Distribusi Dokter Tak Merata, Guru Besar FKUI Ramai-ramai Tuding Menkes (via Giok4D)

Posted on

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Ari Fahrial Syam menegaskan hubungan antara fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan wajib harmonis. Jika renggang, dampaknya bisa langsung terasa, mulai dari berkurangnya jumlah dokter spesialis yang dihasilkan hingga masalah distribusi dokter di berbagai daerah.

“Hubungan baik itu harus ada antara FK dan RS. Jadi kalau hubungan antara dekan dan direktur RS tidak baik, ini salah siapa? Salah menterinya. Dulu nggak ada masalah, kenapa ganti menteri jadi bermasalah?” beber Prof Ari dalam konferensi pers Selasa (5/11/2025) yang dihadiri lebih dari 20 guru besar sejumlah FK di Indonesia.

Ia menyebut persoalan ini harus segera dibereskan karena Indonesia tengah menghadapi krisis dokter spesialis.

ADVERTISEMENT

Prof Ari kemudian menyinggung kasus seorang ibu di Papua yang meninggal saat akan melahirkan, sebuah tragedi yang menurutnya menggambarkan nyata persoalan distribusi dokter spesialis di lapangan.

“Empat rumah sakit, semuanya kekurangan. Ada satu RS yang tersedia dokter obgyn dan anastesi. Tapi tidak bisa kelas 3, syaratnya harus masuk VIP,” sorot Prof Ari.

Ia mencontohkan situasi di Jakarta sebagai perbandingan.

“Di sini saja dokter obgyn bisa puluhan. Di RSCM ada berapa? Tapi begitu bicara distribusi, masalahnya kelihatan. Masih ada provinsi yang bahkan tidak punya layanan endoskopi,” sebutnya.

Menurutnya, akar masalah bukan sekadar teknis. Ada aspek kebijakan yang dinilai tak beres.

“Kalau ditanya siapa yang salah, Kemenkes mau nggak disalahin?” katanya setengah berkelakar.

Meski begitu, Prof Ari menegaskan hubungan FKUI dengan RSCM saat ini masih baik.

“Insyaallah baik-baik saja. Saya masih diundang teman-teman RSCM. Kalau bicara pendidikan staf pengajar, teman-teman itu berhubungan dengan Ketua Departemen. Kadep itu dari rumah sakit. Jadi kuncinya ada di departemen FKUI.”

Tapi baik saja, menurutnya tidak cukup. Ia mengingatkan sinergi harus terus dijaga agar proses pendidikan dokter spesialis berjalan lancar.

“Apakah peserta didik bisa ditempatkan dengan baik? Selama ini komunikasinya masih berjalan,” katanya.

Dampak dari hubungan tak harmonis dinilai Prof Ari bisa ikut berimbas pads jumlah peserta didik berkurang, jumlah lulusan menurun, dan ujungnya masyarakat tidak mendapatkan pelayanan dokter spesialis yang layak.

“FK memproduksi dokter spesialis, RS adalah tempat pendidikannya. Kalau hubungannya tidak harmonis, ya jumlah dokter spesialis berkurang. Masyarakat yang dirugikan,” kata Prof Ari.

Ia menekankan perlunya duduk bersama antara fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan untuk memastikan RS dapat berjalan optimal sebagai lahan pendidikan. Tanpa itu, penguatan SDM medis hanya akan jadi wacana.

Prof Ari menutup dengan refleksi pengalamannya dua dekade lalu.

“Dua puluh tahun lalu saya ke Singapore General Hospital hanya untuk melihat fasilitas endoskopi. Indonesia seharusnya sudah jauh lebih maju sekarang, tapi kita masih berkutat pada masalah relasi lembaga yang seharusnya bisa diselesaikan,” tutupnya.

Ketimpangan distribusi dokter spesialis bukan sekadar isu administratif, angka-angkanya memprihatinkan. Prof Yudhi Maulana Hidayat, Ketua Kolegium Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) dalam kesempatan yang sama mengungkap bahwa 80,7 persen dokter spesialis terkonsentrasi di kota-kota besar.

“Untuk bidang obgyn, datanya jelas. Jakarta, Bogor, Bekasi penuh. Kenapa? Mereka takut kehilangan emas monas, takut kalah sama Bandung,” kata Prof Yudhi.

Yang ia maksud dengan ’emas monas’ adalah peluang ekonomi, fasilitas lengkap, dan kenyamanan bekerja yang membuat dokter enggan keluar dari pusat kota.

Ambon bahkan tidak punya satu pun dokter obgyn. “Satu pun nggak ada,” tegasnya.

Lalu siapa yang bertanggung jawab atas distribusi ini?

