Beberapa waktu terakhir, publik menyaksikan bagaimana Presiden mengambil keputusan untuk mengoreksi sejumlah kebijakan yang sempat memicu polemik. Mulai dari penolakan terhadap wacana kenaikan PPN, sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara, hingga penghentian pemberian izin tambang nikel di Raja Ampat yang dinilai mengancam ekosistem Papua.
Langkah-langkah korektif ini lantas memunculkan berbagai respons. Sebagian menilai Presiden terlalu sering “turun tangan”, bahkan muncul framing yang menyebut beliau sebagai “pahlawan kesiangan”. Namun, narasi semacam ini perlu dilihat dengan jernih dan hati-hati.
Sebagai pengamat kebijakan publik, saya justru menilai apa yang dilakukan Presiden merupakan bentuk kepemimpinan yang adaptif dan taktis, bukan pencitraan atau kekacauan koordinasi. Di tengah kompleksitas persoalan negara yang telah lama mengakar, keberanian seorang kepala negara untuk mendengar aspirasi rakyat dan bertindak cepat justru patut diapresiasi.
Kita harus mengingat: esensi dari kebijakan publik adalah mendengarkan. Ketika rakyat bersuara, pemerintah yang hadir dan merespons dengan konkret bukanlah tanda kelemahan, tapi cermin dari negara demokratis yang bekerja.
Namun, mari kita juga buka mata terhadap satu hal penting: framing “pahlawan kesiangan” dan narasi-narasi negatif lain belakangan ini tidak muncul begitu saja. Fakta menunjukkan bahwa kini ada aktor-aktor yang terungkap mendalangi disinformasi demi menggiring opini publik.
Kasus terbaru yang mencuat adalah pengakuan dari advokat Wilmar Group, Marcella Santoso, yang secara terbuka menyebut dirinya terlibat dalam penyusunan dan penyebaran isu negatif terhadap Kejaksaan Agung. Bahkan framing yang dibuat menyasar lebih luas-termasuk menyudutkan pemerintah Presiden Prabowo lewat isu revisi RUU TNI dan gerakan “Indonesia Gelap”.
Ini bukan sekadar kritik. Ini adalah bagian dari orkestrasi narasi jahat yang dibiayai oleh pihak-pihak yang merasa kepentingannya terganggu, termasuk para koruptor.
Kita harus mulai bisa membedakan: mana kritik sehat yang lahir dari kepedulian publik, dan mana yang merupakan kampanye disinformasi sistematis. Pemerintah pun perlu memperkuat ketahanan komunikasi publik-bukan untuk membungkam kritik, tetapi untuk memastikan masyarakat tidak tersesat dalam narasi palsu yang diproduksi demi menyelamatkan kepentingan sempit.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Di sinilah pentingnya membangun koordinasi yang lebih baik antar kementerian dan lembaga. Kebijakan strategis seharusnya melalui proses uji publik yang matang, dengan komunikasi yang transparan, agar publik tidak bingung, dan Presiden tidak harus terus-menerus turun tangan sebagai korektor akhir.
Namun, ketika koreksi itu dilakukan, jangan buru-buru mencibir. Bisa jadi, yang kita lihat bukan “pahlawan kesiangan”, tetapi pemimpin yang hadir dengan presisi saat negara benar-benar memerlukan keputusan yang cepat dan berdampak.
Dalam era kebisingan narasi seperti hari ini-di mana kebenaran dan kepentingan sering tumpang tindih-kemampuan untuk bersikap adaptif, taktis, dan tetap berpihak kepada rakyat adalah bentuk kepemimpinan yang relevan dan dibutuhkan.
Oleh karena itu kepemimpinan Presiden Prabowo telah mencerminkan kebijakan publik yang sangat tegas, transparan dan demokratis dalam menyikapi setiap aspirasi rakyatnya. Berbagai langkah kebijakan yang dilakukan Presiden esensinya adalah bagaimana mengakomodasikan berbagai kepentingan politik para pembantunya yang sering berbenturan dengan kehendak publik, dengan mengambil keputusan solutif tanpa mencederai suasana kebatinan publik.
Dr. Drs. Trubus Rahadiansah, M.S., S.H., M.H.
Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti