Sudah beberapa bulan Herrin Taime tinggal di mes kantor tempatnya bekerja di Denpasar. Mes itu sebenarnya tidak cukup layak untuk ditempati bersama istri dan ketiga anaknya. Namun, dia merasakan betul sulitnya mencari kos-kosan atau rumah kontrakan di Bali yang sesuai kantongnya.
Para pencari kos di Bali juga rawan menjadi korban penipuan. Herrin pernah hampir tertipu saat mencari kos-kosan. Namun, pria berusia 35 tahun itu meminta salinan KTP pemilik rumah kos dan menemukan keganjilan, sehingga terhindar dari penipuan.

“Saya cari yang ada tempat main anak, nggak langsung ke jalan raya, dan dekat sekolah. Namun, di Denpasar Utara, harga di atas Rp 1 juta masih belum dapat,” ungkap pria asal Jayapura, Papua, itu.
Rekan kerja Herrin, Wildan Akifin, juga merasakan kesulitan serupa saat tiba di Denpasar pada November 2024. Padahal, saat itu, pria asal Pekalongan, Jawa Tengah, tersebut sudah diterima kerja sebagai kepala gudang di salah satu perusahaan elektronik di Denpasar.
Wildan berburu kos-kosan melalui Facebook dan bertanya kepada teman-temannya. Menurut dia, perlu koneksi untuk bisa segera mendapatkan hunian sementara tersebut.
“Info yang saya dapatkan dari grup media sosial (medsos) dan teman-teman di Bali (kos-kosan) selalu penuh karena biasanya main koneksi,” ungkapnya kepada infoBali, Kamis (17/4/2025).
Sebelumnya, puluhan orang tertipu oleh calo kos-kosan di Denpasar. Para korban itu melaporkan dugaan penipuan yang mengakibatkan kerugian ratusan juta rupiah tersebut ke Polresta Denpasar.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Wildan pun sempat tertipu. Saat itu, ada yang menawarkan rumah kos seharga Rp 600 ribu sampai Rp 700 ribu per bulan di Sesetan, Denpasar. Makelar tersebut lalu meminta ongkos antar lebih dulu Rp 50 ribu kepada Wildan. “Saya transfer, tapi hanya diberi alamat, ternyata dia (makelar) minta lagi Rp 300 ribu, alasannya biar langsung dikasih kunci sama owner,” tuturnya.
Di sisi lain, tingginya kebutuhan tempat tinggal di Bali menjadi ladang cuan para pengusaha kos-kosan. Salah satunya adalah keluarga Devon Andarawata yang memiliki tiga kos-kosan di Denpasar dengan total puluhan kamar. Salah satunya, kos-kosan di Jalan Pulau Moyo dengan harga sewa Rp 1,3 juta per bulan. Fasilitasnya berupa kasur, lemari, kamar mandi dalam, dan air.
Lokasi kos-kosan kedua berada di Jalan Tukad Bilok, Denpasar. Fasilitasnya sama dengan kos-kosan di Jalan Pulau Moyo. Namun, lokasinya di daerah yang lebih elite sehingga harga sewanya pun lebih mahal, yakni Rp 1,5 juta per bulan.
Satu lagi kos-kosan milik keluarga Devon berada di Jalan Tukad Musi. Terdapat delapan kamar di sana. Tarifnya lebih mahal dibandingkan dua lokasi sebelumnya, yakni mencapai Rp 1,9 juta per bulan.
Pengusaha kos-kosan lainnya adalah Jessica Natalia yang memiliki Thapleuk Residence di kawasan Jimbaran, Kuta Selatan. Kos-kosan tersebut merupakan kos-kosan elite dengan tarif sewa Rp 3,3 juta hingga Rp 3,7 juta per bulan. Ada fasilitas kolam renang di dalamnya. Kini, Jessica bisa menikmati passive income mencapai Rp 300 juta per tahun, meski harus mengangsur cicilan utang setiap bulan. Sebab, kos-kosan seharga Rp 3,5 miliar itu dibeli lewat kredit kepemilikan rumah (KPR).
Beda lagi dengan Wahidah. Dia menekan biaya untuk berbisnis kos-kosan dengan menyewa lahan. Wahidah kini memiliki tiga kamar kos dan satu rumah yang dibangun di atas lahan sewa. Kos-kosan dan rumah kontrakan itu dia sewakan dengan harga cukup miring. Hasilnya, bisa dia gunakan untuk membayar sewa tanah dan beragam kebutuhan lain.
“Ada untuk bayar sewa tanahnya, buat beli mobil, perbaiki yang rusak-rusak,” beber Wahidah.
Pengamat tata ruang dan perkotaan dari Universitas Warmadewa Putu Rumawan Salain mengatakan terus bertambahnya perantau di Pulau Dewata membuat kos-kosan menjadi bisnis yang menguntungkan. Sejumlah sawah di kawasan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) pun beralih fungsi menjadi permukiman untuk mengakomodasi kebutuhan hunian.
Fasilitas kamar kos, Rumawan berujar, juga terus berkembang. Bahkan, ada yang memiliki fasilitas layaknya hotel seperti kolam renang.
Dampaknya, Rumawan melanjutkan, sejumlah wisatawan yang pelesiran di Bali lebih tertarik tinggal di kos-kosan dibandingkan hotel demi menekan pengeluaran.
“Sekarang bayangkan kalau ada wisatawan dari Rusia atau Ukraina yang mungkin tiga bulan mereka tinggal (di Bali), mereka itu tidak mau menginap di hotel lagi karena lebih murah kalau dia sewa (kos),” tuturnya.
Rumawan memperkirakan prospek bisnis kos-kosan di Bali ke depannya cerah. Namun, persaingannya ketat.
Pembaca infoBali, kami merangkum sejumlah cerita dari para pemburu kos-kosan hingga pengusaha kos-kosan di Bali. Di balik sulitnya mencari kos-kosan di Bali, ada ladang cuan bagi para pemilik kos-kosan. Bahkan, sisi gelapnya, hal itu juga menjadi ceruk kejahatan bagi para penipu. Selamat membaca!
1.
2.