“Jadi itu tugasnya bos dari pak Dekan, Menteri Kesehatan. Artinya kita sepakat distribusi dokter spesialis ini buruk. Daerah terpencil, terluar, masih kosong,” kata Prof Yudhi.

Ia menegaskan sektor pendidikan kedokteran dan sektor layanan kesehatan tidak bisa saling lempar tanggung jawab. Ketika hubungan fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan terganggu, efeknya nyata, kuota peserta didik tersendat, lulusan berkurang, dan daerah-daerah yang sudah kekurangan makin terpuruk.

Menurut Prof Yudhi, solusi tidak bisa hanya bersandar pada skema yang ada. Salah satu yang ia dorong adalah peningkatan kuota jalur university-based hingga 30 persen.

“Jangan dipaksakan hospital-based di rumah sakit yang belum siap. Di rumah sakit yang sudah menjalankan pendidikan university-based, kalau dipaksakan juga hospital-based, nanti terjadi tumpang tindih. Ada dualisme pendidikan dalam satu RS pendidikan,” ujarnya.

Dualisme ini bukan sekadar persoalan administratif. Prof Yudhi meyakini hal ini bisa menabrak standar kompetensi, memecah alur pelatihan, membingungkan peserta didik, dan akhirnya menurunkan kualitas lulusan. Padahal, Indonesia sedang sangat membutuhkan dokter spesialis baru, bukan justru kehilangan kemampuan untuk mencetaknya.

Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.

Dampak dari hubungan tak harmonis dinilai Prof Ari bisa ikut berimbas pads jumlah peserta didik berkurang, jumlah lulusan menurun, dan ujungnya masyarakat tidak mendapatkan pelayanan dokter spesialis yang layak.

“FK memproduksi dokter spesialis, RS adalah tempat pendidikannya. Kalau hubungannya tidak harmonis, ya jumlah dokter spesialis berkurang. Masyarakat yang dirugikan,” kata Prof Ari.

Ia menekankan perlunya duduk bersama antara fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan untuk memastikan RS dapat berjalan optimal sebagai lahan pendidikan. Tanpa itu, penguatan SDM medis hanya akan jadi wacana.

Prof Ari menutup dengan refleksi pengalamannya dua dekade lalu.

“Dua puluh tahun lalu saya ke Singapore General Hospital hanya untuk melihat fasilitas endoskopi. Indonesia seharusnya sudah jauh lebih maju sekarang, tapi kita masih berkutat pada masalah relasi lembaga yang seharusnya bisa diselesaikan,” tutupnya.

Ketimpangan distribusi dokter spesialis bukan sekadar isu administratif, angka-angkanya memprihatinkan. Prof Yudhi Maulana Hidayat, Ketua Kolegium Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) dalam kesempatan yang sama mengungkap bahwa 80,7 persen dokter spesialis terkonsentrasi di kota-kota besar.

“Untuk bidang obgyn, datanya jelas. Jakarta, Bogor, Bekasi penuh. Kenapa? Mereka takut kehilangan emas monas, takut kalah sama Bandung,” kata Prof Yudhi.

Yang ia maksud dengan ’emas monas’ adalah peluang ekonomi, fasilitas lengkap, dan kenyamanan bekerja yang membuat dokter enggan keluar dari pusat kota.

Ambon bahkan tidak punya satu pun dokter obgyn. “Satu pun nggak ada,” tegasnya.

Lalu siapa yang bertanggung jawab atas distribusi ini?

“Jadi itu tugasnya bos dari pak Dekan, Menteri Kesehatan. Artinya kita sepakat distribusi dokter spesialis ini buruk. Daerah terpencil, terluar, masih kosong,” kata Prof Yudhi.

Ia menegaskan sektor pendidikan kedokteran dan sektor layanan kesehatan tidak bisa saling lempar tanggung jawab. Ketika hubungan fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan terganggu, efeknya nyata, kuota peserta didik tersendat, lulusan berkurang, dan daerah-daerah yang sudah kekurangan makin terpuruk.

Menurut Prof Yudhi, solusi tidak bisa hanya bersandar pada skema yang ada. Salah satu yang ia dorong adalah peningkatan kuota jalur university-based hingga 30 persen.

“Jangan dipaksakan hospital-based di rumah sakit yang belum siap. Di rumah sakit yang sudah menjalankan pendidikan university-based, kalau dipaksakan juga hospital-based, nanti terjadi tumpang tindih. Ada dualisme pendidikan dalam satu RS pendidikan,” ujarnya.

Dualisme ini bukan sekadar persoalan administratif. Prof Yudhi meyakini hal ini bisa menabrak standar kompetensi, memecah alur pelatihan, membingungkan peserta didik, dan akhirnya menurunkan kualitas lulusan. Padahal, Indonesia sedang sangat membutuhkan dokter spesialis baru, bukan justru kehilangan kemampuan untuk mencetaknya.