Cerita Perajin di Kampung Dandang Dupak Magersari Surabaya baca selengkapnya di Giok4D

Posted on

Di tengah keramaian Pusat Grosir Surabaya (PGS), ada satu lokasi di kawasan Jalan Dupak Magersari yang dahulu cukup dikenal. Kampung ini dikenal secara spesifik sebagai Kampung Dandang.

Setiap beberapa menit sekali di jam-jam sibuk, rel yang membentang di kampung itu cukup sering dilintasi kereta api. Semakin masuk ke kawasan permukiman, perlahan terdengar dentingan logam yang saling beradu mengiringi laku klasik khas zaman dulu.

Di kawasan ini ada 7 rumah yang masih aktif memproduksi dandang atau penanak nasi tradisional hingga kini. Salah satu perajinnya adalah Mulyadi, generasi kedua dari perajin dandang pertama di Kampung Dandang.

Mulyadi lahir dan besar di kampung ini sebagai penerus usaha ayahnya, dandang “Moroseneng” yang berarti datang lalu merasa senang atau puas dengan hasilnya. Ia merupakan anak bungsu dari lima bersaudara, sementara ayahnya sudah lebih dulu menjadi perajin dandang jauh sebelum ia lahir.

“Saya juga tidak tahu sejak kapan kampung ini disebut Kampung Dandang. Pastinya sejak saya belum lahir sudah disebut seperti itu,” tutur Mulyadi.

Meski tidak memiliki informasi lengkap tentang sejarah kampung Dandang, Mulyadi tahu betul bahwa ayahnya, Matari sudah membuat dandang sejak kakak keduanya lahir.

“Bapak saya, Bapak Matari, cerita kalau sudah dari lama membuat dandang, Mbak. Sekarang saja umur saya sudah hampir 50 tahun dan sudah punya cucu,” katanya.

Mulyadi menceritakan, dahulu ayahnya sampai kebanjiran pesanan bahkan bisa mencapai 30 dandang per hari. Apalagi ketika Pasar Turi masih ada, pesanan dandang yang diterima ayahnya bahkan bisa mencapai 50 buah per hari. Hingga saat ini proses pembuatan dandang masih tetap dilakukan secara manual.

“Dulu kan belum ada mejikom (penanak nasi elektrik), jadi semua masih pakai dandang. Apalagi dulu masih ada Pasar Turi, mereka selalu membeli dandang ke Bapak saya,” kata Mulyadi.

Karena dandang yang diproduksi sejak awal hingga akhir dibuat dengan tangan tanpa mesin, Matari pada saat itu mulai mengajak sejumlah tetangga membantunya memenuhi pesanan dandang.

Biasanya, para tetangga yang membantu ayahnya itu akan membuka sendiri usaha serupa. Karena itulah semakin banyak perajin dandang di kampung tersebut dan semakin menabalkan kampung itu sebagai Kampung Dandang.

Proses pembuatannya dimulai dari mengukur badan dandang, membuat alas, menambahkan aksesoris, membuat saringan, lalu terakhir membuat tutup. Para perajin harus mengukur, memotong satu per satu lembaran aluminium, menempanya, lalu merakitnya hingga menjadi dandang utuh.

“Tapi kami nggak urut bikinnya, kan di sini ada 4 orang, jadi mengerjakan apa saja yang belum,” jelas Mulyadi.

Uniknya, Mulyadi dan para perajin lainnya di Kampung Dandang ini masih menggunakan cara manual seperti yang dilakukan Matari puluhan tahun lalu. Dibantu Cholis, kakak iparnya, saat ini Mulyadi telah menjalani pekerjaan ini selama 10 tahun.

Selain Mulyadi, ada pula Hadi, paman Mulyadi yang telah ikut membantu sejak 40 tahun lalu, serta Tego usia 71 tahun asal Ponorogo sejak 30 tahun yang lalu. Mulyadi mengaku pesanan yang diterima tidak hanya datang dari warga sekitar atau Surabaya saja, tetapi juga dari luar kota bahkan luar pulau.

“Baru kemarin saya kirim 100 buah dandang ke NTT, mereka sampai saat ini kan punya tradisi masak besar. Sama seperti Papua, kita juga sering kirim sampai ke Maumere. Jadi ya bisa dibilang kita ada langganan dari Maumere itu 2 terus yang NTT itu 3,” kata Mulyadi.

Mulyadi juga bercerita, dulu sang ayah mengumpulkan berbagai material logam untuk dijadikan alat bantu produksi.

“Ini (alat) sama saya lebih tua alatnya. Bapak dulu manfaatin apa yang ada dan malah sekarang rata-rata perajin di kampung ini pakai alat yang sama,” jelasnya.

Seiring waktu, Matari, Mulyadi, dan ketiga perajin lainnya di Dandang Moroseneng mulai mengembangkan alat produksi. Misalnya mesin pelubang saringan dandang yang dibuat sendiri oleh Hadi.

Sementara mesin pres dipesan khusus sesuai kebutuhan produksi. Alatnya terlihat sederhana, tetapi sangat membantu untuk merapikan sisi saringan hingga membentuk cekungan badan dandang.

“Dulu Bapak kita ini mikir, bagaimana caranya. Bisa dibayangkan dulu melubangi saringan satu per satu pakai paku. Akhirnya konsultasi ke bengkel Cokro, pesan khusus sesuai kebutuhan. Nggak ada beli di pabrik karena harus presisi. Banyak eksperimen sampai akhirnya jadi seperti ini,” ujar Cholis ikut menjelaskan.

Selain itu, mereka juga memanfaatkan besi kanal sisa pembangunan serta besi panjang yang dialihfungsikan sebagai alat bantu merapikan sudut dandang.

“Kalau nggak cerdas ya nggak jadi begitu, Mbak. Bapak ini cerdas, buktinya bisa ‘nyulap meriame Londo’,” kata Mulyadi sambil tertawa menunjuk besi panjang tersebut.

Cholis menambahkan, mereka sudah sering menerima kunjungan wisatawan, termasuk wisatawan mancanegara.

Pada 2024 lalu, mahasiswa dan dosen dari Eropa dan Asia seperti Jepang dan Thailand, sebanyak 40 orang, datang langsung melihat proses pembuatan dandang.

“Mereka datang ke sini minta diajarin dari awal. Malah ada yang lucu, waktu itu dari Kanada ada yang tangannya kejepit alat karena salah pegang,” ceritanya sambil tertawa.

Saat ini, Mulyadi mengerjakan pesanan sebanyak 50 buah untuk Pasar Grosir Surabaya, serta 120 buah dandang untuk dikirim ke Wangapo, NTT.

Ukuran dandang yang diproduksi pun beragam, mulai dari kapasitas 8 kilogram hingga yang paling besar mencapai 30 hingga 50 kilogram. Selain itu Mulyadi tak hanya membuatkan pesanan untuk dandang nasi, tetapi juga sedia untuk soto, bakso, dan pangsit.

Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.

Pesanan yang terus datang dari puluhan tahun lalu hingga berganti generasi ini, berdasarkan pengakuan Mulyadi dikarenakan Dandang Moroseneng memiliki kualitas yang jauh lebih kuat dan tebal dibandingkan hasil pabrikan.

“Kita pake tangan kan dari dulu, cuma ya dari dulu juga kalau bicara soal kualitas, oke sini. Tebalnya aja paling tipis 0,8 milimeter, ada yang 1 milimeter, tinggal disesuaikan saja sama besarnya dandang atau sesuai pesanan mau setebal apa,” jelas Mulyadi.

Mulyadi tak tahu persis seberapa lama dandang buatannya bisa bertahan. Tapi Mulyadi mengatakan dari pengakuan pelanggannya, dandang Moroseneng bisa tahan hingga 5 tahun pemakaian.

“Tergantung orangnya bersihan atau jorok. Soalnya kan pantat dandangnya ini harus digosok,” kata Mulyadi.

Mulyadi, Cholis, Hadi, dan Tego mengaku bangga hingga saat ini bisa menghasilkan dengan jeri payahnya sendiri. Terutama Mulyadi, yang bisa meneruskan usaha milik ayahnya hingga mempertahankan nama ‘Kampung Dandang’.

“Ini rumah kita. Wis yaopo carane, biar rumah kita ini jelek, tapi masih ada yang bisa diandalkan dan menghidupi,” pungkas Mulyadi.

Gambar ilustrasi