Persoalan pemilihan umum (pemilu) yang berjalan secara demokratis dan akuntabel di Indonesia tidak pernah mencapai titik akhir dan selalu menimbulkan persolan baru pasca pemilu itu dilaksanakan.
Baru-baru ini beberapa pegiat pemilu bahkan memperdebatkan soal sistem maupun kapasitas dari penyelenggara pemilu itu sendiri. Membaca artikel yang ditulis oleh Titi Anggraini mengenai “Mereset Penyelenggara Pemilu” (Kompas, 6/10/2025) paling tidak menyoroti tiga hal.
Pertama soal integritas penyelenggara pemilu, kedua mengenai transparansi penyelenggara pemilu dan ketiga soal penguatan kelembagaan. Kritik ini menarik sekaligus perlu dijadikan sebagai bahan evaluasi dalam melihat kerangka persoalan.
Namun, permasalahan yang terjadi pada pemilu akhir – akhir ini sebenarnya tidak lepas dari kegamangan kita dalam mencari dan menyusun sistematika pemilu yang berkelanjutan untuk diterapkan di Indonesia.
Terdapat beberapa alasan mengapa hal demikian bisa terjadi. Pertama, lemahnya soal demokrasi deliberatif. Artinya, minimnya partisipasi masyarakat dalam menjalani setiap keputusan politik pemilu.
Masyarakat berhak untuk mengetahui dan dilibatkan dalam kebijakan politik yang diambil dalam menyusun regulasi, peraturan, penegakan hukum pemilu bahkan sampai pengawasan anggaran pemilu. Hal ini penting untuk membangun legitimasi dan membuka ruang partisipasi yang luas sehingga kebijakan yang dikeluarkan secara langsung diterima oleh masyarakat. Dengan demikian, resistensi kebijakan soal pemilu minim penolakan.
Kedua, minimnya regulasi yang ajeg. Desain tata Kelola pemilu kita seringkali mengalami perubahan di masa-masa akhir pencalonan atau pendaftaran peserta pemilu.
Bahkan revisi atas Undang-Undang pemilu sampai saat ini terhitung sebanyak tiga kali yang sebelumnya sempat dikeluarkannya Perpu No. 1 Tahun 2022 sebagai payung hukum atas daerah pilihan baru atas pembentukan provinsi baru di Papua.
Masalahnya, UU Pemilu dan Peraturan KPU seringkali mendapat penolakan bagi kepentingan politik pragmatis pihak tertentu yang merasa hak politiknya dirugikan yang kemudian berakibat pada judicial review di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Beberapa contoh fenomenal yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam melihat isu kepentingan politik pragmatis yang diuji materi seperti masa usia pencalonan wakil presiden (Putusan No. 90/PUU-XXI/2023) syarat terpilihnya calon kepala daerah (Putusan No. 23/PHUM/2024) dan ambang batas minimum koalisi partai dalam mengusung kepala daerah (Putusan No. 60/PUU-XXII/2024).
Terjadinya perubahan-perubahan aturan pemilu di penghujung masa pendaftaran dan pencalonan inilah kemudian yang menjadikan ketidakpastian terhadap sistem, tata kelola serta konsep pemilu yang ajeg dan mengedepankan keberlanjutan.
Ketiga, akuntabilitas penegakan hukum pemilu, terbatasnya akuntabilitas penyelenggara pemilu dalam sistem penegakan hukum pemilu menjadi pekerjaan rumah yang perlu untuk diselesaikan.
Kompetensi penegak hukum yang merupakan ahli dalam sistem kepemiluan sangat minim dan tidak terkoneksi dengan sistem penegakan hukum yang berbasis pada penegakan sistem hukum acara pidana.
Kemampuan para pengadil ini dalam menentukan sebauh mens rea (niat jahat) terhadap pelanggaran pemilu harus diperhatikan bahkan semestinya diberikan pemahaman yang utuh terkait dengan kemampuan dasar penegakan hukum dalam sistem peradilan. Karena secara prinsip, penegakan hukum pemilu merupakan penegakan atas hukum dan demokrasi (Ramlan Surbakti, 2024)
Keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam mendesain tata Kelola pemilu di Indonesia juga membawa dampak yang serius bagi kematangan demokrasi dan sistem pemilu yang sudah dijalankan. Putusan Mahkamah Konstitusi kerap kali mengubah peta jalannya permainan pemilu yang secara factual sebenarnya berjalan menuju kematangan.
Misalnya, putusan No. 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu lokal. MK kerap kali bergeser pendirian dalam memutus uji materi perihal pemilu. Misalnya soal perubahan pandangan dalam menyikapi pemilu serentak, masa usia pencalonan, rezim Pilkada sebagai rezim pemilu dan sebagainya.
Keterlibatan MK inilah kemudian yang menggeser paradigma pemilu, mendesain sistematika pemilu bahkan mengatur soal regulasi pemilu yang secara prinsip menjadikan sistem pemilu kita berjalan menyamping dan tidak berkelanjutan.
Sebagai langkah preventif dalam merespon persoalan pemilu. Penulis melihat setidaknya terdapat tiga hal yang mesti dilakukan. Pertama, penyelenggara, peserta dan pemilih harus memiliki kesamaan dalam menentukan konsep pemilu.
Hal ini dapat dilakukan melalui penyusunan regulasi yang matang dengan berbasis pada kajian akademis yang kuat sehingga dalam perdebatan perihal aturan main pemilu sudah selesai dalam proses penyusunan dan pembahasan.
Kedua, Mahkamah Konstitusi harus memperketat syarat legal standing pemohon dalam mengajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi. Hal ini diharapkan guna menghindari terjadinya eksploitasi pasal yang akan diuji.
Ketiga, peningkatan soal kapasitas penyelenggara pemilu yang memiliki wawasan serta keahlian yang mumpuni dalam menyelenggarakan pemilihan umum dan sistem penegakan hukum pemilu. Hal demikian dapat dilakukan melalui mekanisme fit and proper-test secara konstruktif dan ketat.
Dengan demikian, apa yang dikhawatirkan soal terjalnya restorasi pemilu secara tidak langsung dapat mengurangi permasalahan yang terus berulang terjadi.
Lalu Hartawan Mandala Putra. Advokat dan Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UI.
Tonton juga Video Duduk Perkara Baleg Klaim ‘Selamatkan’ RUU Pemilu Masuk Prolegnas
Keterlibatan MK
Perubahan Sederhana







