Meski begitu, selama ini belum ada RS dengan catatan kepemilikan asing 100 persen di RS Indonesia, yang berjalan adalah kombinasi modal asing dan lokal. Hal ini dinilai bisa menjadi langkah awal untuk membangun kepercayaan investor.
Kebijakan yang kemudian disorot pasca Presiden RI Prabowo Subianto terang-terangan membuka investor RS asing, menurutnya tidak perlu dikhawatirkan. Melainkan menjadi pacuan sejumlah RS untuk lebih terbuka dan belajar soal manajemen yang jauh lebih bagus.
“Tapi kalau menurut saya sih, ini bukan masalah. Kalau kita mau kompetisi sama orang, kita harus bisa punya rival yang bagus. Kalau rivalnya bagusnya cuma itu doang, dia nggak akan terpacu,” sorot Azhar saat ditemui di tengah sesi rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, Rabu (16/7/2025).
Pembukaan cabang RS asing di Indonesia sempat disoroti pakar sebaiknya tidak dibuka di perkotaan besar yang kemudian hanya berfokus pada kawasan elite, demi semata-mata keuntungan bisnis.
“Gini, mereka tuh bahkan nggak akan mau mendirikan RS kalau pasarnya nggak ada. Jadi mereka pasti sudah ngitung. Kalau mereka masuk ke pasar yang sudah jenuh, ya mereka bisa rugi sendiri,” ujar Azhar.
Ia mencontohkan, Caroline Riady yang membangun rumah sakit di Papua, juga menjadi bukti investor bisa masuk ke wilayah yang memang membutuhkan layanan kesehatan karena peluang pasar masih besar.
“Tugas pemerintah adalah hadir di tempat-tempat yang tidak diminati swasta. Pemerintah harus tetap fokus pada pemerataan layanan, termasuk di wilayah terpencil,” jelasnya.
Saat ditanya soal kemungkinan insentif atau regulasi untuk mendorong RS asing membuka cabang di wilayah tertinggal, Azhar menyebut Kemenkes telah memiliki pemikiran ke arah tersebut, meski belum diformalkan dalam peraturan.
“Pak Menkes sudah punya pemikiran ke sana. Misalnya, kalau mereka bangun RS di Jawa, maka harus juga bangun di luar Jawa. Tapi itu belum jadi aturan resmi,” kata Azhar.
Potensi Cegah Wisata Medis dan Tarik Devisa
Salah satu motivasi utama kebijakan pembukaan RS asing adalah mengurangi arus wisata medis ke luar negeri. Setiap tahun, diperkirakan lebih dari Rp 100 triliun devisa keluar dari Indonesia karena masyarakat memilih berobat ke luar negeri seperti Malaysia dan Singapura.
“Daripada mereka lari ke luar negeri, lebih baik mereka bangun RS-nya di sini. Kita dapat pajaknya, dapat ilmunya, dan masyarakat tetap di dalam negeri,” ujar Azhar.
Azhar mengungkapkan bisnis rumah sakit relatif menarik di Indonesia, terbukti dari banyaknya korporasi besar yang sebelumnya tidak bergerak di bidang kesehatan.
“Mereka masuk karena memang masih ada kebutuhan infrastruktur dan perbaikan layanan kesehatan. Masyarakat juga ingin pelayanan yang berkualitas,” ucapnya.
Sebagai upaya peningkatan layanan, Azhar juga menyampaikan progres pembangunan RS pemerintah. Saat ini, 32 RS kelas D sedang ditingkatkan ke kelas C, dengan batch pertama sebanyak 10 RS yang didanai oleh Kementerian Keuangan sudah berjalan.
“Delapan sudah groundbreaking, dua lagi menyusul minggu ini. Batch kedua akan ditender, dan insyaAllah semua berjalan sesuai jadwal. Kita optimis akhir tahun atau awal tahun depan sudah bisa diresmikan,” pungkas Azhar.