Kemerdekaan Berkelanjutan: Rakyat, Alam, dan Masa Depan

Posted on

Delapan puluh tahun Indonesia merdeka, sebuah usia yang seharusnya menandai kedewasaan berbangsa dan bernegara. Namun di balik euforia perayaan kemerdekaan, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: sudahkah kekayaan alam negeri ini benar-benar dikelola demi kemakmuran rakyat dan kelestarian lingkungan?

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Namun pada realitasnya, pengelolaan sumber daya alam (SDA) selama delapan dekade terakhir menunjukkan masih jauhnya praktik dari cita konstitusi tersebut. Ketimpangan penguasaan lahan, konflik agraria, krisis lingkungan, dan lemahnya pengawasan terhadap pelaku usaha menandakan bahwa kemerdekaan ekologis dan kemerdekaan rakyat atas alamnya masih belum tercapai.

Presiden Prabowo Subianto dalam Asta Cita menegaskan komitmennya memperkuat kedaulatan rakyat atas sumber daya nasional serta menciptakan kemakmuran yang adil dan merata. Hal ini penting untuk mengoreksi model pembangunan sebelumnya yang lebih condong pada eksploitasi dibanding keberlanjutan.

Salah satu langkah strategis dalam pemerataan adalah pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada organisasi kemasyarakatan keagamaan, koperasi, dan UMKM, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025. Namun kebijakan ini harus dikawal ketat agar tidak menjadi kendaraan baru oligarki berkedok rakyat.

Kasus terbaru yang layak menjadi pelajaran penting adalah pencabutan empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh Pemerintah Pusat di wilayah Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Pencabutan ini dilakukan karena terbukti adanya pelanggaran terhadap ketentuan lingkungan hidup serta untuk menjaga kelestarian kawasan Geopark Raja Ampat, yang merupakan salah satu kawasan biodiversitas laut terkaya di dunia dan telah diakui secara internasional.

Pencabutan tersebut menjadi preseden penting bahwa tanpa pengawasan ketat, pemberian izin betapapun mulianya niat awal dapat berubah menjadi ancaman serius bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal. Lebih dari itu, keputusan tersebut menunjukkan bahwa negara mampu menegakkan prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan dalam pengelolaan SDA.

Kita tidak bisa membiarkan praktik usaha yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek namun abai terhadap tanggung jawab sosial dan ekologis. Pengawasan terhadap pemegang izin usaha pertambangan dan izin-izin lainnya harus diperkuat secara sistematis, melalui regulasi yang ketat dan partisipasi publik yang aktif.

Di banyak wilayah Indonesia, masyarakat yang hidup paling dekat dengan sumber daya alam justru paling rentan, petani yang kehilangan tanahnya, nelayan yang kesulitan melaut akibat reklamasi, atau masyarakat adat yang diabaikan dalam peta konsesi. Mereka belum sepenuhnya merdeka.

Ironi ini menunjukkan bahwa pengelolaan SDA kita belum inklusif. Negara tidak boleh hanya menjadi fasilitator investasi, tetapi harus hadir sebagai pelindung hak-hak rakyat dan penjaga kelestarian alam.

Delapan puluh tahun merdeka harus menjadi momentum menuju kemerdekaan yang berkelanjutan: kemerdekaan yang tidak hanya berbasis simbolik dan administratif, tetapi juga menjamin keadilan ekologis dan hak generasi mendatang atas lingkungan hidup yang sehat.

Krisis iklim, deforestasi, pencemaran air, dan konflik lahan adalah peringatan keras bahwa kita tak bisa lagi membiarkan paradigma lama terus berlangsung. Kita membutuhkan arah baru yang mengintegrasikan kesejahteraan rakyat, kelestarian alam, dan akuntabilitas pelaku usaha.

Kemerdekaan sejati adalah ketika rakyat memiliki kendali dan manfaat atas tanah dan airnya sendiri, dan ketika alam dirawat sebagai mitra hidup, bukan sebagai objek eksploitasi.

Kebijakan progresif seperti pemberian WIUPK kepada ormas, koperasi, dan UMKM harus disertai mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban yang kuat. Kasus pencabutan IUP di Raja Ampat adalah pengingat penting bahwa izin adalah amanat, bukan tiket merusak.

Kini saatnya negara benar-benar menjalankan amanat Pasal 33 UUD 1945, menyatukan cita-cita konstitusi dengan semangat Asta Cita, dan memastikan bahwa kemerdekaan Indonesia ke-80 bukan hanya perayaan, tetapi juga perbaikan.

Karena kemerdekaan sejati adalah yang berpihak pada rakyat, menjaga alam, dan menjamin masa depan.

Saputra Malik. Asisten Muda II Ombudsman Republik Indonesia.

Tonton juga video “Prabowo: Tidak Ada Bangsa yang Merdeka Tanpa Tentara yang Kuat” di sini:

Asta Cita dan Kedaulatan atas SDA

Pengawasan Jadi Kunci

Rakyat dan Alam yang Belum Sepenuhnya Merdeka

Kemerdekaan yang Harus Berkelanjutan

Merdeka Hari Ini, Menjaga Esok

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *