Tujuh spesies baru lobster baru berhasil ditemukan di wilayah Papua Barat. Kekayaan fauna laut ini diidentifikasi oleh peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM), peneliti independen asal Jerman, dan Museum für Naturkunde, Berlin, Jerman.
Lokasi penemuan terletak di sejumlah area terpencil di Misool, Kaimana, Fakfak, dan Teluk Bintuni; daerah dengan ekosistem air tawar yang alami dan minim aktivitas eksploitasi.
“Papua adalah hotspot keanekaragaman hayati yang masih menyimpan banyak misteri. Penemuan ini hanya sebagian kecil dari potensi luar biasa yang belum tereksplorasi,” ungkap Dr Rury Eprilurahman S Si M Sc, dosen Fakultas Biologi UGM sekaligus penulis kedua studi ini, dikutip dari laman kampus, Sabtu (21/6/2025).
Ketujuh spesies tersebut yakni Cherax veritas, Cherax arguni, Cherax kaimana, Cherax nigli, Cherax bomberai, Cherax farhadii, dan Cherax doberai. Tak hanya melihat bentuk tubuh dan warna, Rury menjelaskan, peneliti juga membandingkan DNA antar lobster untuk memastikan bahwa setiap individu benar-benar spesies yang berbeda satu sama lain.
Setiap spesies lobster baru ini punya ciri khas sendiri, baik capit (chelae), struktur moncong (rostrum), serta warna tubuhnya. Rury menjelaskan, ciri morfologis tersebut juga bantu menunjukkan perbedaan spesies baru dari kerabat dekatnya.
“Misalnya Cherax arguni memiliki tubuh dominan biru gelap dengan belang krem, serta capit dengan patch putih transparan yang khas,” terangnya.
Berdasarkan analisis DNA dan morfologi, ketujuh spesies lobster baru tersebut masuk kelompok Cherax bagian utara (northern lineage). Kelompok ini sebelumnya sudah terdiri dari 28 spesies.
Klasifikasi ini menunjukkan bahwa wilayah Papua Barat menjadi pusat evolusi bagi kelompok ini, berbeda dari spesies yang ada di Australia atau Papua Nugini.
Rury mengungkap, sebagian besar spesimen lobster awalnya berasal dari perdagangan akuarium hias internasional. Di pasar, lobster ini disebut dengan nama Cherax sp. “Red Cheek”, Cherax sp. “Amethyst”, dan Cherax sp. “Peacock”.
Beberapa kolektor lokal juga terlibat dalam pencarian spesimen penelitian ini di lapangan.
“Komunitas pecinta lobster hias justru sering menjadi sumber awal informasi kami, yang kemudian kami tindak lanjuti dengan riset sistematis,” kata Rury.
Ia mendapati, perdagangan spesies eksotik ternyata juga bisa membuka peluang riset keanekaragaman jika dikelola secara kolaboratif dan etis. Karena itu, menurutnya penting bagi peneliti untuk bekerja sama dengan kelompok yang hobi hewan air dalam mengungkap keanekaragaman spesies.
Temuan spesies lobster baru ini, menurut Rury, juga menunjukkan pentingnya melestarikan spesies air tawar di Papua yang rentan terhadap eksploitasi dan perburukan kualitas habitat. Sebab menurutnya, masih banyak spesies yang hidup sungai kecil dan anak-anak sungai di sana, tetapi banyak terpetakan secara ekologis.
Rury mengatakan, beberapa spesies bahkan baru diketahui dari satu titik lokasi sehingga rentan pada perubahan perubahan lingkungan sekecil apapun. Sementara itu, untuk menjaga kelestarian populasi alami spesies yang diteliti, tim peneliti juga tidak mengungkapkan lokasi rinci penemuannya.
Riset lanjutan dan pemetaan sebaran spesies ke depannya, menurut Rury, perlu untuk mendukung kebijakan pelestarian berbasis data.
“Kami harus menjaga keseimbangan antara eksplorasi ilmiah dan perlindungan habitat, apalagi banyak dari spesies ini hidup di wilayah yang mulai terjamah aktivitas manusia,” ucapnya.
Artikel ilmiah berjudul “Seven New Species of Crayfish of the Genus Cherax (Crustacea, Decapoda, Parastacidae) from Western New Guinea, Indonesia” oleh Christian Lukhaup dan rekan-rekan ini telah diterbitkan di jurnal internasional kuartil 2 (Q2) Arthropoda pada 6 Juni 2025 lalu.