sekutu (Amerika) masih menguasai wilayah Kalimantan. Belakangan sekutu malah menyerahkan wilayah itu ke Belanda. Penguasa Kalimantan Ir Pangeran Mohammad Nur yang berkedudukan di Yogyakarta lantas meminta bantuan kepada KSAU Suryadi Suryadarma agar AURI menerjunkan pasukan payung untuk membantu perjuangan rakyat Kalimantan menghadapi Belanda.

Suryadarma menyetujui permintaan tersebut dan mulai membentuk pasukan di bawah pimpinan Mayor Udara Tjilik Riwut, putra daerah Kalimantan yang diperbantukan sebagai perwira operasi AURI. Ada 12 orang putra daerah yang akan diterjunkan. Suryadarma dan Riwut memilih langsung mereka, yakni Ahmad Kosasih, Alli Akbar, Iskandar, C. William, Mica Amirudin, Morawi, Bahri, Darius, Emmanuel, M. Dahlan, J. Bitak, dan Jamhani. Turut membantu Hari Hadisumantri (montir radio AURI) dan Suyoto (operator radio), serta jumping master Amir Hamzah.

“Selama sepekan mereka menjalani pelatihan dasar terjun payung tanpa praktik terjun dari pesawat. Pada 17 Oktober 1947 dini hari, pasukan diberangkatkan menumpang Dakota RI-002 yang diterbangkan Bob Freeberg dan kopilot Makmur Suhodo,” tulis Adityawarman Suryadarma dalam buku ‘Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma’.

Pada pukul 05.30, lanjutnya, pesawat sudah berada di atas hutan Kalimantan. Area yang menjadi target dropping zone adalah Sepanbiha. Dari 12 calon penerjun, cuma Jamhani yang batal melompat dari pesawat karena takut. Meski lokasi mendarat jauh dari titik yang ditentukan, di Kampung Sambi di Barat Laut Rantau Pulut, Kotawaringin, semua penerjun selamat.

Momen penerjunan pada 17 Oktober 1947 itulah yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kopasgat (Korp Pasukan Gerak Tjepat). Dalam perjalanannya, Kopasgat kemudian berubah menjadi Kopaskhas pada 1985 hingga akhirnya kembali menjadi Kopasgat pada 2022.

Semburat mentari pagi yang berwarna jingga pada 17 Oktober 1947 kemudian mengilhami generasi penerus di lingkungan Kopasgat untuk menjadikannya sebagai warna baret. “Warna itu dipilih sebagai kenangan abadi, untuk menghormati keberanian dan ketulusan senior-senior kami mengabdi kepada republik ini,” tulis buku ‘Baret Jingga Pasukan Payung Pertama di Indonesia’ yang diterbitkan Gramedia, 1999.
Kopasgat merupakan satuan tempur darat berkemampuan tiga matra, yaitu udara, laut, darat. Setiap prajurit Pasgat minimal harus memiliki kualifikasi parakomando untuk dapat melaksanakan tugas secara profesional, kemudian ditambahkan kemampuan khusus kematraudaraan sesuai dengan spesialisasinya.

Pasgat sebagai pasukan pemukul siap diterjunkan di segala medan baik hutan, kota, rawa, sungai, maupun laut untuk menumpas semua musuh yang melawan NKRI. Pasgat mempunyai ciri khas yang tidak dimiliki oleh pasukan khusus lainnya yaitu, Operasi Pembentukan dan Pengoperasian Pangkalan Udara Depan (OP3UD) yaitu merebut dan mempertahankan pangkalan dan untuk selanjutnya menyiapkan pendaratan pesawat dan penerjunan pasukan kawan.

Di waktu-waktu berikutnya, bersama pasukan elit lainnya di lingkungan TNI, Kopasgat turut terlibat dalam berbagai operasi di tanah air maupun luar negeri, seperti penerjunan di Sumatera dalam rangka penumpasan PRRI/Permesta, Operasi Trikora di Irian Jaya (Papua), Operasi Dwikora (Semenanjung Malaka), serta Operasi Seroja di Timor Timur (Timtim) pada 1975.

“Seroja merupakan operasi lintas udara pertama dan terbesar yang pernah dilakukan TNI kala itu. Pasukan gabungan diterjunkan untuk merebut Pangkalan Udara Dili dan Baucau,” ungkap Komandan Kopasgat 1996-1998, Marsekal Madya Budhy Santoso, saat berbincang dengan infoNews. “Saya diterjunkan di Baucau pada 10 Desember. Saya masih kapten waktu itu,” imbuhnya.

Hanya saja karena operasi tersebut merupakan yang pertama dan terbesar, di lapangan koordinasi lintas kesatuan kurang terlalu rapih. Titik koordinat penerjunan, misalnya, banyak yang meleset sehingga pasukan mendarat jauh dari lokasi yang dituju. Belum lagi gaktor cuaca yang kerap berubah juga turut mempengaruhi.

Menurut Kolonel (Purn) Wahyu Wijoyo, Wakil Komandan Kopasgat 1996-1998, yang ditemui terpisah di Soreng-Bandung, beberapa informasi intelijen tidak akurat. Dikatakan kalau di sana banyak sungai yang deras ternyata kering. “Malah banyak batu karang di sekitar bandara sehingga beberapa prajurit terluka saat mendarat. Kapten Budhy termasuk yang terluka di betisnya,” ungkapnya.

Kala itu Wahyu juga berpangkat kapten. Dia menjabat Komandan Tempur, sedangkan Budhy menjabat Komandan Operasi dan Intelijen.

Lelaki kelahiran 26 Maret 1943 itu juga mengungkapkan bahwa tak semua prajurit happy saat dikirim ke Timtim. Selain medan tempurnya tak terlalu diketahui dengan baik, informasi yang lebih banyak beredar justru soal keganasan pasukan Fretilin di sana. Hanya saja sebagai prajurit sudah didoktrin untuk maju terus pantang mundur.

“Ketika pasukan memasuki Hercules untuk penerjunan prosesnya berjalan agak lama. Bukan cuma karena kesulitan membawa beban yang dua kali lebih berat, tapi karena ciut nyali. Kami di dalam Hercules semuanya membisu,” kenang Wahyu diiringi tawa miris. Matanya berkaca-kaca. “Makanya kalau bisa damai, gak usah ada lagi perang,” ujarnya kemudian dengan lirih.

Karena pernah menjalani operasi jantung, karir Wahyu terhenti di pangkat Kolonel dengan jabatan Wakil Komandan Kopasgat. Sementara Budhy pensiun dari TNI-AU dengan pangkat Marsekal Madya (Bintang Tiga). Jabatan terakhirnya Sekretaris Militer Presiden di era BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, dan Megawati.

“Saya diminta Menhankam/Panglima ABRI Jenderal Wiranto menjadi Sesmilpres di masa awal Pak Habibie. Kalau di era Ibu Mega cuma sekitar empat bulan,” kata Budhy.

Saat berpangkat Letkol, Budhy dan Wahyu yang masing-masing menjabat Direktur Operasi Puspaskhas dan Dandepolat Paskhas TNI-AU, menyusun konsep Satuan Antiteror TNI-AU, Bravo-90.