Kapan Kelapa Sawit Mulai Masuk ke Indonesia? Cek Sejarah dan Tujuannya

Posted on

Kelapa sawit sudah lama menjadi denyut penting ekonomi Indonesia dan belakangan ini disebut sebagai salah satu penyebab deforestasi. Tapi sedikit yang benar-benar tahu, kapan tanaman ini pertama kali masuk dan mengapa awalnya justru bukan untuk bisnis. Jejak awal sawit di Indonesia berawal jauh sebelum ia menjadi komoditas strategis dunia.

Masuknya kelapa sawit ke Indonesia tidak terjadi sekaligus sebagai industri besar. Ia melalui fase panjang, mulai dari koleksi ilmiah di Kebun Raya, berkembang menjadi komoditas ekspor kolonial, sempat meredup akibat perang, lalu bangkit sebagai penggerak ekonomi nasional. Setiap periode punya cerita dan tujuan yang berbeda.

Untuk memahami posisi sawit hari ini, penting menengok ke belakang dan melihat bagaimana perjalanannya dimulai dan ke mana arah pengembangannya bergerak. Mari kita cari tahu lebih dalam melalui penjelasan yang dihimpun dari Oil Palm Cultivation oleh Ayu Amalya Maas (2019), Manajemen Perkebunan oleh Rusli Anwar dan Sri Ngapiyatun (2018), serta Statistik Kelapa Sawit Indonesia oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS RI) berikut ini, infoers!

Poin utamanya:

Kelapa sawit pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1848, pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Informasi ini dijelaskan dalam buku Oil Palm Cultivation karya Ayu Amalya Maas (2019) serta Manajemen Perkebunan oleh Rusli Anwar dan Sri Ngapiyatun (2018).

Pada tahun tersebut, pemerintah kolonial Belanda membawa empat batang bibit kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) ke Indonesia. Dua bibit berasal dari Bourbon (Mauritius) dan dua lainnya dari Hortus Botanicus Amsterdam. Seluruh bibit ini ditanam di Kebun Raya Bogor. Hingga kini, dua dari empat pohon tersebut masih hidup dan diyakini sebagai nenek moyang kelapa sawit di Asia Tenggara.

Pada fase ini, kelapa sawit belum ditujukan untuk kegiatan ekonomi. Tanaman ini hanya dibudidayakan sebagai tanaman hias dan koleksi ilmiah, seiring status Kebun Raya Bogor sebagai pusat penelitian botani tropis. Belum ada orientasi produksi atau ekspor pada periode ini.

Lantas, seperti apa perkembangan kelapa sawit di Indonesia dari masa ke masa? Mari simak uraian lebih lanjut berikut ini.

Kelapa sawit mulai dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911. Menurut Ayu Amalya Maas (2019) dan Rusli Anwar-Sri Ngapiyatun (2018), tokoh penting dalam fase ini adalah Adrien Hallet, seorang berkebangsaan Belgia. Ia menjadi pelopor perkebunan kelapa sawit modern di Indonesia.

Budidaya kelapa sawit kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh K. Schadt, sehingga menandai lahirnya industri perkebunan kelapa sawit di tanah air. Lokasi awal pengembangan berada di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh, dengan luas perkebunan mencapai 5.123 hektare.

Indonesia mulai mengekspor minyak sawit pada tahun 1919, sebanyak 576 ton, disusul ekspor minyak inti sawit (PKO) pada tahun 1923 sebesar 850 ton. Menjelang Perang Dunia II, Indonesia bahkan menjadi salah satu eksportir utama minyak sawit dunia, mampu menyaingi negara-negara Afrika Barat sebagai daerah asal sawit.

Masa pendudukan Jepang membawa dampak besar terhadap perkebunan kelapa sawit. Menurut Maas (2019), luas perkebunan menyusut hingga 16 persen, dan produksi turun drastis. Jika pada tahun 1940 Indonesia mampu mengekspor sekitar 250.000 ton minyak sawit, maka pada periode 1948-1949 produksinya hanya mencapai 56.000 ton.

Setelah Jepang dan Belanda meninggalkan Indonesia pada tahun 1957, pemerintah mengambil alih seluruh perkebunan kelapa sawit dengan alasan politik dan keamanan. Untuk menjaga operasional, pemerintah menempatkan perwira militer di berbagai jenjang manajemen dan membentuk BUMIL (Buruh Militer).

Namun, perubahan manajemen yang mendadak, ditambah kondisi sosial politik yang belum stabil, menyebabkan produktivitas sawit menurun. Pada masa ini, posisi Indonesia sebagai pemasok utama minyak sawit dunia tergeser oleh Malaysia.

Memasuki masa Orde Baru, arah pembangunan perkebunan berubah signifikan. Pemerintah menempatkan kelapa sawit sebagai instrumen pembangunan ekonomi, dengan tujuan menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta menghasilkan devisa negara. Informasi ini dijabarkan secara rinci dalam buku Rusli Anwar dan Sri Ngapiyatun (2018).

Pembukaan lahan baru didorong secara masif. Hingga tahun 1980, luas perkebunan sawit mencapai 294.560 hektare dengan produksi 721.172 ton CPO. Program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-BUN) menjadi kebijakan penting yang mendorong keterlibatan petani kecil atau perkebunan rakyat.

Sejak 1979, perkebunan rakyat mulai berkembang, berbeda dengan periode sebelumnya yang hanya didominasi oleh perkebunan besar. Hingga tahun 1993, luas perkebunan sawit nasional meningkat pesat hingga 1,62 juta hektare, tersebar di berbagai provinsi di Sumatera, Kalimantan, dan wilayah lainnya.

Berdasarkan Statistik Kelapa Sawit Indonesia oleh BPS RI, luas perkebunan sawit Indonesia terus berkembang hingga memasuki era modern. Pada tahun 2018, luas perkebunan mencapai 14,33 juta hektare dan pada tahun 2023 meningkat menjadi sekitar 15,93 juta hektare.

Perkebunan kelapa sawit kini tersebar di 26 provinsi, meliputi seluruh Sumatera dan Kalimantan, serta sebagian Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Provinsi Riau menjadi produsen terbesar dengan luas 3,40 juta hektare dan produksi 9,22 juta ton CPO pada 2023.

Struktur pengelolaan perkebunan sawit modern didominasi oleh perkebunan besar swasta (54,08 persen). Kemudian disusul perkebunan rakyat (42,29 persen), dan perkebunan besar negara.

Tujuan pengembangan kelapa sawit di Indonesia tidak bersifat tunggal dan statis. Ia berubah mengikuti kebutuhan zaman, kondisi sosial politik, serta arah kebijakan pembangunan nasional.

Pada masa awal masuknya ke Indonesia pada tahun 1848, kelapa sawit belum ditujukan sebagai komoditas ekonomi. Berdasarkan buku Oil Palm Cultivation karya Ayu Amalya Maas (2019), tanaman ini diperkenalkan dan ditanam di Kebun Raya Bogor sebagai tanaman koleksi dan bahan penelitian botani. Fokus utamanya adalah pengamatan dan adaptasi tanaman, bukan produksi atau perdagangan.

Tujuan pengembangan kelapa sawit berubah saat mulai dibudidayakan secara komersial pada 1911. Menurut Rusli Anwar dan Sri Ngapiyatun (2018), kelapa sawit mulai diposisikan sebagai penghasil minyak nabati bernilai tinggi untuk pasar internasional. Pada periode ini, tujuan utamanya adalah mendukung ekspor kolonial dan memenuhi kebutuhan industri minyak nabati global.

Memasuki era Orde Baru, tujuan pengembangan sawit semakin luas. Kelapa sawit diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan menghasilkan devisa negara. Pemerintah mendorong pembukaan lahan baru dan melibatkan perkebunan rakyat melalui program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-BUN), sehingga sawit menjadi penggerak ekonomi daerah.

Dalam perkembangan selanjutnya, kelapa sawit tidak hanya berfungsi sebagai komoditas ekspor, tetapi juga sebagai penopang industri dalam negeri. Berdasarkan data BPS RI, meningkatnya konsumsi domestik, perkembangan industri hilir, dan riset pemanfaatan minyak sawit sebagai sumber energi alternatif menjadikan sawit komoditas strategis jangka panjang bagi perekonomian Indonesia.

Memahami sejarah kelapa sawit membantu melihat perannya secara lebih utuh. Dari bibit di Kebun Raya Bogor hingga jutaan hektare perkebunan hari ini, sawit tumbuh seiring perubahan arah kebijakan dan kebutuhan zaman. Semoga bermanfaat!

Kapan Kelapa Sawit Mulai Masuk ke Indonesia?

Sejarah Kelapa Sawit di Indonesia dari Masa ke Masa

1. Periode Awal Komersialisasi (1911-1940)

2. Periode Kemunduran (1942-1950an)

3. Periode Orde Baru (1968-1990an)

4. Periode Modern (2000an-2023)

Apa Tujuan Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit?

1. Awalnya untuk Kepentingan Ilmiah

2. Berkembang Menjadi Komoditas Ekspor

3. Alat Pembangunan dan Penciptaan Lapangan Kerja

4. Fondasi Agribisnis Modern