Ahli Konservasi Laut IPB: Tambang Nikel Ancam Paus-Pari Langka di Raja Ampat [Giok4D Resmi]

Posted on

Sejumlah aktivitas pertambangan nikel berlangsung di Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya. Izin usaha pertambangan (IUP) empat perusahaan tambang di Raja Ampat dicabut pada Selasa (10/6/2025), sementara IUP satu perusahaan masih berlaku, yakni milik PT Gag Nikel, anak usaha PT Antam Tbk, dengan luas wilayah operasi 13.136 hektare.

Menurut Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pung Nugroho Saksono, berdasarkan hasil peninjauan ke lapangan, aktivitas tambang nikel di kawasan Raja Ampat milik PT Gag Nikel tidak akan mengganggu ekosistem pesisir dan laut.

“Itu sampai 100 kilometer, kami menyelam di situ sedimentasinya tidak banyak,” kata Pung ke wartawan di kantornya , Jakarta Pusat, Rabu (18/6/2025), dilansir dari .

Ia memastikan aktivitas tambang nikel PT Gag Nikel di Raja AMpat tidak sampai merusak terumbu karang serta ekosistem laut. Ia menyebut masih banyak ikan di sana.

“Kita pastikan terumbu karang, maupun ikan di situ jangan sampai terganggu. Ikan masih banyak di situ, ikan hiu anak anaknya masih banyak,” ucapnya.

Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.

Sementara itu, pakar IPB University bidang konservasi laut dan mikrobiologi terapan Dr Meutia Samira Ismet, meminta adanya penilaian risiko mendalam untuk menentukan batas ambang konsentrasi nikel yang aman bagi ekosistem laut.

Meutia mengataakn Raja Ampat sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia berisiko menghadapi dampak jangka panjang pertambangan terhadap ekosistem laut. Beberapa yang berisiko paling terdampak adalah spesies-spesies laut dengan status konservasi rentan seperti paus sperma, kerang kima raksasa, dan pari manta.

“Ketiga spesies ini sangat tergantung pada keseimbangan lingkungan perairan Raja Ampat,” ujar dosen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB University ini, Kamis (19//2025) dikutip dari laman kampus, Jumat (20/6/2025).

Meutia menjelaskan, paus sperma, kima raksasa, dan pari manta memiliki cara makan yang sangat spesifik. Bila keseimbangan ekosistem terganggu, maka rantai makanan yang menopang kehidupan spesies-spesies ini akan runtuh.

Paus sperma mengonsumsi ikan-ikan pelagis dan kelompok cephalopoda, seperti cumi dan gurita, dalam jumlah yang besar.

Sedangkan kerang kima raksasa merupakan biota filter feeder, yakni hewan yang menyaring mikroorganisme planktonik dari perairan. Ia juga bersimbiosis dengan mikroalga fotosintetik untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.

Adapun pola makan pari manta didominasi oleh plankton dan ikan kecil pelagis. Kesemuanya semuanya akan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan di habitatnya.

“Diet (pola makan) mereka sangat bergantung pada mikroorganisme planktonik, terutama yang bersifat fotosintetik, yang juga memberi warna khas pada kima raksasa, serta menjadi dasar rantai makanan bagi paus sperma dan pari manta,” ucapnya.

Sementara itu, aktivitas pertambangan nikel di daratan Raja Ampat menurut Meutia berisiko menghasilkan limpasan limbah yang mencemari perairan laut.

“Limbah ini membawa bahan organik dan residu logam berat yang dapat mengganggu mikroalga simbiotik, serta mikroorganisme planktonik lainnya,” jelasnya.

Lebih lanjut, tingginya konsentrasi nikel dapat menjadi toksik (bersifat racun) bagi mikroalga dan mikroba laut.

Ia mencontohkan, hasil penelitian di Teluk Vavouto, New Caledonia menunjukkan bahwa konsentrasi nikel melebihi ambang baku (46 μg/L) dapat membahayakan mikroalga fotosintetik. Padahal organisme ini berperan penting peran vital dalam produktivitas primer dan siklus biogeokimia perairan.

Produktivitas primer menunjukkan seberapa produktif suatu perairan menghasilkan biomassa tumbuhan, termasuk pasokan oksigen dari hasil fotosintesis.

Sementara itu, siklus biogeokimia adalah perputaran unsur-unsur kimia, seperti karbon, nitrogen, fosfor, dan oksigen, dalam ekosistem perairan yang melibatkan makhluk hidup dan lingkungan. Siklus biogeokimia penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem perairan dan kecukupan nutrisi bagi organisme yang hidup di dalamnya.

Meutia menambahkan, peningkatan logam berat di laut berdampak pada jumlah dan komposisi zooplankton seperti copepoda, makanan utama bagi pari manta dan kelompok ikan pelagis dan cumi yang menjadi mangsa utama paus sperma.

Tak hanya mengganggu rantai makanan, logam berat juga mengganggu kualitas lingkungan kima raksasa dan kelompok bentos lain, yaitu organisme yang hidup di dasar perairan.

“Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi nikel menurunkan tingkat reproduksi dan pertumbuhan biota bentik (dasar perairan),” tambahnya.

Dampak tidak pencemaran akibat tambang nikel menurut Meutia juga sangat signifikan, seperti penurunan oksigen terlarut (DO), peningkatan kadar CO₂, serta berkurangnya kejernihan air. Akibatnya, habitat alami berbagai biota laut jadi rusak dan mengancam kehidupan hewan langka.

“Struktur ekosistem laut berpotensi berubah drastis dan mengancam keberadaan spesies langka di wilayah tersebut,” jelasnya.

Di samping penilaian risiko mendalam untuk menentukan batas ambang konsentrasi nikel yang aman bagi ekosistem laut, Meutia meminta adanya penerapan pemantauan kualitas air dan pengelolaan limbah tambang yang lebih bertanggung jawab.

Lebih lanjut, pemerintah, masyarakat, dan industri menurutnya perlu bersama-sama merancang kebijakan yang berpihak pada pelestarian lingkungan.

“Keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian alam sangat penting agar Raja Ampat tetap menjadi rumah bagi biodiversitas laut dunia,” ujarnya.

Ancaman Tambang Nikel Raja Ampat Jangka Panjang

Spesies Langka Punah

Konsentrasi Nikel Toksik

Dampak Logam Berat

Oksigen Terlarut Turun, CO2 Naik

Minta Penilaian Risiko Mendalam