Akhir-akhir ini masyarakat banyak yang mengeluhkan cuaca panas di berbagai wilayah Indonesia. Selain sinar matahari yang terik, suhu udara pun turut terasa panas.
Sebenarnya, apa yang menyebabkan cuaca belakangan ini terasa demikian panas? Padahal, menurut Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), sebagian wilayah di Indonesia seharusnya sudah memasuki musim hujan.
“Musim hujan diprediksi berlangsung dari Agustus 2025 hingga April 2026, dengan puncak hujan yang bervariasi, sebagian besar terjadi pada November-Desember 2025 di Sumatera dan Kalimantan, serta Januari-Februari 2026 di Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua,” ujar Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati dikutip dari laman BMKG, Sabtu (25/10/2025).
Ahli ilmu cuaca sekaligus Dosen Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB University, Sonni Setiawan, SS, MSi, menjelaskan bahwa fenomena ini berkaitan erat dengan proses penyerapan radiasi elektromagnetik oleh atmosfer.
Proses tersebut secara langsung memengaruhi peningkatan suhu di lapisan troposfer bagian bawah. Adapun lapisan troposfer yakni lapisan udara yang sehari-hari kita hirup.
“Atmosfer berfungsi sebagai medium yang menerima radiasi dari dua sumber utama, yakni matahari dan bumi,” kata Sonni dikutip dari laman IPB, Sabtu (25/10/2025).
Ia menjelaskan, perbedaan bentuk gelombang radiasi matahari dan bumi memengaruhi lokasi penyerapan panas di atmosfer.
“Radiasi dari matahari disebut radiasi gelombang pendek, sementara radiasi dari bumi disebut radiasi gelombang panjang. Keduanya memiliki spektrum absorpsi berbeda,” jelasnya.
Menurut Sonni, radiasi dari matahari cenderung lebih banyak diserap di lapisan atas atmosfer seperti stratosfer hingga termosfer. Biasanya radiasi akan terserap pada spektrum ultraviolet.
Sebaliknya, radiasi gelombang panjang yang dipancarkan dari permukaan bumi cenderung diserap di troposfer. Penyerapannya terjadi melalui spektrum inframerah.
“Semakin tinggi konsentrasi partikel pengabsorpsi, semakin besar energi yang terserap, sehingga suhu udara pun meningkat,” kata Sonni.
Peningkatan suhu yang kini dirasakan masyarakat tidak lepas juga dari peran gas rumah kaca seperti uap air dan karbon dioksida (CO₂). Selain itu, partikel aerosol akibat polusi dan debu di udara pun ikut berpengaruh.
Gas dan partikel tersebut menyerap panas dari bumi dan menjebaknya di atmosfer sehingga panas sulit keluar ke angkasa. Selain itu, perubahan tutupan lahan akibat alih fungsi kawasan hijau menjadi area terbangun seperti beton dan aspal juga memperkuat efek pemanasan tersebut.
“Hal ini membuat suhu permukaan meningkat dan memperkuat pemanasan udara di lapisan bawah,” tegasnya.
Tak hanya faktor tersebut, kondisi panas yang terjadi sekarang juga dipengaruhi oleh posisi matahari. Pada Oktober 2025, matahari hampir tepat berada di atas Pulau Jawa dan Bali.
Hal ini membuat wilayah-wilayah tersebut menerima intensitas radiasi matahari yang lebih kuat dibanding bulan-bulan sebelumnya.
“Fenomena ini merupakan proses fisis yang wajar terjadi setiap tahun. Namun, peningkatan suhu akan terasa lebih ekstrem ketika dipengaruhi oleh perubahan penggunaan lahan dan meningkatnya polutan di atmosfer,” tutup Sonni.
Dengan kombinasi faktor alam dan aktivitas manusia tersebut, menurutnya wajar jika masyarakat merasa akhir-akhir ini cuaca makin tak bersahabat. Yuk, jaga terus lingkungan agar panas di bumi ini masih terkendali!
