Program Jaksa Masuk Sekolah (JMS) menjadi upaya Kejaksaan Negeri Jayawijaya untuk menumbuhkan kesadaran hukum di kalangan pelajar. Melalui tema anti-bullying, kegiatan ini menekankan pentingnya memahami dampak hukum dari perundungan di sekolah.
Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Jayawijaya, Boston Robert Marganda Siahaan, menyampaikan bahwa tema bullying dipilih dalam program JMS karena kasus perundungan di kalangan pelajar kini menjadi perhatian serius, sebab selain melukai psikologis korban, juga berpotensi memicu konflik antar siswa maupun antar kelompok masyarakat.
“Kenapa kita mengambil tema bullying itu? Karena mengingat belakang ini, akibat bullying itu anak di antara anak sekolah itu terutama di kabupaten yang lima kemarin itu, akibat terjadinya bullying itu, akibatnya itu fatal,” ujar Boston kepada infocom beberapa waktu lalu.
Ia menceritakan beberapa kasus bullying di wilayah sekitar bahkan berujung pada tindakan kekerasan yang memicu kericuhan di masyarakat. Kondisi tersebut menjadi alasan kuat bagi pihak kejaksaan untuk menekankan pentingnya kesadaran dan tanggung jawab sosial di antara siswa.
“Fatalnya bagaimana itu sampai ada pembakaran di satu kota itu, akibat bullying. Jadi makanya saya ambil tema bullying itu, supaya memberi kesadaran kepada adik-adik siswa ini semua, supaya jangan melakukan bullying, dapat berakibatkan fatal itu,” jelasnya.
Meski pelaksanaan program berjalan baik, Boston tidak menampik adanya beberapa kendala teknis. Ia menyebutkan bahwa keterbatasan fasilitas dan situasi keamanan yang belum stabil kerap menjadi tantangan dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan.
“Nah kalau hambatan yang sangat berarti ya tidak ada ya, kalau hambatan-hambatan itu, hambatan kecil ya, itu kita anggap kerikil-kerikil kecil itu, seperti hanya fasilitas kita yang memang kurang, hambatan itu ya masalah keamanan memang yang, seperti saya bilang tadi, keamanan yang tidak menentu,” katanya.
“Nah bagaimana caranya kita mengatasi soal keamanan yang tidak menentu ini? Nah kita biasanya itu memilih sekolah-sekolah itu, yang masih dapat kita jangkau,” sambungnya.
Sementara itu, Kepala Sekolah SMPN 3 Wamena, Ansgar Blasius Biru, menilai kegiatan ini sangat relevan dengan kondisi para siswanya. Ia mengakui bahwa sebagian besar siswa belum memahami bahwa perkataan kasar atau ejekan sebenarnya sudah termasuk dalam tindakan bullying.
“Nah kalau kaitan dengan bullying, mereka sendiri masih sangat-sangat kurang, karena apa? Mereka hidup bersama dengan mereka sendiri, tapi anggap seperti kata-kata biasa ya, misalnya kata-kata kasar, kata anjing, kata babi, buat mereka itu kan seperti kata-kata candaan, tapi makna dari itu sebenarnya sudah masuk ke ranah bullying,” ungkapnya.
Adapun salah satu siswa dari SMPN 3 Wamena, Desiana Hubi, mengatakan bahwa dirinya kini lebih sadar akan pentingnya saling menghargai tanpa membeda-bedakan latar belakang.
“Tentang hubungan sekolah misalnya, seperti teman-teman yang beda kampung, itu kadang kita juga ada yang, ada anak asli di Papua, ada juga yang sering meremehkan, atau merasa lain gitu. Macam mereka kan jadi lain dari antara kita, kita anak asli di Papua. Jadinya kita juga sering juga ada membuli mereka, ya kita saja tahu bagaimana untuk kita ke depannya, untuk tidak membully sesama teman, atau sesama kelas kita, biar beda-beda agar kita sama-sama gitu,” tutur Desiana.
Melalui program ini, Kejaksaan Negeri Jayawijaya berupaya menjadikan pelajar Wamena sebagai generasi yang sadar hukum dan menolak segala bentuk perundungan. Diharapkan, kegiatan seperti ini dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, damai, dan saling menghargai di tanah Papua.
Simak Video ‘Dedikasi Penjaga Harmoni di Tanah Pegunungan Jayawijaya’: