Hilirisasi Digital: Membangun Ekosistem Digital Mandiri di Indonesia

Posted on

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah hilirisasi menjadi salah satu topik yang menonjol dalam diskursus strategis kebijakan ekonomi Indonesia. Istilah ini merujuk pada proses meningkatkan nilai tambah dari suatu komoditas atau sektor dengan mengolahnya lebih lanjut di dalam negeri sebelum diekspor atau digunakan, sehingga mampu memberikan dampak ekonomi yang lebih besar bagi negara.

Awalnya, hilirisasi banyak dikaitkan dengan sektor sumber daya alam, seperti nikel, batu bara, dan kelapa sawit, di mana pemerintah berupaya menghentikan ekspor bahan mentah dan mendorong pembangunan industri pengolahan dan manufaktur domestik. Tujuannya adalah memperkuat struktur industri nasional, menciptakan lapangan kerja, serta meningkatkan pendapatan negara melalui ekspor produk bernilai tambah tinggi.

Namun, seiring perkembangan zaman dan kebutuhan akan transformasi ekonomi berbasis teknologi, konsep hilirisasi mulai merambah ke sektor yang lebih abstrak namun sangat strategis, yakni sektor digital. Fenomena ini kemudian dikenal dengan istilah hilirisasi digital.

Dalam konteks ini, hilirisasi digital tidak hanya berarti pemanfaatan teknologi digital untuk mendukung sektor-sektor tradisional, tetapi lebih dari itu, merupakan upaya sistematis untuk membangun ekosistem digital nasional yang mandiri dan berdaya saing. Hilirisasi digital mencakup berbagai aspek, mulai dari pengembangan infrastruktur digital, penguatan regulasi dan tata kelola data, penciptaan perangkat lunak lokal, hingga pengembangan dan pemberdayaan talenta digital dalam negeri.

Rhenald Kasali (2023) menyebutkan bahwa hilirisasi digital adalah tentang menciptakan nilai di dalam negeri, bukan sekadar memakai teknologi asing. Ini mencakup membangun aplikasi sendiri, pusat data sendiri, bahkan logika algoritma yang disesuaikan dengan budaya dan kepentingan kita. Maka melalui konsep hilirisasi digital, Indonesia berupaya tidak lagi hanya menjadi pasar bagi produk dan layanan digital dari luar negeri, tetapi juga menjadi produsen nilai tambah digital yang mampu menciptakan inovasi sendiri, mengolah data menjadi aset strategis, dan membangun teknologi yang relevan dengan kebutuhan masyarakat lokal. Hal ini termasuk mendorong pengembangan startup teknologi, peningkatan riset dan pengembangan (R&D) di bidang digital, serta kolaborasi antara pemerintah, industri, dan akademisi untuk menciptakan ekosistem digital yang kuat, inklusif, dan berkelanjutan. Upaya ini menjadi sangat penting di tengah pesatnya disrupsi digital global yang membawa peluang sekaligus tantangan bagi perekonomian nasional.

Dalam debat calon wakil presiden pada Desember 2023, Gibran Rakabuming Raka secara eksplisit menyebutkan “hilirisasi digital” sebagai salah satu prioritas pembangunan, berdampingan dengan hilirisasi energi hijau dan ekonomi kreatif. Pernyataan ini menandai pentingnya transformasi digital sebagai pilar pembangunan nasional, seiring dengan meningkatnya ketergantungan terhadap teknologi digital dalam sektor ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan pemerintahan.

Namun, relevansi hilirisasi digital di Indonesia tidak lepas dari tantangan struktural yang kompleks. Di satu sisi, Indonesia memiliki potensi besar: populasi muda yang masif, penetrasi internet yang terus meningkat, serta geliat startup teknologi yang menjanjikan. Di sisi lain, terdapat masalah kesenjangan digital, dominasi platform asing dalam ekonomi digital, kurangnya infrastruktur di daerah tertinggal, serta lemahnya kedaulatan data dan perlindungan privasi.

Lebih jauh, dinamika geopolitik teknologi global menambah tekanan bagi Indonesia untuk memperkuat posisi digitalnya. Ketergantungan terhadap teknologi luar negeri, dari perangkat keras hingga layanan cloud dan AI, menimbulkan kerentanan strategis. Oleh karena itu, hilirisasi digital harus mencakup penguatan ekosistem lokal yakni regulasi data nasional, industri semikonduktor, riset teknologi, hingga pengembangan SDM digital yang berdaya saing.

Beberapa waktu yang lalu pun pernyataan Gibran tentang hilirisasi digital yang tidak hanya menjadi jargon politik, melainkan mencerminkan kebutuhan strategis untuk membangun kemandirian dan kedaulatan digital Indonesia. Tantangannya adalah bagaimana mengubah wacana ini menjadi kebijakan konkret yang inklusif, progresif, dan berpihak pada kepentingan nasional di era ekonomi digital yang makin kompetitif.

