Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan Unit Pengelola Museum Kebaharian Jakarta menghadirkan pameran bertajuk Looking For The East. Salah satu yang membetot perhatian adalah kayu bercadik dari Jayapura.
Pameran itu mengajak pengunjung menelusuri kekayaan maritim Indonesia Timur melalui perahu-perahu tradisional dan artefak budaya yang sarat makna. infoTravel mengunjungi pameran yang digelar di Gedung C, Museum Bahari, Jalan Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara, Kamis (11/12/2025).
Perahu bercadik Jayapura 02 itu menjadi penanda penting dalam sejarah pelayaran masyarakat pesisir Papua. Perahu itu memiliki ciri khas berupa penyeimbang atau stabilisator yang disebut “cadik” yang berada di salah satu atau kedua sisi perahu.
Dalam keterangan yang terpajang di ruang pamer, dijelaskan bahwa perahu bercadik umumnya digunakan di pesisir utara Papua dan sebagian wilayah timur Indonesia. Sementara itu, perahu tanpa cadik lebih banyak ditemukan di pesisir selatan.
“Perkembangan cadik kemungkinan erat kaitannya dengan kondisi geografis laut. Daerah dengan laut yang relatif tenang cenderung menggunakan perahu tanpa cadik, sedangkan wilayah dengan gelombang tinggi mengembangkan perahu bercadik satu atau dua,” demikian keterangan yang tertulis pada display perahu tersebut.
Perahu bercadik itu memiliki ukuran panjang 1.430 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 90 cm. Selain untuk transportasi masyarakat Papua, perahu itu juga digunakan para nelayan untuk menangkap ikan di laut, mengangkut hasil bumi, barang-barang perdagangan, dan keperluan lainnya antar pulau atau desa.
Cadik Papua bukan hanya alat transportasi, tetapi juga bagian penting dari identitas budaya dan sejarah masyarakat Papua.
Secara keseluruhan, pameran Looking For The East menampilkan sekitar 20 perahu tradisional dari berbagai wilayah Indonesia Timur. Setiap perahu tidak hanya disuguhkan sebagai benda fisik, tetapi juga sebagai representasi pengetahuan, teknologi, dan filosofi hidup masyarakat maritim.
Salah satu yang menarik perhatian adalah “Waka”, kano tradisional milik masyarakat Maori dari Selandia Baru. Waka dikenal sebagai simbol perjalanan menuju negeri baru.
Perahu itu digunakan oleh leluhur suku Maori untuk mengarungi Samudra Pasifik Selatan selama berminggu-minggu, dengan navigasi yang mengandalkan posisi bintang.
“Perahu kano itu menjadi sarana orang-orang Maori pertama kali datang ke Selandia Baru. Jadi, kapal ini memiliki makna sejarah yang sangat penting bagi mereka,” ujar pemandu museum, Hafiza Ibrahim, kepada infoTravel.
Menurut Hafiza, pameran ini tidak hanya menghadirkan artefak sejarah, tetapi juga memperlihatkan kekayaan warisan budaya Indonesia Timur yang berakar kuat pada pengetahuan lokal masyarakat pesisir.
“Selain perahu, kami juga menampilkan koleksi tekstil dan kain-kain dari Papua yang menjadi bagian dari koleksi museum,” kata dia.
Pameran Looking For The East berlangsung mulai 8 Desember 2025 hingga 26 Maret 2026. Selama periode tersebut, pengunjung dapat mengikuti berbagai program publik yang interaktif dan edukatif, seperti tur kuratorial, lokakarya, kelas budaya, hingga diskusi tematik seputar budaya maritim Indonesia.
Pameran itu resmi dibuka oleh Sekretaris Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, Retno Setiowati. Acara pembukaan turut dihadiri Duta Besar Selandia Baru untuk Indonesia H.E. Philip Taula, Sekretaris Kedua Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia Mrs. Amanda Panayotou, Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta K.H. M. Subki, Lc., serta perwakilan masyarakat adat Papua, sebagaimana diunggah dalam akun Instagram @disbuddki dan @museumkebaharianjkt.








