132 Orang Tewas Imbas Kekerasan di Papua Selama 2025: 77 Warga-40 Anggota KKB

Posted on

Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) Perwakilan Papua mencatat 116 kasus kekerasan sepanjang 2025. Sebanyak 132 orang meninggal dunia yang 77 di antaranya merupakan warga sipil dan 40 anggota kelompok kriminal bersenjata (KKB).

“Sepanjang 1 Januari-8 Desember 2025, Komnas HAM Perwakilan Papua mencatat sebanyak 116 kasus kekerasan yang terjadi di berbagai wilayah di Papua,” kata Kepala Komnas HAM Perwakilan Papua Frits B Ramandey dalam keterangannya, Kamis (11/12/2025).

Frits menjelaskan, jumlah ini tidak merefleksikan total dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua. Hal ini dikarenakan data tersebut berbasis pada monitoring media dan pengaduan, serta potensi kekerasan/aduan baru di bulan Desember ini.

“Dari 116 kasus kekerasan tersebut didominasi peristiwa kontak senjata dan penembakan (serangan tunggal) sebanyak 59 kasus, penganiayaan 44 kasus, kerusuhan 9 peristiwa, penyiksaan 2 peristiwa dan perusakan 1 peristiwa,” jelasnya.

Dia melanjutkan, Kabupaten Yahukimo menjadi daerah dengan jumlah kasus tertinggi yaitu 28 kasus. Selanjutnya disusul Intan Jaya 18 kasus, Puncak Jaya 10 kasus, Puncak 8 kasus, Kota Jayapura 7 kasus, Jayawijaya 6 kasus, serta wilayah lainnya dengan jumlah di bawah 4 kasus.

“Akibatnya, tercatat sebanyak 220 orang menjadi korban, terdiri dari 132 meninggal dunia dan 88 orang luka-luka. Jumlah korban (220 orang) terdiri atas 134 orang warga sipil, terdiri dari 77 orang meninggal dunia dan 57 luka-luka,” paparnya.

Selain itu ada 44 orang TPNPB-OPM atau KKB yang terdiri dari 40 orang tewas dan 4 luka luka. Selanjutnya 41 orang aparat keamanan yang 14 di antaranya meninggal dan 27 orang luka-luka. Adapula 1 orang WNA meninggal dunia.

“134 orang warga sipil tersebut terdiri dari 4 orang anak meninggal dunia dan 6 orang anak terluka, 7 perempuan meninggal dunia dan 10 perempuan luka-luka serta 64 warga sipil laki-laki dewasa meninggal dunia dan 41 orang warga sipil laki-laki dewasa terluka,” paparnya.

Frits melanjutkan, berbagai kekerasan ini juga menimbulkan adanya gelombang pengungsian serta kerusakan sejumlah bangunan dan kendaraan. Secara faktual, setiap konflik kekerasan yang terjadi dapat dilihat sebagai respons atas peristiwa sosial ekonomi maupun kebijakan politik.

“Di sisi lain, ketegangan maupun konflik bersenjata yang di Papua masih membutuhkan ruang dialog antara pemerintah pusat, pemerintah daerah serta warga terutama ОРМ,” imbuh Frits.