Membayar Utang pada Lingkungan

Posted on

Banjir bandang, longsor, dan cuaca ekstrem yang melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh dalam beberapa bulan terakhir kembali membuka wajah telanjang krisis iklim Indonesia.

Ini bukan semata bencana alam, melainkan akumulasi kegagalan kebijakan pembangunan yang menempatkan eksploitasi sumber daya alam di atas kelestarian ekologis dan keselamatan warga. Lebih dari itu, bencana Sumatera adalah cermin kegagapan fiskal negara dalam membaca ancaman iklim yang kian sistemik.

Dalam diskursus kebijakan publik, anggaran negara seharusnya menjadi instrumen korektif atas risiko struktural, termasuk krisis iklim. Namun APBN masih beroperasi dalam logika lama: mengejar pertumbuhan ekonomi jangka pendek sambil mengorbankan daya dukung lingkungan.

Ketika bencana datang, negara baru sibuk menghitung kerugian dan menyalurkan bantuan darurat, alih-alih mencegah sejak awal dengan merawat hutan dan alam.

Fakta anggaran menunjukkan masalah mendasar tersebut. Dalam sepuluh tahun terakhir, anggaran fungsi perlindungan lingkungan hidup rata-rata tidak pernah menembus satu persen dari Belanja Pemerintah Pusat (BPP). Pada APBN 2026, alokasi anggaran fungsi perlindungan lingkungan hidup hanya sekitar Rp 13,4 triliun atau 0,43 persen dari total BPP yang mencapai Rp 3.149,7 triliun.

Angka ini kontras dengan kerugian ekonomi akibat bencana hidrometeorologi yang setiap tahun mencapai ratusan triliun rupiah di seluruh wilayah Indonesia.

Pemerintah memang mengembangkan Climate Budget Tagging (CBT) untuk menandai belanja terkait perubahan iklim lintas sektor. Namun realisasinya masih jauh dari kebutuhan.

Dalam tiga tahun terakhir, anggaran perubahan iklim rata-rata hanya Rp37,9 triliun per tahun, sementara kebutuhan pendanaan iklim Indonesia diperkirakan mencapai Rp266,3 triliun per tahun untuk memenuhi target Nationally Determined Contribution (NDC). Kesenjangan ini menunjukkan bahwa komitmen iklim lebih sering berhenti sebagai retorika kebijakan, bukan prioritas fiskal.

Yang lebih problematik, sektor hutan dan lahan (forest and land used/FoLU)-penopang utama mitigasi dan adaptasi iklim, hanya memperoleh sekitar 4,55 persen dari total anggaran CBT.

Padahal hampir 60 persen target penurunan emisi Indonesia bertumpu pada sektor ini. Hutan bukan hanya penyerap karbon, tetapi juga benteng ekologis yang melindungi wilayah hilir dari banjir dan longsor. Ketika hutan rusak, bencana menjadi keniscayaan.

Kondisi di Sumatera memperjelas relasi antara kerusakan ekologis dan pilihan politik anggaran. Deforestasi di daerah aliran sungai, ekspansi sawit, pertambangan, dan proyek-proyek ekonomi ekstraktif terus menekan tutupan hutan.

Meski deforestasi terbesar terjadi di Kalimantan dan Papua, Sumatera tetap berada dalam pusaran tekanan ekonomi berbasis lahan. Bencana yang berulang menunjukkan bahwa kapasitas lingkungan telah melampaui ambang batas.

Ironinya, struktur fiskal justru ikut mendorong kerusakan tersebut. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor kehutanan masih didominasi orientasi eksploitasi, terutama dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan non kehutanan seperti tambang dan sawit.

Sekitar 43 persen PNBP kehutanan berasal dari skema ini. Negara memperoleh pendapatan jangka pendek, tetapi membayar mahal dalam bentuk bencana, kerusakan infrastruktur, dan korban jiwa.

Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperkuat gambaran buruk tata kelola dan pengawasan sektor kehutanan ini. Jutaan hektare perkebunan dan pertambangan tercatat beroperasi di kawasan hutan tanpa izin atau melanggar ketentuan, termasuk di hutan lindung dan kawasan konservasi.

Rinciannya, perkebunan sawit tanpa izin seluas 2,91 juta ha, pertambangan tanpa izin seluas 841,79 ribu ha, pembukaan lahan dalam areal IUP PT AT tanpa izin seluas 402,38 ha; dan berbagai kegiatan lain tanpa izin di kawasan hutan lindung dan hutan produksi seluas 3,75 juta ha, serta di kawasan hutan konservasi seluas 866,77 ribu ha. Lemahnya pengawasan bukan sekadar persoalan administratif, melainkan cerminan kompromi politik antara kepentingan ekonomi dan perlindungan lingkungan.

Di sisi lain, anggaran kebencanaan nasional masih didominasi pendekatan reaktif. Anggaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) lebih banyak terserap untuk tanggap darurat pascabencana, bukan mitigasi dan kesiapsiagaan.

Padahal Presiden Prabowo Subianto berulang kali menegaskan bahwa pencegahan jauh lebih murah dibanding penanganan bencana. Pernyataan ini belum sepenuhnya diterjemahkan ke dalam kebijakan anggaran yang konsisten.

Jika APBN 2026 ingin menjadi titik balik, setidaknya ada empat agenda mendesak. Pertama, menggeser belanja negara ke arah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta perlindungan ekologis: rehabilitasi DAS, restorasi hutan, dan penguatan kesiapsiagaan bencana. Kedua, melakukan audit investigatif terhadap PNBP sektor kehutanan dan sumber daya alam (SDA) di Sumatera dan seluruh kawasan di Indonesia.

Ketiga, mereformulasi PNBP kehutanan agar mencerminkan nilai ekologis hutan, bukan semata nilai komoditas. Keempat, memperkuat skema Ecological Fiscal Transfer (EFT) sebagai insentif fiscal nyata bagi daerah yang mampu menjaga hutan, lahan, dan lingkungannya.

Bencana Sumatera adalah alarm keras bahwa fiskal kita tidak sejalan dengan ancaman iklim. Selama APBN masih memihak eksploitasi dan mengabaikan perlindungan ekologis, bencana akan terus berulang.

Negara akan selalu datang terlambat, dan publik kembali disuguhi narasi lama: cuaca ekstrem, faktor alam, dan takdir. Padahal yang sesungguhnya kita hadapi adalah kegagalan kebijakan–dan kegagalan keberanian politik untuk mengubah arah pembangunan.

Akhmad Misbakhul Hasan. Sekjen FITRA.