Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat terjadi pemborosan belanja pupuk bersubsidi oleh pemerintah senilai Rp 2,92 triliun pada periode 2020-2022. Kebijakan produksi pupuk subsidi saat itu dinilai memakan biaya tinggi dan inefisiensi kapasitas produksi pabrik.
Menanggapi itu, PT Pupuk Indonesia menghargai temuan dari BPK dan berkomitmen untuk menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan.

“Temuan ini juga menunjukkan bahwa revitalisasi pabrik lama dan pembangunan pabrik baru yang efisien menjadi langkah penting,” kata VP Komunikasi Korporat Pupuk Indonesia, Cindy Sistyarani kepada infocom, Sabtu (31/5/2025).
Kemudian temuan BPK terkait inefisiensi dinilai membuka sudut pandang bahwa inefisiensi tersebut disebabkan oleh usia pabrik-pabrik yang sudah tua. Namun, perusahaan membutuhkan skema baru untuk membenahi kondisi tersebut.
“Namun, saat ini ruang bagi Pupuk Indonesia untuk berinvestasi di sektor ini masih sangat terbatas, sehingga dibutuhkan kebijakan, skema-skema baru, yang dapat mendorong efisiensi dan mendukung keberlanjutan industri pupuk nasional,” terangnya.
Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Nasim Khan melihat inefisiensi produksi yang menyebabkan pemborosan itu karena umur pabrik PT Pupuk Indonesia (Persero) yang sudah berumur tua. Dalam catatanya, pabrik pupuk berusia lebih dari 40 tahun.
“Terkait temuan BPK RI tersebut, Di PIHC terdapat 5 anak perusahaan sebagai produsen pupuk (Petrokimia Gresik, Pupuk Kalimantan Timur, Pupuk Kujang, Pupuk Iskandar Muda dan Pupuk Sriwidjaja) yang masing-masing memiliki pabrik amoniak, urea dan NPK dengan usia pabrik yang bervariasi dan rata-rata di atas 40 tahun dengan konsumsi energi (kebutuhan gas) bervariasi,” kata Nasim.
Nasim mengatakan pabrik tua tersebut menimbulkan produksi yang tidak efisien sehingga meningkatkan biaya produksi pupuk subsidi. Dengan demikian, biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk membeli pupuk subsidi yang diproduksi dari pabrik tadi pun menjadi lebih tinggi.
“Temuan pemborosan dan efisiensi yang dimaksud BPK karena memang ada pabrik yang boros sehingga HPP-nya tinggi dan membebani subsidi atau apapun wajib PI menindaklanjuti rekomendasi BPK,” kata dia.
Ia menyebut pemerintah perlu mendukung perbaikan pada pabrik-pabrik yang sudah tua tersebut. Pada saat yang sama, kepastian harga gas untuk produksi pupuk juga perlu dijamin pemerintah. Hal tersebut menjadi upaya untuk mendukung industri pupuk nasional semakin maju dengan penerapan teknologi dan produksinya lebih efisien.
Pupuk Indonesia diketahui tengah membangun pabrik di Palembang dan Papua. Seiring dengan itu ada upaya pembaruan atau revamping pabrik PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) di Bontang, Kalimantan Timur.
“Memang pabrik-pabrik pupuk kita sebagian besar sudah tua dan tidak efisien konsumsi bahan baku gas-nya. Oleh karena itu, perlu didukung pembangunan pabrik-pabrik baru agar semakin efisien sehingga HPP atau biaya produksinya semakin hemat sehingga tidak terjadi pemborosan,” jelas Nasim.
Ia menyatakan akan mempelajari lebih lanjut laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2024 BPK tersebut. Dia juga menyarankan PT Pupuk Indonesia untuk bisa menjalankan rekomendasi yang diberikan.
Sebagai informasi, dalam IHPS II 2024, BPK menemukan terdapat pemborosan belanja subsidi pupuk pemerintah selama tahun 2020-2022 sebesar Rp 2,92 triliun, di antaranya sebesar Rp 2,83 triliun karena pengalokasian pupuk urea bersubsidi oleh PT PI belum sepenuhnya mempertimbangkan kapasitas produksi operasional masing-masing anak perusahaan produsen pupuk.
BPK menilai kebijakan alokasi produksi pupuk bersubsidi masih dititikberatkan pada produsen dengan biaya produksi paling tinggi, sedangkan produsen dengan biaya produksi paling rendah lebih diprioritaskan untuk produksi pupuk nonsubsidi.
Selain itu, hasil perbandingan antara alokasi pada kontrak dengan rata-rata tertimbang kapasitas operasional menunjukkan bahwa pembagian alokasi produksi pupuk bersubsidi belum sepenuhnya mempertimbangkan kapasitas produksi masing-masing produsen pupuk.
BPK merekomendasikan kepada Dewan Komisaris PT Pupuk Indonesia agar memberikan peringatan dan arahan kepada Direktur Utama dan Direktur Pemasaran PT PI yang tidak cermat melanggar tata kelola yang sehat dan kurang mempertimbangkan efisiensi dalam penetapan alokasi pupuk bersubsidi kepada anak perusahaan.