Tantangan

Meskipun penetrasi internet di Indonesia meningkat pesat, masih terdapat ketimpangan akses digital antara wilayah urban dan rural. Banyak daerah di Indonesia Timur, pedalaman Kalimantan, atau Papua masih menghadapi koneksi yang lambat, mahal, atau tidak tersedia sama sekali. Hal ini menghambat partisipasi daerah-daerah tersebut dalam ekonomi digital dan memperlebar jurang pembangunan. Sementara itu sebagian besar teknologi inti seperti cloud computing, big data analytics, AI, bahkan perangkat lunak dan aplikasi popular masih didominasi oleh perusahaan global seperti Google, Microsoft, Meta, dan Amazon. Indonesia belum memiliki platform digital lokal yang kuat atau infrastruktur komputasi independen berskala nasional.

Kemudian Kekurangan SDM digital yang kompeten di bidang data science, AI, cybersecurity, dan pengembangan perangkat lunak menjadi penghambat besar. Banyak lulusan teknologi, informasi dan komunikasi belum siap industri atau terserap di luar negeri. Di sisi lain, sektor pendidikan tinggi belum cukup adaptif terhadap kebutuhan teknologi terbaru. kelemahana regulasi tentang perlindungan data pribadi, penyimpanan data nasional, dan keamanan siber membuat Indonesia rawan eksploitasi data oleh pihak asing juga menjadi tantangan. Belum semua pelaku digital menyimpan data di dalam negeri, dan kebocoran data publik atau privat sering terjadi tanpa akuntabilitas yang jelas.

Selain itu, perlu diingat bahwa walau wacana hilirisasi digital telah digaungkan dalam berbagai forum nasional, pidato pejabat publik, hingga dokumen rencana pembangunan jangka menengah, implementasinya di lapangan masih menghadapi hambatan serius, terutama pada aspek perencanaan strategis yang konkret. Hingga kini, belum tersedia roadmap nasional yang terintegrasi dan terukur mengenai hilirisasi digital, baik dari sisi sektor prioritas, tahapan pelaksanaan, indikator keberhasilan, maupun alokasi sumber daya. Ketiadaan arah kebijakan yang jelas ini menyebabkan berbagai kementerian dan lembaga berjalan dengan inisiatif masing-masing, tanpa kerangka koordinasi yang terpadu.

Akibatnya, koordinasi antarkementerian masih lemah dan cenderung sektoral, sehingga banyak program berjalan secara parsial, tumpang tindih, atau bahkan saling bertentangan. Misalnya, kebijakan terkait pengelolaan data, pengembangan pusat inovasi digital, dan pelatihan talenta digital sering kali tidak sinkron dalam hal standar, target, maupun pendanaan. Di sisi lain, pelaku industri baik startup, UMKM digital, maupun perusahaan besar mengalami kebingungan dalam memahami regulasi yang ada. Banyak regulasi dinilai tidak konsisten, berubah-ubah, atau kurang sosialisasi, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghambat inisiatif hilirisasi digital dari sektor swasta.

Tanpa roadmap yang jelas dan koordinasi kelembagaan yang kuat, risiko inkonsistensi kebijakan dan rendahnya daya dorong terhadap pengembangan ekosistem digital nasional akan terus membayangi, membuat hilirisasi digital sulit berkembang menjadi strategi nasional yang benar-benar berdampak luas dan berkelanjutan.

Solusi

Pertama yakni pemerintah menyusun blueprint hilirisasi digital nasional yang meliputi tahapan waktu (jangka pendek, menengah, panjang), sektor prioritas (kesehatan, pertanian, pendidikan, manufaktur, dan lainnya), target output (jumlah startup, produk digital lokal, pusat data), indikator keberhasilan dan pengukuran dampaknya. Adapun roadmap harus disusun kolaboratif oleh lintas kementerian (Kominfo, Bappenas, Kemenperin, Kemendikbud, kementerian atau Lembaga terkait) dan melibatkan sektor swasta dan akademisi.

Kedua yakni membentuk Digital Indonesia Task Force di bawah Kemenko Perekonomian atau Presiden yang khusus menangani hilirisasi digital dan transformasi teknologi nasional. Bertugas sebagai koordinator antar kementerian atau Lembaga negara, pengawas implementasi roadmap, dan penanggung jawab konsistensi regulasi.

Ketiga yakni perluasan jaringan internet berkecepatan tinggi hingga ke desa dan daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar, pembangunan pusat data (data center) nasional dan regional berbasis energi hijau, insentif bagi BUMN dan swasta untuk investasi dalam infrastruktur digital dasar seperti edge computing, satelit, dan jaringan fiber optik.

Keempat yakni Revitalisasi kurikulum vokasi dan pendidikan tinggi agar sesuai kebutuhan industri digital (AI, cloud, cybersecurity, data engineering), Program beasiswa dan pelatihan berskala nasional (seperti Digital Talent Scholarship oleh Kominfo) diperluas dan dikaitkan langsung dengan target hilirisasi, dan Kolaborasi industri kampus melalui innovation hub, tech park, dan magang bersertifikat.

Kelima yakni Investasi strategis negara (sovereign fund) pada bidang semikonduktor, AI lokal, dan teknologi kunci lainnya, Penetapan data sebagai aset strategis nasional, dengan regulasi penyimpanan dan pemrosesan data sensitif hanya di dalam negeri, Kolaborasi strategis dengan negara sahabat untuk transfer teknologi dan pengembangan teknologi terbuka (open tech collaboration).

Herry Mendrofa, Pengamat Politik dan Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *