Kisah Abah Piung, Tentara Ajudan Danyon di Masa Agresi Militer Belanda II

Posted on

Jika bercerita tentang pahlawan tanpa tanda jasa, semua orang pasti akan berbicara soal sosok guru. Namun tidak demikian bagi cerita yang satu ini.

Namanya adalah Abah Piung (120), warga Desa Medalsari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang. Dia ajudan Komandan Batalyon yang tidak tercatat sebagai pahlawan saat jadi tentara pejuang kemerdekaan pada masa agresi militer Belanda II tahun 1948.

Sosok Abah Piung awalnya memang tidak dikenal. infoJabar mengungkap sosok abah Piung usai menggali cerita situs sejarah Monumen Gempol Ngadeupa, di kaki Gunung Goong, Desa Cipurwasari, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Karawang.

Abah Piung sendiri menjadi satu-satunya saksi hidup sekaligus pelaku sejarah dalam peristiwa Gempol Ngadeupa. Saat itu, pasukan udara Belanda melakukan penyerangan brutal terhadap tentara pejuang kemerdekaan Batalyon Engkong Darsono yang tengah beristirahat di lokasi tersebut.

“Awalnya saya, cuma tukang antar bekal, seperti beras, makanan, dari kampung ke pasukan pejuang yang ada di hutan-hutan. Dari Madiun, Yogyakarta, termasuk saat di Gempol Ngadeupa, saya tukang antar perbekalan bukan bagian dari tentara,” kata Piung, saat berkisah kepada infoJabar.

Namun, kisahnya jadi tentara pejuang kemerdekaan justru dimulai di Gempol Ngadeupa. Saat itu, Piung diminta istri Engkong Darsono agar tetap berada di Gempol Ngadeupa, dan tidak kembali ke kampung.

“Jadi biasanya kan saya diam di kampung datang ke hutan khusus untuk mengantar bekal. Nah pada saat di Gempol Ngadeupa, setelah beberapa hari antar bekal, saya diminta istrinya Pak Darsono supaya tidak kembali ke kampung. Saya diberi senjata dan seragam,” kata dia.

Piung yang tertarik pada dunia militer pun senang mendengar tawaran itu. Pasalnya dari dulu tujuannya mengabdi kepada Engkong Darsono, berharap bisa jadi bagian dari pasukannya.

“Saya dikasih seragam sama bedil (senapan) ya senang, karena memang dari dulu mau jadi tentara. Saya langsung pake dan bertugas khusus jadi ajudan Pak Darsono sebagai komandan Batalyon,” imbuhnya.

Dari hanya mengantar perbekalan, hari-hari Piung pun berubah jadi aktivitas berat, mulai dari belajar menembak, memikul beban berat, serta belajar strategi perang dengan mentor langsung Engkong Darsono selaku Komandan Batalyon.

“Saya belajar nembak, latihan militer berat di Gempol Ngadeupa, langsung oleh Pak Darsono, senjata yang dipegang oleh saya senjata peluru tunggal buatan Jepang,” ungkapnya.

Seminggu setelah Piung berlatih jadi tentara, terjadi peristiwa mencekam pada Kamis, 11 November 1948. Saat itu, terjadi penyerangan brutal oleh pasukan udara Belanda kepada pasukan Batalyon Engkong Darsono di Gempol Ngadeupa.

“Sampai akhirnya datang serangan pesawat itu, posisi saya tentara baru yang masih belajar, saat itu peristiwa berakhir tanpa perlawanan kepada Belanda,” ujar dia.

Sebab saat itu, kata Piung, serangan Belanda terjadi secara mendadak, dan pasukan dalam keadaan tidak siap. Bahkan Batalyon Engkong Darsono tidak pernah mengira serangan itu terjadi.

Karena, kata Piung, sejatinya lokasi itu merupakan lokasi rahasia yang menjadi rute para tentara pejuang kemerdekaan yang melakukan perjalanan dari arah timur pulau Jawa menuju Jakarta.

“Gempol Ngadeupa itu jadi jalur tentara dari timur ke Jakarta, dan itu rahasia, kami saat itu kaget dan tidak siap, karena lokasi itu bisa sampai diketahui Belanda,” ucapnya.

Dalam peristiwa tragis itu pun, Batalyon Engkong Darsono yang semula berjumlah 48 tersisa 18 orang. Piung, Engkong Darsono, dan istrinya berhasil selamat.

“Iya setelah serangan udara itu, sisa 18 orang, kita lanjutkan perjalanan ke Serena kemudian ke Dukut (saat ini wilayah Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Bogor),” ungkap Piung.

Karir militer Piung terbilang cukup singkat, sebab setelah peristiwa Gempol Ngadeupa, Batalyon Engkong Darsono kemudian bertahan dua bulan di wilayah Bogor, kemudian bergeser ke Jakarta untuk dikirim ke Irian Barat. Namun tidak bagi Piung sendiri.

“Dari Dukut kita jalan malam ke Jakarta, sampai di Jakarta kumpul di Lapangan Banteng itu pagi hari semua pasukan bersiap nunggu giliran untuk berangkat ke Irian Barat. Tapi beberapa hari kemudian abah (ayah Piung) datang untuk menebus saya agar bisa pulang,” kata Piung.

Dengan tebusan itu, Piung dibebastugaskan dan bisa kembali pulang. Dia tidak jadi dikirim ke Irian Barat untuk melawan pasukan Belanda yang masih menguasai Papua saat itu.

“Abah dulu orang kaya jadi nebus saya sekitar beberapa karung padi, supaya saya pulang dan tidak dibawa ke Irian Barat,” imbuhnya.

Di situlah pertemuan terakhir Piung dan Engkong Darsono. Sebagai tanda terimakasih dari sang Danyon, Piung juga diberi tanda jasa berupa secarik kertas (piagam penghargaan), serta satu set seragam yang bisa ia gunakan kembali jika sewaktu-waktu ingin kembali jadi tentara.

“Saya diberi tanda jasa sama pak Darsono, berupa piagam dengan seragam, katanya seragam itu boleh dipake nanti kalau ingin kembali jadi tentara,” ungkapnya.

Beberapa hari berlalu setelah kepulangan ia ke kampung halaman, di Desa Medalsari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang, pasukan Belanda datang kembali, dan meluluh lantahkan kampungnya.

“Ini juga yang jadi alasan kenapa saya tidak jadi veteran, setelah saya pulang ke kampung, ternyata Belanda kembali datang kemudian nyisir tentara, bahkan satu kampung ini dibakar termasuk rumah saya. Sepulang dari ladang saya melihat rumah tinggal debu. Tanda jasa dan seragam tentara terbakar, sehingga saya tidak punya bukti untuk diakui sebagai veteran,” ucap Piung.

Piung juga tidak menuntut lebih atas perjuangannya itu, ketika infoJabar bertanya soal harapannya jadi veteran, Piung menanggapinya dengan santai.

“Berjuangnya kan sudah dulu, jadi ngapain sekarang harus nanyain itu (pengakuan veteran). Saya sudah bangga bisa bergabung bersama dengan pasukan pak Darsono, itu saja sudah cukup,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *