Burung pelanduk Kalimantan (Malacocincla perspicillata) sempat dikira telah punah sejak tahun 1848. Namun pada lima tahun lalu tepatnya tahun 2020, burung ini kembali terlihat di Provinsi Kalimantan Selatan.
Fenomena kembalinya hewan yang sempat dikira punah tak cuma terjadi pada burung pelanduk. Beberapa hewan yang dikenal dari wilayah Indonesia lainnya juga ada yang terlihat muncul lagi setelah sempat dinyatakan punah.
Ada banyak faktor yang mempengaruhinya, bisa karena hewan tersebut memiliki habitat yang aman, terpencil, dan sulit dijangkau. Bisa juga memang hewan tersebut belum punah, hanya saja jumlah individu yang sangat sedikit membuat peluang untuk bertemu atau mendokumentasikannya juga sangat rendah.
ADVERTISEMENT
Tak banyak informasi soal burung mungil dari tanah Borneo ini. Berbagai literatur menulis burung endemik Indonesia ini hanya ada di Pulau Kalimantan. Burung yang juga disebut the black-browed babbler itu, pada awalnya dikenal memiliki catatan dan deskripsi yang sangat terbatas.
Dalam buku Birds of the Indonesian Archipelago: Greater Sundas and Wallacea karya James A. Eaton dkk, burung pelanduk Kalimantan bahkan disebut sebagai salah satu misteri terbesar dalam dunia ornitologi Indonesia.
Kemunginan keberadaan burung pelanduk kalimantan ada di kawasan Pegunungan Meratus. Meski demikian, keberadaannya semakin jarang dijumpai dan kian sulit ditemukan di habitat alaminya.
Tahun 1848 burung pelanduk kalimantan dianggap para ahli sudah semakin misterius keberadaannya, sehingga dinyatakan punah. Namun secara tak sengaja, burung itu kembali terlihat beredar di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan pada 172 tahun setelahnya.
Dikutip dari media sosial Instagram Kementerian Kehutanan, @kemenhut, disebutkan pada bulan Oktober tahun 2020 burung pelanduk kalimantan tidak sengaja ditemukan. Burung Pelanduk dilihat oleh Muhammad Suranto dan Muhammad Rizky Fauzan, dua orang penduduk lokal di salah satu wilayah di Tanah Bumbu.
“Rasanya tidak nyata mengetahui bahwa kami telah menemukan spesies burung yang oleh para ahli dianggap punah,” ucap Rizky Fauzan, salah satu penemu burung pelanduk, dikutip Kemenhut dari rilis Oriental Bird Club.
Penemuan burung tersebut dipastikan kebenarannya setelah dipertimbangkan dan dicocokkan dengan ciri-ciri burung pelanduk kalimantan. Diketahui adapun pembanding ciri-cirinya, yakni menggunakan gambaran ahli ornitologi Prancis bernama Charles Lucien Bonaparte dan bandingkan dengan data milik Naturalis Biodiversity Center, Belanda.
Setelah menemukan burung pelanduk, Suranto dan Rizky berdiskusi dengan BW Galeatus dan kelompok konservasi burung Indonesia. Temuan itu kemudian diterbitkan dalam Jurnal BirdingASIA Volume 34 tahun 2020, dengan judul: ‘Missing for 170 years-the rediscovery of Black-browed Babbler Malacocincla perspicillata on Borneo’.
Salah satu penulis dalam jurnal sekaligus Pengendali Ekosistem Hutan TN Sebangau, Teguh Willy Nugroho, menyampaikan bahwa terdapat perbedaan mencolok pada anatomi burung yang ditemukan dengan literasi yang ada. Di antaranya pada warna iris mata, paruh dan warna kaki burung pelanduk tersebut.
“Tidak ada burung Asia yang hilang selama The Black-browed Babbler (Malacocincla perspicillata). Burung ini pada tahun 2020 kemudian diklasifikasikan sebagai Kurang Data dalam Daftar Merah IUCN,” tulis Teguh dkk dalam bahasa Inggris.
“Antara tahun 1843 dan 1848 data yang pernah dikumpulkan, holotipe tidak pernah secara jelas dikaitkan dengan lokasi tipe tertentu. Lokasi persebarannya kemungkinan berada di dekat Martapoera (Martapura) atau Bandjermasin (Banjarmasin), Kalimantan Selatan,” lanjutnya.
Berdasarkan foto-foto yang diambil oleh Suranto dan Rizky selama masa penangkaran sementara (sebelum akhirnya dilepas kembali ke alam liar), peneliti mengungkap burung tersebut memiliki penampilan yang kekar, dengan ekor yang relatif pendek dan paruh yang kuat.
Bulunya berwarna cokelat, dibatasi oleh garis mata hitam lebar yang membentang di sepanjang tulang pipi hingga ke tengkuk dan sisi leher. Iris matanya berwarna merah tua, kakinya berwarna abu-abu gelap.
Bagian atas berwarna cokelat tua, sedangkan bagian bawah hingga dada berwarna keabu-abuan dengan garis-garis putih halus. Penampilan wajah burung tersebut sangat khas, dengan mahkota berwarna cokelat kemerahan.
Perbedaan itu membuat proses identifikasi sempat mengalami kesulitan, sebab peneliti pertama kali melihat morfologi burung ini. Teguh menegaskan, temuan ini juga membuktikan bahwa keanekaragaman hayati Indonesia masih ada pada bagian-bagian terdalam hutan.
Menurutnya, jejaring antara masyarakat lokal, peneliti pemula, peneliti profesional, serta berbagai pihak untuk dapat mengumpulkan informasi tentang keanekaragaman hayati dapat berdampak besar bagi kelestarian satwa di Indonesia. Burung itu kini telah dilepaskan dengan aman di tempat asalnya ditangkap.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), punah artinya habis semua hingga tidak ada sisanya, benar-benar binasa, hilang lenyap, dan musnah. Kepunahan berarti hilangnya keberadaan dari sebuah spesies atau sekelompok takson.
Adapun beberapa faktor kepunahan hewan di antaranya perusakan habitat hingga eksploitasi yang berlebihan. Banyak hewan yang telah dinyatakan punah selama bertahun-tahun.
Namun sama seperti burung pelanduk kalimantan, ada beberapa hewan punah tiba-tiba kembali muncul di alam liar. Sebut saja burung trulek jawa yang sempat dinyatakan punah pada tahun 1994, tapi berhasil ditemukan lagi pada tahun 2000. Sama seperti burung pelanduk kalimantan, kini keberadaan burung trulek jawa masih misteri antara punah atau belum.
Satwa lainnya yakni harimau jawa yang dinyatakan punah antara tahun 2003-2008 oleh Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN). Meski demikian, dalam arsip infoEdu peneliti BRIN, Wirdateti mengungkapkan adanya penemuan sehelai rambut yang diduga milik harimau jawa pagar pembatas antara kebun rakyat dengan jalan desa Cipeundeuy, Sukabumi Selatan, Jawa Barat.
Setelah dilakukan serangkaian analisis DNA komprehensif dan prosedur ilmiah lainnya, disimpulkan bahwa rambut tersebut adalah milik harimau jawa. Meski demikian, keberadaan harimau jawa tersebut perlu dikonfirmasi dengan studi genetik dan lapangan lebih lanjut.
Dua hewan lainnya yakni anjing bernyanyi dan ikan coelacanth. Sejak tahun 1970, anjing bernyanyi di Papua Nugini telah dinyatakan punah di habitat aslinya. Namun, seorang pemuda asal Bantul, Yogyakarta bernama Anang Dianto mengunggah foto dan video lima ekor anjing di media sosial Twitter pada 24 Juli 2020.
Insinyur mesin dan karyawan PTFI (PT Freeport Indonesia) itu menyebutkan ciri anjing secara rinci, seperti telinga segitiga yang tegak mirip serigala, bulu cokelat emas, dan moncong hitam pendek mirip rubah. Anjing itu juga tidak bisa menggonggong, tapi melolong panjang mirip serigala.
Dia meneruskan temuannya ke New Guinea Highland Wild Dog Foundation (NGHWDF) di Amerika Serikat. Asosiasi tersebut menjelaskan anjing itu adalah satwa yang selama ini mereka cari, yaitu anjing bernyanyi Papua. Sebelumnya, NGHWDF bersama peneliti dari sejumlah negara pernah meneliti untuk mencari keberadaan Anjing Bernyanyi Papua.
Sementara itu, ikan coelacanth juga pernah dinyatakan punah, tapi kemudian ditemukan pada tahun 1938 dan 1998, bahkan baru-baru ini. Ikan purba berjuluk fosil hidup ini berbentuk mirip ikan yang hidup di era dinosaurus. Dikutip dari Live Science, peneliti mengatakan bahwa ikan coelacanth lolos dari transformasi yang terjadi seiring waktu.
Pada tahun 1938, ikan coelacanth ditemukan oleh seorang nelayan di Afrika Selatan. Kemudian pada 1998, coelacanth dengan jenis berbeda ditemukan di lepas Pulau Sulawesi, Indonesia. Oleh peneliti, ikan ini diberi nama Latimeria menadoensis (ikan raja laut).
Pada Januari 2025, nelayan di Desa Imana, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo menemukan ikan purba coelacanth. Oskar Kaluku (60), nama nelayan tersebut, menemukan coelacanth berukuran panjang 1 meter dengan berat 41 kilogram dalam keadaan sudah mati.
Lalu pada Mei 2025, tim peneliti berhasil menemukan kembali spesies ikan purba coelacanth (Latimeria menadoensis) di laut Maluku Utara. Spesies ikan yang dianggap punah 70 juta tahun lampau itu ditemukan pada kedalaman 145 meter di bawah laut.
Mengenal Burung Pelanduk Kalimantan
Kronologi Penemuan Burung Pelanduk Kalimantan
Satwa Lain yang Pernah Terlihat Usai Dikira Punah



Tahun 1848 burung pelanduk kalimantan dianggap para ahli sudah semakin misterius keberadaannya, sehingga dinyatakan punah. Namun secara tak sengaja, burung itu kembali terlihat beredar di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan pada 172 tahun setelahnya.
Dikutip dari media sosial Instagram Kementerian Kehutanan, @kemenhut, disebutkan pada bulan Oktober tahun 2020 burung pelanduk kalimantan tidak sengaja ditemukan. Burung Pelanduk dilihat oleh Muhammad Suranto dan Muhammad Rizky Fauzan, dua orang penduduk lokal di salah satu wilayah di Tanah Bumbu.
“Rasanya tidak nyata mengetahui bahwa kami telah menemukan spesies burung yang oleh para ahli dianggap punah,” ucap Rizky Fauzan, salah satu penemu burung pelanduk, dikutip Kemenhut dari rilis Oriental Bird Club.
Penemuan burung tersebut dipastikan kebenarannya setelah dipertimbangkan dan dicocokkan dengan ciri-ciri burung pelanduk kalimantan. Diketahui adapun pembanding ciri-cirinya, yakni menggunakan gambaran ahli ornitologi Prancis bernama Charles Lucien Bonaparte dan bandingkan dengan data milik Naturalis Biodiversity Center, Belanda.
Setelah menemukan burung pelanduk, Suranto dan Rizky berdiskusi dengan BW Galeatus dan kelompok konservasi burung Indonesia. Temuan itu kemudian diterbitkan dalam Jurnal BirdingASIA Volume 34 tahun 2020, dengan judul: ‘Missing for 170 years-the rediscovery of Black-browed Babbler Malacocincla perspicillata on Borneo’.
Salah satu penulis dalam jurnal sekaligus Pengendali Ekosistem Hutan TN Sebangau, Teguh Willy Nugroho, menyampaikan bahwa terdapat perbedaan mencolok pada anatomi burung yang ditemukan dengan literasi yang ada. Di antaranya pada warna iris mata, paruh dan warna kaki burung pelanduk tersebut.
“Tidak ada burung Asia yang hilang selama The Black-browed Babbler (Malacocincla perspicillata). Burung ini pada tahun 2020 kemudian diklasifikasikan sebagai Kurang Data dalam Daftar Merah IUCN,” tulis Teguh dkk dalam bahasa Inggris.
“Antara tahun 1843 dan 1848 data yang pernah dikumpulkan, holotipe tidak pernah secara jelas dikaitkan dengan lokasi tipe tertentu. Lokasi persebarannya kemungkinan berada di dekat Martapoera (Martapura) atau Bandjermasin (Banjarmasin), Kalimantan Selatan,” lanjutnya.
Berdasarkan foto-foto yang diambil oleh Suranto dan Rizky selama masa penangkaran sementara (sebelum akhirnya dilepas kembali ke alam liar), peneliti mengungkap burung tersebut memiliki penampilan yang kekar, dengan ekor yang relatif pendek dan paruh yang kuat.
Bulunya berwarna cokelat, dibatasi oleh garis mata hitam lebar yang membentang di sepanjang tulang pipi hingga ke tengkuk dan sisi leher. Iris matanya berwarna merah tua, kakinya berwarna abu-abu gelap.
Bagian atas berwarna cokelat tua, sedangkan bagian bawah hingga dada berwarna keabu-abuan dengan garis-garis putih halus. Penampilan wajah burung tersebut sangat khas, dengan mahkota berwarna cokelat kemerahan.
Perbedaan itu membuat proses identifikasi sempat mengalami kesulitan, sebab peneliti pertama kali melihat morfologi burung ini. Teguh menegaskan, temuan ini juga membuktikan bahwa keanekaragaman hayati Indonesia masih ada pada bagian-bagian terdalam hutan.
Menurutnya, jejaring antara masyarakat lokal, peneliti pemula, peneliti profesional, serta berbagai pihak untuk dapat mengumpulkan informasi tentang keanekaragaman hayati dapat berdampak besar bagi kelestarian satwa di Indonesia. Burung itu kini telah dilepaskan dengan aman di tempat asalnya ditangkap.
Kronologi Penemuan Burung Pelanduk Kalimantan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), punah artinya habis semua hingga tidak ada sisanya, benar-benar binasa, hilang lenyap, dan musnah. Kepunahan berarti hilangnya keberadaan dari sebuah spesies atau sekelompok takson.
Adapun beberapa faktor kepunahan hewan di antaranya perusakan habitat hingga eksploitasi yang berlebihan. Banyak hewan yang telah dinyatakan punah selama bertahun-tahun.
Namun sama seperti burung pelanduk kalimantan, ada beberapa hewan punah tiba-tiba kembali muncul di alam liar. Sebut saja burung trulek jawa yang sempat dinyatakan punah pada tahun 1994, tapi berhasil ditemukan lagi pada tahun 2000. Sama seperti burung pelanduk kalimantan, kini keberadaan burung trulek jawa masih misteri antara punah atau belum.
Satwa lainnya yakni harimau jawa yang dinyatakan punah antara tahun 2003-2008 oleh Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN). Meski demikian, dalam arsip infoEdu peneliti BRIN, Wirdateti mengungkapkan adanya penemuan sehelai rambut yang diduga milik harimau jawa pagar pembatas antara kebun rakyat dengan jalan desa Cipeundeuy, Sukabumi Selatan, Jawa Barat.
Setelah dilakukan serangkaian analisis DNA komprehensif dan prosedur ilmiah lainnya, disimpulkan bahwa rambut tersebut adalah milik harimau jawa. Meski demikian, keberadaan harimau jawa tersebut perlu dikonfirmasi dengan studi genetik dan lapangan lebih lanjut.
Dua hewan lainnya yakni anjing bernyanyi dan ikan coelacanth. Sejak tahun 1970, anjing bernyanyi di Papua Nugini telah dinyatakan punah di habitat aslinya. Namun, seorang pemuda asal Bantul, Yogyakarta bernama Anang Dianto mengunggah foto dan video lima ekor anjing di media sosial Twitter pada 24 Juli 2020.
Insinyur mesin dan karyawan PTFI (PT Freeport Indonesia) itu menyebutkan ciri anjing secara rinci, seperti telinga segitiga yang tegak mirip serigala, bulu cokelat emas, dan moncong hitam pendek mirip rubah. Anjing itu juga tidak bisa menggonggong, tapi melolong panjang mirip serigala.
Dia meneruskan temuannya ke New Guinea Highland Wild Dog Foundation (NGHWDF) di Amerika Serikat. Asosiasi tersebut menjelaskan anjing itu adalah satwa yang selama ini mereka cari, yaitu anjing bernyanyi Papua. Sebelumnya, NGHWDF bersama peneliti dari sejumlah negara pernah meneliti untuk mencari keberadaan Anjing Bernyanyi Papua.
Sementara itu, ikan coelacanth juga pernah dinyatakan punah, tapi kemudian ditemukan pada tahun 1938 dan 1998, bahkan baru-baru ini. Ikan purba berjuluk fosil hidup ini berbentuk mirip ikan yang hidup di era dinosaurus. Dikutip dari Live Science, peneliti mengatakan bahwa ikan coelacanth lolos dari transformasi yang terjadi seiring waktu.
Pada tahun 1938, ikan coelacanth ditemukan oleh seorang nelayan di Afrika Selatan. Kemudian pada 1998, coelacanth dengan jenis berbeda ditemukan di lepas Pulau Sulawesi, Indonesia. Oleh peneliti, ikan ini diberi nama Latimeria menadoensis (ikan raja laut).
Pada Januari 2025, nelayan di Desa Imana, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo menemukan ikan purba coelacanth. Oskar Kaluku (60), nama nelayan tersebut, menemukan coelacanth berukuran panjang 1 meter dengan berat 41 kilogram dalam keadaan sudah mati.
Lalu pada Mei 2025, tim peneliti berhasil menemukan kembali spesies ikan purba coelacanth (Latimeria menadoensis) di laut Maluku Utara. Spesies ikan yang dianggap punah 70 juta tahun lampau itu ditemukan pada kedalaman 145 meter di bawah laut.
Satwa Lain yang Pernah Terlihat Usai Dikira Punah








